Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Festival Literasi Palangkaraya 2025: Bedah Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak yang Mengungkap Kebenaran Fakta Sejarah

Bedah buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak

Oleh: Iram Rangi

PALANGKARAYA– Sungguh sayang saya tidak bisa hadir di sana. Turut menyelami sejarah lokal melalui kegiatan Festival Literasi Palangkaraya. Tahun ini, festival yang akan berlangsung pada Kamis, 20 November 2025, mulai pukul 08.00 hingga selesai di halaman rumah jabatan Wali Kota Palangka Raya, menjanjikan pengalaman yang mendalam.

Salah satu acara utamanya yang ditunggu-tunggu adalah bedah buku berjudul Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak: Latar Belakang PertemuanTumbang Anoi 1894 karya Damianus Siyok. Ini bukan sekadar diskusi buku biasa; ini adalah jendela untuk merefleksikan akar budaya kita, terutama bagi masyarakat Dayak dan siapa pun yang peduli dengan narasi sejarah Borneo.

Saya sudah membaca buku ini, dan menulis resensi beberapa waktu lalu. Isinya benar-benar membuat saya berpikir ulang tentang bagaimana sejarah membentuk identitas kita. Siyok, penulisnya, bukan hanya seorang peneliti; dia seperti pendongeng tua yang menceritakan kisah dari tepi Sungai Kahayan. Buku ini menyingkap era "betang lama" di masyarakat Dayak, di mana perang antar suku, perbudakan, dan praktik pengayauan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja: budak diperlakukan sebagai barang dagangan, setara dengan seekor babi atau kerbau, dan anak-anak mereka bisa dipisahkan dari orang tua untuk dijual atau dikorbankan dalam ritual adat. Itu adalah gambaran keras dari masa lalu, tapi Siyok menyajikannya dengan fakta dari sumber klasik seperti catatan pelancong Eropa dan arsip kolonial Belanda, tanpa sensasi berlebih.

Yang membuat buku ini istimewa adalah fokusnya pada Pertemuan Tumbang Anoi 1894, sebuah momen bersejarah di mana kepala suku Dayak berkumpul selama tiga bulan untuk berdialog dan berikrar mengakhiri kekerasan. Ini bukan akhir yang dipaksakan oleh penjajah; ini adalah kesadaran kolektif dari dalam masyarakat sendiri, yang membuka jalan bagi pendidikan, perdamaian, dan integrasi dengan dunia luar. 

Siyok menekankan bahwa sejarah ini seperti "darah yang masih hangat mengalir di nadi kita," mendorong pembaca untuk bertanya: Apakah kita keturunan budak atau bangsawan? Pertanyaan itu bukan untuk membuat malu, tapi untuk membangun rasa ingin tahu tentang kemanusiaan dan evolusi sosial. Bagi saya, ini mengingatkan pada bagaimana cerita keluarga saya sendiri di Kalimantan sering penuh misteri, dan buku seperti ini bisa menjadi kunci untuk memahaminya lebih baik.

Festival Literasi Palangkaraya 2025 ini dirancang untuk lebih dari sekadar mendengarkan; panitia mengundang peserta untuk aktif berpartisipasi. Menurut penulis buku ini, Damianus Siyok, anda bisa ikut diskusi panel dengan penulis, bertanya langsung tentang risetnya, atau bahkan berbagi cerita pribadi tentang warisan Dayak.

Acara di halaman rumah jabatan Wali Kota akan terasa nyaman, dengan suasana terbuka yang memungkinkan interaksi langsung. Saya berharap para peserta dari berbagai latar belakang—mulai dari mahasiswa antropologi hingga warga lokal turut hadir—pulang dengan perspektif baru. Kali ini, dengan tema yang begitu relevan untuk identitas Borneo, saya yakin akan ada banyak momen inspiratif. Buku edisi terbaru ini bisa anda dapatkan lokasi event, dan juga di distributor resmi anyarmart.com (baik di toko utama mereka maupun di market palace: shopee dan tokopedia. Menurut sang penulis, buku ini merupakan salah satu buku karyanya yang paling banyak dicari pembaca, dan sudah mengalami 3 kali cetak ulang. Buku ini tidak hanya cocok untuk para peneliti, tetapi juga bagi pembaca umumnya. 

Untuk lebih memahami sejarah yang ditulis Siyok di buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak, saya sarankan juga Anda membaca karya-karya Siyok lainnya, agar mendapatkan kontek sosial budaya dan politik di Pulau Borneo pada waktu itu, salah satunya adalah buku yang berjudul Orang-orang Barito Abad XIX.

Bagi masyarakat Dayak, acara ini adalah panggilan untuk merefleksikan fondasi moral yang telah berevolusi dari "zaman kepala terpenggal" ke "zaman kepala bermusyawarah." Ini bukan hanya tentang masa lalu; ini tentang bagaimana kita membangun masa depan yang lebih inklusif, bebas dari dendam, dan kaya akan pengetahuan. Saya menyarankan para peserta yang ingin bergabung datang lebih awal, karena tempat terbatas. Khusus pembaca yang merupakan orang dayak, jangan lewatkan kesempatan untuk ambil bagian dalam bedah buku yang bisa mengubah cara Anda melihat sejarah pribadi.

Jika Anda di Palangkaraya atau sekitarnya, tandai kalender Anda sekarang. Festival Literasi Palangkaraya 2025 bukan sekadar acara; ini adalah undangan untuk terhubung dengan akar kita. Sampai jumpa dengan penulis buku ini di sana—siapa tahu, bisa bertukar cerita setelahnya.

 

Also Read
Latest News
  • Festival Literasi Palangkaraya 2025: Bedah Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak yang Mengungkap Kebenaran Fakta Sejarah
  • Festival Literasi Palangkaraya 2025: Bedah Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak yang Mengungkap Kebenaran Fakta Sejarah
  • Festival Literasi Palangkaraya 2025: Bedah Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak yang Mengungkap Kebenaran Fakta Sejarah
  • Festival Literasi Palangkaraya 2025: Bedah Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak yang Mengungkap Kebenaran Fakta Sejarah
  • Festival Literasi Palangkaraya 2025: Bedah Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak yang Mengungkap Kebenaran Fakta Sejarah
  • Festival Literasi Palangkaraya 2025: Bedah Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak yang Mengungkap Kebenaran Fakta Sejarah
Post a Comment
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad