Oleh: Iram Rangi
Salah satu acara utamanya yang ditunggu-tunggu adalah bedah
buku berjudul Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak: Latar Belakang PertemuanTumbang Anoi 1894 karya Damianus Siyok. Ini bukan sekadar diskusi buku
biasa; ini adalah jendela untuk merefleksikan akar budaya kita, terutama bagi
masyarakat Dayak dan siapa pun yang peduli dengan narasi sejarah Borneo.
Saya sudah membaca buku ini, dan menulis resensi beberapa
waktu lalu. Isinya benar-benar membuat saya berpikir ulang tentang bagaimana
sejarah membentuk identitas kita. Siyok, penulisnya, bukan hanya seorang
peneliti; dia seperti pendongeng tua yang menceritakan kisah dari tepi Sungai
Kahayan. Buku ini menyingkap era "betang lama" di masyarakat Dayak,
di mana perang antar suku, perbudakan, dan praktik pengayauan menjadi bagian
dari kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja: budak diperlakukan sebagai barang
dagangan, setara dengan seekor babi atau kerbau, dan anak-anak mereka bisa
dipisahkan dari orang tua untuk dijual atau dikorbankan dalam ritual adat. Itu
adalah gambaran keras dari masa lalu, tapi Siyok menyajikannya dengan fakta
dari sumber klasik seperti catatan pelancong Eropa dan arsip kolonial Belanda,
tanpa sensasi berlebih.
Yang membuat buku ini istimewa adalah fokusnya pada Pertemuan Tumbang Anoi 1894, sebuah momen bersejarah di mana kepala suku Dayak berkumpul selama tiga bulan untuk berdialog dan berikrar mengakhiri kekerasan. Ini bukan akhir yang dipaksakan oleh penjajah; ini adalah kesadaran kolektif dari dalam masyarakat sendiri, yang membuka jalan bagi pendidikan, perdamaian, dan integrasi dengan dunia luar.
Siyok menekankan bahwa sejarah ini seperti
"darah yang masih hangat mengalir di nadi kita," mendorong pembaca
untuk bertanya: Apakah kita keturunan budak atau bangsawan? Pertanyaan itu
bukan untuk membuat malu, tapi untuk membangun rasa ingin tahu tentang
kemanusiaan dan evolusi sosial. Bagi saya, ini mengingatkan pada bagaimana
cerita keluarga saya sendiri di Kalimantan sering penuh misteri, dan buku
seperti ini bisa menjadi kunci untuk memahaminya lebih baik.
Festival Literasi Palangkaraya 2025 ini dirancang untuk lebih dari sekadar mendengarkan; panitia mengundang peserta untuk aktif berpartisipasi. Menurut penulis buku ini, Damianus Siyok, anda bisa ikut diskusi panel dengan penulis, bertanya langsung tentang risetnya, atau bahkan berbagi cerita pribadi tentang warisan Dayak.
Acara di halaman rumah jabatan Wali Kota akan terasa nyaman, dengan suasana terbuka yang memungkinkan interaksi langsung. Saya berharap para peserta dari berbagai latar belakang—mulai dari mahasiswa antropologi hingga warga lokal turut hadir—pulang dengan perspektif baru. Kali ini, dengan tema yang begitu relevan untuk identitas Borneo, saya yakin akan ada banyak momen inspiratif. Buku edisi terbaru ini bisa anda dapatkan lokasi event, dan juga di distributor resmi anyarmart.com (baik di toko utama mereka maupun di market palace: shopee dan tokopedia. Menurut sang penulis, buku ini merupakan salah satu buku karyanya yang paling banyak dicari pembaca, dan sudah mengalami 3 kali cetak ulang. Buku ini tidak hanya cocok untuk para peneliti, tetapi juga bagi pembaca umumnya.
Untuk lebih memahami sejarah yang ditulis Siyok di buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak, saya sarankan juga Anda membaca karya-karya Siyok lainnya, agar mendapatkan kontek sosial budaya dan politik di Pulau Borneo pada waktu itu, salah satunya adalah buku yang berjudul Orang-orang Barito Abad XIX.
Bagi masyarakat Dayak, acara ini adalah panggilan untuk
merefleksikan fondasi moral yang telah berevolusi dari "zaman kepala
terpenggal" ke "zaman kepala bermusyawarah." Ini bukan hanya
tentang masa lalu; ini tentang bagaimana kita membangun masa depan yang lebih
inklusif, bebas dari dendam, dan kaya akan pengetahuan. Saya menyarankan para
peserta yang ingin bergabung datang lebih awal, karena tempat terbatas. Khusus pembaca
yang merupakan orang dayak, jangan lewatkan kesempatan untuk ambil bagian dalam
bedah buku yang bisa mengubah cara Anda melihat sejarah pribadi.
Jika Anda di Palangkaraya atau sekitarnya, tandai kalender
Anda sekarang. Festival Literasi Palangkaraya 2025 bukan sekadar acara; ini
adalah undangan untuk terhubung dengan akar kita. Sampai jumpa dengan penulis buku ini di sana—siapa
tahu, bisa bertukar cerita setelahnya.







