Resensi Buku: Kantu': Jejak yang Terhapus di Tanah Dayak karya Ambrosius Suminto
![]() |
Cover Novel Kantu'. Design by Alexander Mering |
Oleh: Dessy Rizki
Saya selalu terpesona dengan buku yang mampu menjembatani antara cerita fiksi dan realitas budaya. "Kantu': Jejak yang Terhapus di Tanah Dayak" karya Ambrosius Suminto, diterbitkan oleh Asiaglobe pada 28 September 2025, adalah salah satu contoh yang menonjol. Buku ini bukan sekadar novel biasa; ia seperti napas panjang dari rimba Borneo yang semakin surut, menggabungkan narasi pribadi dengan dokumentasi etnografis yang kaya. Dengan 138 halaman isi utama (ditambah glosarium dan pendahuluan), Suminto—seorang penulis autodidak kelahiran Kapuas Hulu—menawarkan potret mendalam tentang suku Kantu', subetnis Dayak yang sering terpinggirkan dalam narasi sejarah Indonesia.
Jejak Budaya yang Menyentuh Akar dan Ranting
Cerita dibuka dengan narasi introspektif dari tokoh utama,
Buncel, seorang anak Kantu' yang mewarisi "jejak leluhur" di tengah
rimba Kalimantan yang megah. Melalui mata Buncel, Suminto menenun kisah yang
melintasi waktu: dari legenda penciptaan alam semesta (Renung Tusut) hingga
ritual adat seperti Nyengkelatn Tanah, Jadi Saump (perkawinan), hingga Gawa'
Bediri (pesta kemenangan). Buku ini terstruktur dalam bab-bab yang seperti lapisan
pohon: mulai dari "Nama yang Disematkan" yang mengeksplorasi
identitas pribadi dan kolektif, hingga "Ngulit untuk Bumi" yang
menjadi klimaks kritik terhadap degradasi lingkungan.
Tema etnografi Dayak mendominasi, dengan detail yang autentik—sebagian besar bersumber dari pengalaman Suminto sendiri dan wawancara dengan pemuka adat seperti Laurentius Herman Kadir. Kita diajak menyelami mitos seperti asal-usul manusia dari burung Ngkerasak, hubungan sakral dengan Pulang Gana (roh penguasa tanah), dan praktik gotong royong seperti Bedurouk atau Berimpouh di Rumah Panjai (rumah panjang tradisional). Suminto tak segan mengkritik bagaimana kolonialisme Belanda, Orde Baru (Orba) dan globalisasi modern—melalui HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), dan perkebunan sawit—telah "menghapus jejak" ini. Hutan yang dulu menjadi paru-paru kehidupan kini gundul, sungai keruh oleh merkuri dan pupuk kimia, sementara adat seperti ngambei' bini (penjemputan mempelai) atau makai taun (syukuran panen) semakin langka karena pengaruh agama Nasrani dan individualisme.
Kekuatan buku ini terletak pada pendekatan etnografisnya
yang hidup: bukan sekadar deskripsi kering, tapi narasi yang mengalir seperti
sungai Kapuas. Glosarium yang detail (sekitar 10 halaman) membantu pembaca awam
memahami istilah seperti "antu pala'" (tengkorak ritual) atau
"ngayau" (tradisi perang suku). Namun, sebagai novel, ia terasa lebih
seperti esai etnografis daripada fiksi murni. Sebagai karya sastra Dayak, plotnya memang kurang dramatis, lebih fokus
pada refleksi filosofis. Ini bisa menjadi kelemahan bagi pembaca yang mencari
ketegangan cerita, tapi justru menjadi kelebihan bagi penggemar sastra
etnografi seperti karya Pramoedya Ananta Toer atau buku-buku tentang Dayak oleh
Tjilik Riwut. Suminto berhasil menyoroti isu lingkungan: degradasi hutan bukan
hanya ekologis, tapi juga kultural, di mana hilangnya rimba berarti hilangnya
identitas.
Simbolisme yang Sederhana tapi Menyentuh
Desain cover buku ini yang pertama kali saya lihat terpampang di toko anyarmart.com tampanya mengusung minimalisme yang efektif,
dengan latar putih bersih yang kontras dengan judul "Kantu'" berwarna
merah darah, seperti jejak luka di tanah suci. Ilustrasi siluet seorang pejuang
Dayak dengan tombak, berdiri di jalan merah berliku yang menyerupai sungai
darah, dikelilingi bintang-bintang hitam—simbol langit mitos Kantu'—memberi kesan
misterius dan simbolis. Bintang-bintang itu mengingatkan pada legenda Renung
Tusut, sementara jalan merah melambangkan "jejak yang terhapus"
akibat kolonialisme dan modernisasi. Di belakang, blurb ditemani ilustrasi
burung terbang, merujuk pada mitos burung keramat seperti Bejampung atau
Nendak, yang sering menjadi petunjuk alam dalam adat Dayak. Secara keseluruhan,
desain ini selaras dengan tema: sederhana seperti kehidupan adat, tapi penuh
makna seperti rimba Borneo. Ini mengingatkan saya pada cover buku etnografi bertema Dayak yang juga menggunakan
simbolisme alam.
Undangan untuk Mengingat Akar
"Kantu'" adalah bacaan wajib bagi siapa saja yang peduli dengan nasib suku asli Indonesia, terutama di tengah krisis lingkungan Borneo. Suminto, dengan latar belakang agronomi dan pengalaman pribadi, berhasil menyuarakan "ngulit" (berkabung) atas hilangnya budaya Dayak akibat eksploitasi. Buku ini bukan hanya resensi sejarah, tapi panggilan untuk bertindak: menjaga hutan berarti menjaga identitas. Saya beri nilai 8/10—kurang dramatis sebagai novel, tapi luar biasa sebagai etnografi sastra. Baca, renungkan, dan jangan biarkan jejak ini benar-benar terhapus. Untuk Anda yang sudah tak sabar membaca buku ini silahkan kunjungi distributor buku resminya, anyarmart.com.