Ad
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Benih Baru Kesusastraan Dayak Tumbuh di Sekadau: Dari Tembawang ke Gelora Kongres Penulis

Lembaga Sastra Dayak Launching buku Tembawang
Jaya Ramba (Ketua Lembaga Sastra Dayak) diberi kehormatan oleh Rektor ITKK, Dr. Stevanus Masiun untuk memukul Gong tanda peluncuran buku Tembawang (31/10/25). Foto: Alexander Mering  

SEKADAU
– Di tengah aroma tanah basah dan desir angin hutan yang mengelus kampus Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK), gema gong tujuh kali terdengar menggema. Dentuman itu menjadi penanda lahirnya semangat baru: kebangkitan kesusastraan Dayak dari jantung Kalimantan Barat.

Pada Kamis, 31 Oktober 2025, aula utama ITKK di Sekadau dipenuhi wajah-wajah penuh semangat. Para penulis muda, akademisi, tokoh adat, dan pegiat budaya datang dari berbagai penjuru Borneo — dari Kapuas Hulu, Sintang, hingga Sarawak — berkumpul dalam satu momentum penting: Pra-Kongres Penulis Dayak 2025.

Acara ini menjadi tonggak bersejarah. Bukan sekadar forum sastra, tetapi pernyataan bersama bahwa masyarakat Dayak siap menulis babak baru sejarahnya lewat pena, bukan hanya lewat tutur.

ITKK, Kampus dari Akar Budaya

Institut Teknologi Keling Kumang yang menjadi tuan rumah acara ini memang unik. Kampus yang berdiri di atas tanah adat Sekadau ini bukan sekadar lembaga pendidikan tinggi, tetapi mercusuar pengetahuan berbasis budaya lokal. Nama “Keling” dan “Kumang” diambil dari tokoh mitologi Dayak Iban—melambangkan semangat keberanian dan kebijaksanaan.

Dalam dua tahun terakhir, ITKK meneguhkan reputasinya sebagai pusat literasi Dayak. Pada 2024 lalu, kampus ini mencetak rekor dengan menerbitkan 69 buku dalam satu momentum — sebagian besar ditulis oleh mahasiswa dan dosen lokal. Sebuah pencapaian yang tidak hanya membanggakan, tapi juga membuktikan bahwa literasi bisa tumbuh subur dari akar budaya sendiri.

Antologi buku Tembawang. Foto: indotribune.com

Tembawang: Buku sebagai Rumah Jiwa

Momen paling berkesan dalam kegiatan itu adalah peluncuran buku antologi cerpen berjudul Tembawang. Buku setebal 300 halaman ini memuat karya 27 penulis dari Kalimantan Barat dan Sarawak.

Tema yang diangkat begitu khas: tentang hutan, adat, ritual, dan hubungan manusia dengan alam. Dalam setiap kisahnya, pembaca diajak masuk ke dunia Dayak yang hidup—dengan nilai-nilai, ketakziman, dan perenungan yang dalam.

Menurut penyuntingnya, Tembawang bukan sekadar kumpulan cerita, melainkan “peta jiwa orang Dayak” yang kini mulai menulis dengan kesadaran identitas.

“Lewat buku ini, kami ingin menunjukkan bahwa orang Dayak tidak hanya bisa bercerita di balai adat, tapi juga di halaman buku,” ujar salah satu kontributor muda dari Sarawak.

Peluncuran buku disertai ritual sederhana: penabuhan gong, pembacaan doa adat, dan musik bambu. Semua berlangsung khidmat, menggabungkan unsur sakral dan literer dalam satu ruang yang hidup.

Strategi Lima Langkah: Dari Komunitas ke Kongres

Dalam sesi diskusi, Ketua Lembaga Sastera Dayak, Jaya Ramba, menegaskan bahwa kebangkitan ini bukan peristiwa sesaat. Pra-Kongres hanyalah awal dari gerakan besar menuju Kongres Penulis Dayak yang akan digelar tahun depan.

Ia memaparkan lima langkah strategis yang akan dijalankan:

  1. Mendirikan pusat penulisan di sekolah dan kampus-kampus Dayak.
  2. Menumbuhkan profesionalisme dalam penerbitan karya sastra.
  3. Membentuk jaringan mentor dan inkubator penulis muda.
  4. Mengembangkan ekonomi kreatif berbasis karya literasi.
  5. Memperkuat kerja sama lintas batas antara Kalimantan dan Sarawak.

“Dari Sekadau kita mulai, dari pena kita bersatu,” ujar Jaya Ramba di hadapan peserta.

Literasi Sebagai Gerakan Sosial

Kehadiran ratusan peserta lintas generasi menjadikan acara ini terasa seperti festival kebudayaan. Para pelajar, mahasiswa, dan warga adat duduk berdampingan mendengar pembacaan puisi dan cerita rakyat.

Sastrawan Masri Sareb Putra menyebut momentum ini sebagai “tanda zaman baru” bagi Dayak.

“Melalui tulisan, orang Dayak menegaskan eksistensinya di dunia yang terus berubah. Buku menjadi rumah bagi pikiran dan ingatan kolektif kita,” ujarnya.

Pernyataan itu menggema di aula. Beberapa peserta tampak terharu—mereka merasa akhirnya kesusastraan Dayak mendapat ruang dan penghargaan yang layak.

Sekadau, Titik Awal Kebangkitan

Menjelang sore, gong kembali ditabuh. Para peserta berdiri dan saling berpelukan, seolah meneguhkan ikrar baru: menulis adalah cara mencintai tanah sendiri.

Pra-Kongres Penulis Dayak di Sekadau menandai lahirnya benih baru kesusastraan Dayak. Dari kampus kecil di tepi sungai Kapuas, gema literasi itu menyebar ke penjuru Kalimantan—menyusuri hutan, ladang, dan kota.

Bila benih ini terus disiram dengan kerja nyata, maka kelak dari Sekadau akan tumbuh pohon besar bernama Sastra Dayak Modern—berakar di tradisi, namun menjulang ke masa depan.

Also Read
Latest News
  • Benih Baru Kesusastraan Dayak Tumbuh di Sekadau: Dari Tembawang ke Gelora Kongres Penulis
  • Benih Baru Kesusastraan Dayak Tumbuh di Sekadau: Dari Tembawang ke Gelora Kongres Penulis
  • Benih Baru Kesusastraan Dayak Tumbuh di Sekadau: Dari Tembawang ke Gelora Kongres Penulis
  • Benih Baru Kesusastraan Dayak Tumbuh di Sekadau: Dari Tembawang ke Gelora Kongres Penulis
  • Benih Baru Kesusastraan Dayak Tumbuh di Sekadau: Dari Tembawang ke Gelora Kongres Penulis
  • Benih Baru Kesusastraan Dayak Tumbuh di Sekadau: Dari Tembawang ke Gelora Kongres Penulis
Post a Comment
Ad
Ad
Tutup Iklan
Ad