Mangkrak Total, Korupsi PLTU 1 Kalimantan Barat Rugikan Negara Rp1,3 Triliun: Polri Ungkap Jaringan Subkon dan TKA Ilegal
![]() |
Ilustrasi AI |
Pontianak – Kasus dugaan korupsi dalam pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat menjadi pukulan telak
bagi upaya penguatan infrastruktur energi di wilayah perbatasan Indonesia. Tim
Penyidik Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri mengungkap bahwa
kerugian negara mencapai total Rp1,3 triliun, setara dengan nilai keseluruhan
proyek yang mangkrak sejak awal pelaksanaan. Proyek andalan PT PLN (Persero)
yang digandengkan dengan PT Bumi Rantau Nusa (BRN) ini, direncanakan untuk mendukung
ketahanan energi di Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x50 MW, kini terlantar
total, meninggalkan lubang anggaran yang dalam dan memicu pertanyaan besar
tentang pengawasan proyek strategis nasional. Pengungkapan ini, yang
disampaikan dalam konferensi pers di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia
pada Senin, 6 Oktober 2025, menyoroti betapa kompleksnya jaringan korupsi yang
melibatkan subkontraktor, tenaga kerja asing ilegal, dan dugaan tindak pidana
pencucian uang (TPPU).
Irjen Pol Cahyono Wibowo, Kepala Kortas Tipidkor Polri,
menjelaskan bahwa total loss ini mencakup kerugian finansial langsung sebesar
USD 64.410.523 dan Rp 323.199.898.518, yang jika dikonversi dengan kurs
Rp16.600 per dolar AS, membengkak menjadi Rp1,3 triliun. "Pembangunan PLTU
ini mangkrak sejak awal, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyatakan
sebagai total loss. Ini bukan sekadar keterlambatan; seluruh dana yang
digelontorkan lenyap tanpa hasil infrastruktur yang berdiri," tegas Cahyono
di hadapan wartawan. Proyek yang dimulai pada 2013 ini seharusnya menjadi
tulang punggung pasokan listrik bagi wilayah Pontianak dan sekitarnya,
mengurangi ketergantungan impor energi dari Kalimantan Timur. Namun,
mangkraknya PLTU tidak hanya menghambat target bauran energi nasional 23 persen
dari batubara pada 2025, tapi juga meninggalkan beban subsidi silang PLN yang
mencapai Rp500 miliar per tahun di Kalbar akibat kekurangan pasokan.
Dalam pengembangan kasus, penyidik telah menetapkan empat
tersangka utama: Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PLN periode 2008-2019;
Halim Kalla, Direktur Utama PT BRN; serta dua individu lain yang diinisial RR
dan HYL. Fahmi Mochtar, yang kini menjadi figur kontroversial pasca-pensiunnya,
diduga terlibat dalam pengambilan keputusan tender yang cacat prosedur,
memungkinkan PT BRN memenangkan kontrak senilai Rp1,5 triliun pada 2012.
"Tender ini awalnya dirancang untuk mitra strategis, tapi justru menjadi pintu
masuk bagi praktik kolusi. PT BRN kemudian mensubkontraktkan seluruh pekerjaan
ke PT Praba, yang ternyata underspec dalam pengadaan alat berat dan
material," ungkap Cahyono. PT Praba, sebagai subkontraktor utama, menjadi
pusat dugaan penyimpangan, di mana alat-alat impor dari China dikirim dengan
spesifikasi rendah, menyebabkan kegagalan struktural sejak tahap pondasi.
Investigasi awal mengungkap aliran dana mencurigakan dari PT Praba ke
rekening-rekening pihak ketiga, dengan nilai mencapai ratusan juta hingga
puluhan miliar rupiah, yang kini menjadi fokus penelusuran TPPU.
Kerumitan kasus ini semakin terungkap melalui keterlibatan
tenaga kerja asing (TKA) dari China, yang diduga dibawa masuk tanpa izin kerja
resmi. Cahyono mengungkapkan bahwa puluhan TKA ini tidak hanya bekerja tanpa
visa yang sah, tapi juga menjadi sumber protes dari pekerja lokal di Pontianak
pada 2014-2015. "Mereka dideportasi setelah ditemukan pelanggaran
ketenagakerjaan, tapi prosesnya justru menunda proyek lebih lanjut. Ini
indikasi korupsi yang kompleks, melibatkan pelanggaran imigrasi dan pengadaan
yang merugikan tenaga kerja nasional," katanya. Data Kementerian
Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada era itu, impor TKA di sektor energi
mencapai 5.000 orang per tahun, tapi kasus PLTU Kalbar menjadi salah satu yang
paling parah, dengan 40 TKA ilegal terlibat. Protes pekerja lokal, yang sempat
memicu demonstrasi di depan kantor PLN Kalbar, menuntut prioritas tenaga kerja
daerah, tapi malah mempercepat mangkraknya proyek akibat konflik sosial.
Dampak kerugian Rp1,3 triliun ini bukan hanya angka di
kertas; ia mencerminkan kegagalan sistemik yang berdiri di bahu rakyat
Kalimantan Barat. Wilayah ini, dengan populasi 5,5 juta jiwa dan ketergantungan
70 persen pada listrik dari Kalimantan Timur, kini menghadapi defisit daya
hingga 200 MW, memaksa PLN menerapkan pemadaman bergilir di Pontianak dan
Singkawang sepanjang 2024. Ekonomi lokal terpukul keras: industri kecil
menengah (IKM) di sektor pengolahan kelapa sawit kehilangan produksi hingga
Rp200 miliar per tahun akibat ketidakstabilan listrik, sementara rumah tangga
menderita tagihan yang melonjak 15 persen untuk subsidi silang.
"Mangkraknya PLTU ini seperti bom waktu bagi transisi energi di
perbatasan. Kalbar butuh pasokan stabil untuk mendukung visi Borneo Green
Growth, tapi korupsi justru menghambat," kata ekonom energi Universitas
Tanjungpura, Dr. Rina Susanti, dalam analisisnya baru-baru ini. Selain itu,
Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar mencatat penurunan PDRB sektor energi sebesar
8 persen pada 2024, dengan pengangguran di Pontianak naik 2 persen akibat
hilangnya lapangan kerja proyek.
Upaya pemulihan aset menjadi prioritas utama penyidik.
Cahyono menyatakan bahwa tim telah menemukan sebagian aset tersangka, termasuk
properti dan rekening bank, meski detailnya masih dirahasiakan untuk menjaga
proses hukum. "Kami bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak aliran dana TPPU. Beberapa rekening
sudah dibekukan, dan kami optimistis bisa pulihkan setidaknya 30 persen
kerugian dalam enam bulan ke depan," ujarnya. Kasus serupa di masa lalu,
seperti korupsi PLTU Riau-1 pada 2019 yang merugikan Rp2,5 triliun, berhasil
memulihkan Rp1 triliun melalui lelang aset tersangka, memberikan harapan bagi
PLTU Kalbar. Namun, tantangan tetap ada: jaringan subkon PT Praba yang
melibatkan perusahaan cangkang di Singapura dan Hong Kong menyulitkan pelacakan
internasional, memerlukan kerjasama dengan Interpol.
Konteks kasus ini semakin gelap ketika dilihat dari pola
korupsi di sektor energi nasional. Sejak 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) telah mengungkap 25 kasus serupa di proyek PLTU, dengan total kerugian
Rp20 triliun, mayoritas melibatkan pejabat BUMN dan mitra swasta. PLTU Kalbar,
yang awalnya digadang sebagai bagian dari Program 35.000 MW Presiden Joko
Widodo, menjadi korban kolusi tender yang cacat, di mana PT BRN—afiliasi
keluarga pengusaha nasional—diduga memanipulasi evaluasi teknis. Fahmi Mochtar,
yang juga tersangka dalam kasus lain seperti pengadaan alat kesehatan COVID-19,
kini menghadapi dakwaan berlapis. "Ini bukan akhir; kami akan gali lebih
dalam keterlibatan pihak lain, termasuk konsultan asing yang terlibat dalam
desain underspec," tambah Cahyono, merujuk dugaan keterkaitan dengan
perusahaan China yang menyediakan turbin murah tapi tidak standar.
Secara lebih luas, pengungkapan ini menjadi pelajaran
berharga bagi pengawasan proyek BUMN di era Presiden Prabowo Subianto. Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif telah memerintahkan audit
internal PLN terhadap 10 PLTU mangkrak lainnya, dengan target penyelesaian 80
persen pada 2027 melalui skema public-private partnership (PPP) yang lebih
ketat. Di Kalbar, Gubernur Daniel Fortuna menyambut baik pengungkapan ini
sebagai momentum reformasi, dengan rencana relokasi proyek ke PLTU gas Pontianak
yang lebih efisien. "Korupsi ini merampas hak rakyat Kalbar atas listrik
murah dan stabil. Kami dukung Polri sepenuhnya untuk pemulihan aset,"
katanya dalam pernyataan resmi Senin sore. Sementara itu, aktivis anti-korupsi
dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut transparansi lebih besar,
termasuk publikasi laporan BPK secara real-time untuk proyek di atas Rp500
miliar.
Pada akhirnya, kasus PLTU Kalbar menggarisbawahi urgensi
integritas dalam pembangunan energi nasional, di mana setiap rupiah yang hilang
berarti kegelapan bagi jutaan rumah tangga. Dengan proses hukum yang berjalan
dan penelusuran aset yang gencar, ada harapan bahwa Rp1,3 triliun itu tak
sia-sia—setidaknya sebagai pengingat bahwa energi untuk rakyat harus bebas dari
tangan-tangan kotor. Polri berjanji pengumuman lanjutan dalam waktu dekat,
termasuk identitas penerima dana subkon, sementara PLN bersiap restrukturisasi
tender untuk mencegah tragedi serupa. Di tengah transisi ke energi hijau,
Indonesia tak boleh lagi membayar mahal untuk kegagalan yang bisa dicegah.