![]() |
| Ilustrasi AI |
Kaltim – Ancaman pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) hingga
50 persen pada 2026 menjadi guncangan besar bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur (Pemprov Kaltim), yang selama ini bergantung pada alokasi pusat untuk
mendanai program unggulan seperti Gratispol dan pembangunan infrastruktur
penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN). Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji,
mengonfirmasi bahwa penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2026 tak terelakkan, dengan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi Aparatur
Sipil Negara (ASN) menjadi sasaran utama pengurangan. Langkah ini, yang akan
dibahas bersama serikat ASN, bertujuan menjaga stabilitas keuangan di tengah
proyeksi APBD yang menyusut dari Rp21,3 triliun menjadi sekitar Rp16-17 triliun
akibat penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) minerba dan migas hingga Rp5 triliun.
Meski demikian, program prioritas seperti pendidikan dan kesehatan gratis tetap
dijaga, sementara proyek nonesensial ditunda untuk menghindari defisit yang
lebih dalam.
Seno Aji, yang menjabat sejak dilantik bersama Gubernur Rudy
Mas’ud pada Februari 2025, menyatakan bahwa pemangkasan TPP hampir pasti
terjadi jika realisasi TKD benar-benar anjlok separuh dari tahun sebelumnya.
“Kondisi fiskal kita memang tidak memungkinkan untuk mempertahankan beban
semacam itu. Pemangkasan TPP akan jadi opsi pertama, tapi ini harus
didiskusikan bersama seluruh ASN agar tidak menimbulkan keresahan,” ujarnya
saat ditemui di Samarinda, Senin, 6 Oktober 2025. Berdasarkan Keputusan Gubernur
Kaltim Nomor 100.3.3.1/K.731/2023, TPP ASN Pemprov Kaltim mencapai angka
fantastis: Sekretaris Daerah bisa menerima hingga Rp99 juta per bulan,
sementara kepala badan, inspektur, dan direktur RSUD kelas A memperoleh puluhan
juta rupiah setiap bulannya. Total belanja pegawai ini menyedot sekitar 20-25
persen APBD 2025, yang mencapai Rp21,3 triliun, dan kini berpotensi menjadi
korban efisiensi untuk menutup lubang TKD yang diproyeksikan hanya Rp2,49
triliun—terdiri dari DBH migas Rp48 miliar, minerba Rp1,19 triliun, dana
reboisasi Rp51 miliar, dan Dana Alokasi Umum (DAU) Rp866 miliar.
Penurunan TKD ini bukanlah kejutan belaka, melainkan bagian
dari kebijakan efisiensi nasional dalam Rancangan APBN 2026 yang diumumkan
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).
Secara nasional, TKD dipangkas 24,8 persen dari Rp864,1 triliun pada 2025
menjadi Rp650 triliun, dengan DBH nasional anjlok dari Rp192,3 triliun menjadi
Rp45,1 triliun. Bagi Kaltim, yang menyumbang 60 persen produksi batu bara
nasional dan menjadi penyokong utama pendapatan negara dari sumber daya alam
(SDA), pemangkasan ini terasa ironis. “Kita dikeruk SDA-nya habis-habisan, tapi
jatah DBH-nya dipotong setengah. Ini membebani daerah yang justru jadi penopang
APBN,” keluh Anggota DPRD Kaltim dari Komisi II, Firnadi Ikhsan, dalam rapat
kerja dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) pada September 2025.
Proyeksi APBD 2026 yang semula Rp18,78 triliun sesuai Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2030 kini terancam susut menjadi Rp16-17
triliun, jauh di bawah target, dengan PAD yang hanya menyumbang 50-55 persen
atau sekitar Rp10-11 triliun.
Lebih dari sekadar TPP, Seno menegaskan bahwa penyesuaian
akan merembet ke proyek-proyek strategis yang dinilai belum mendesak, seperti
pembangunan jalan nonprioritas atau fasilitas seremonial. “Kita akan pangkas
atau bahkan batalkan yang tidak esensial. Fokus utama tetap pada program yang
langsung menyentuh rakyat, seperti pendidikan gratis dari SMA hingga S3 dan
layanan kesehatan tanpa biaya,” tegasnya. Komitmen ini sejalan dengan visi
Gubernur Rudy Mas’ud, yang pada September 2025 menargetkan seluruh anak Kaltim
bisa sekolah tinggi tanpa hambatan finansial, dengan alokasi pendidikan
mencapai 30 persen APBD. Program Gratispol, yang mencakup bantuan pendidikan
dan kesehatan gratis, telah menjangkau 1,2 juta warga sejak diluncurkan 2024,
dan Pemprov berjanji tak akan terganggu meski TKD menyusut. Namun, di balik
optimisme itu, tantangan nyata muncul: belanja pegawai yang membengkak akibat
pengangkatan 4.303 PPPK pada 2024 dan 280 PNS baru, ditambah inflasi gaji ASN
nasional 8 persen, berpotensi memicu protes dari kalangan birokrat.
Konteks nasional memperburuk situasi Kaltim, di mana
pemangkasan TKD dialihkan untuk program pusat seperti Makan Bergizi Gratis
(MBG), Koperasi Desa Merah Putih, dan Sekolah Rakyat (SR). Wakil Ketua DPRD
Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, mengkritik kebijakan ini sebagai “pembengkakan pusat
yang merugikan daerah,” dengan Kaltim kehilangan Rp5 triliun DBH saja. Forum
Rumah Rakyat Kaltim Bersatu (FRKB), gabungan tokoh masyarakat dan adat, telah
meluncurkan lobi ke empat anggota DPD RI asal Kaltim untuk meminta revisi,
menekankan bahwa Kaltim sebagai daerah penghasil devisa besar layak dapat
proporsi lebih adil. Pada 22 September 2025, Gubernur Rudy Mas’ud menyatakan
bahwa pengumuman resmi TKD akan keluar pekan itu, menjadi patokan TAPD untuk
menyusun Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara
(KUA-PPAS). “Kita sudah identifikasi program yang bisa ditunda, seperti
perjalanan dinas nonesensial dan hibah yang kurang prioritas,” ujar Kepala
Bappeda Kaltim, Yusliando, yang memimpin tim antisipasi sejak Juni 2025.
Dampak pemangkasan ini berpotensi domino ke kabupaten/kota,
di mana Kutai Kartanegara misalnya, APBD-nya turun dari Rp12 triliun menjadi
Rp7,5 triliun, dan Penajam Paser Utara dari Rp2,4 triliun menjadi Rp2 triliun.
Di Kutai Timur, TPP ASN bahkan terancam turun sesuai kemampuan keuangan daerah,
dengan belanja pegawai 2025 mencapai Rp2,3 triliun atau 20,7 persen APBD. Pakar
ekonomi UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo, memperingatkan bahwa pemotongan Rp650
triliun nasional bisa memicu gejolak politik-ekonomi, termasuk keterlambatan
infrastruktur dasar seperti jalan desa dan irigasi di Kaltim. “Daerah seperti
Kaltim, yang bergantung DBH SDA, akan kesulitan rebound tanpa insentif
hilirisasi,” katanya pada September 2025. Di sisi lain, Anggota DPR RI Dapil
Kaltim, Edi Oloan Pasaribu, berharap pergantian Menteri Keuangan membawa
perubahan, dengan target TKD tak dipotong signifikan untuk mendukung
desentralisasi.
Pemprov Kaltim tak tinggal diam; lobi ke Kemenkeu
direncanakan dalam waktu dekat, dipimpin Wagub Seno Aji bersama bupati/wali
kota. “Kita akan serukan agar pemangkasan proporsional, mengingat kontribusi
Kaltim ke APBN dari batubara dan migas,” ujarnya. Selain itu, optimalisasi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui digitalisasi pajak dan retribusi menjadi
andalan, dengan target kenaikan 15 persen via kolaborasi swasta di IKN. DPRD
Kaltim, melalui Banggar yang dipimpin Ekti Imanuel, telah menggelar Rapat Kerja
(Raker) pada 2 September 2025 untuk memastikan APBD transparan dan responsif.
Ketua DPRD Hasanuddin Mas’ud menekankan: “Kita kupas semuanya, dari pendapatan
hingga defisit, agar anggaran tepat sasaran.”
Secara keseluruhan, krisis fiskal ini menjadi ujian bagi
kepemimpinan Rudy Mas’ud-Seno Aji di tahun pertama, di mana Kaltim harus
menyeimbangkan efisiensi dengan kesejahteraan rakyat. Dengan 5,5 juta penduduk
yang bergantung pada program sosial, pemangkasan TKD berisiko memperlambat visi
Indonesia Emas 2045, terutama di wilayah penyangga IKN seperti Kutai
Kartanegara. Namun, dengan lobi agresif dan rasionalisasi cerdas, Kaltim
berpotensi keluar lebih kuat—mengubah keterbatasan menjadi momentum diversifikasi
ekonomi hijau. Seperti kata Seno, “Kita tunda yang tak mendesak, tapi prioritas
rakyat wajib jalan.” Di tengah ketidakpastian RAPBN, langkah antisipasi ini
menjadi harapan agar Benua Etam tak terpuruk, melainkan bangkit sebagai
provinsi mandiri.







