Ancaman Ganda di Balik Megaproyek: Perempuan Adat IKN Hadapi Penggusuran Tanah dan Pelecehan Verbal dari Aparat
![]() |
Ilustrasi AI |
IKN – Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang-gadang
sebagai pendorong kemajuan ekonomi nasional kini menjadi sorotan tajam karena dampak
gelapnya terhadap perempuan, terutama komunitas adat. Di Ibu Kota Nusantara
(IKN), Kalimantan Timur, perempuan adat tidak hanya kehilangan tanah warisan
leluhur akibat penggusuran paksa, tetapi juga mengalami pelecehan seksual
verbal dari aparat pengamanan, yang menggunakan bahasa sebagai senjata untuk
meruntuhkan rasa aman dan martabat mereka. Pengungkapan ini disampaikan Ketua
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria
Ulfah Anshor, dalam sidang uji materi Undang-Undang Cipta Kerja terkait
percepatan PSN di Mahkamah Konstitusi (MK), Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025,
pada Selasa, 7 Oktober 2025. Pernyataan Maria menjadi pukulan bagi narasi
pembangunan inklusif IKN, menyoroti bagaimana status PSN justru melegitimasi kekerasan
berbasis gender (KBG) yang sistematis, di mana tubuh perempuan dijadikan medan
pertempuran simbolik untuk kepentingan negara dan investor.
Maria Ulfah Anshor, yang hadir sebagai saksi ahli atas
permintaan pemohon seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menegaskan bahwa pelecehan verbal di
IKN bukan kejadian terisolasi, melainkan pola represif yang halus tapi
destruktif. “Di IKN, pelecehan seksual hadir dalam bentuk verbal bernuansa
seksual dari aparat jaga, memperlihatkan bagaimana bahasa dijadikan instrumen
untuk meruntuhkan rasa aman. Kekerasan ini mengandung pesan politis yang tajam:
tubuh perempuan dijadikan instrumen untuk menegaskan kekuasaan negara dan
investor, di mana ancaman terhadap kehormatan dan rasa aman dipakai sebagai
alat untuk mendisiplinkan dan menundukkan,” ujarnya di Ruang Sidang Pleno MK,
Jakarta Pusat. Dampaknya meluas: perempuan adat, yang sering menjadi tulang
punggung ekonomi rumah tangga melalui pertanian subsisten dan pengelolaan hutan
adat, kini dipaksa menghadapi trauma psikis yang memperburuk guncangan sosial.
Hilangnya tanah garapan berarti hilangnya sumber pangan dan identitas budaya,
sementara pelecehan verbal memperkuat rasa tak berdaya, mendorong peningkatan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat tekanan ekonomi.
Fenomena ini bagian dari pola nasional yang lebih luas, di
mana Komnas Perempuan mencatat 80 pengaduan terkait konflik sumber daya alam,
agraria, dan penggusuran sepanjang 2020-2024, dengan 11 kasus secara langsung
terkait PSN. Analisis mendalam Komnas Perempuan menunjukkan bahwa norma kabur
dalam UU Cipta Kerja membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan, menghasilkan
dampak diskriminatif terhadap perempuan. “PSN bukan hanya soal percepatan
infrastruktur, tapi instrumen legal yang melahirkan KBG, dari kehilangan nafkah
hingga kekerasan fisik dan psikis,” tegas Maria. Dalam sidang yang sama, Komnas
HAM melalui Komisioner Saurlin P. Siagian merekomendasikan MK menegaskan ulang
setiap norma PSN untuk memastikan kepatuhan terhadap HAM, termasuk perlindungan
kelompok rentan seperti perempuan adat. Hakim MK, Anwar Usman, menanggapi bahwa
tidak semua PSN buruk, tapi memerlukan penilaian proporsional, mengakui potensi
pelanggaran seperti intimidasi aparat yang lebih sering melindungi investor
daripada warga.
Daftar 11 kasus PSN yang menjadi sorotan Komnas Perempuan
sepanjang 2020-2024 mencerminkan kerentanan perempuan di berbagai wilayah, di
mana pembangunan sering kali mengorbankan hak adat dan gender. Pertama,
Makassar New Port di Sulawesi Selatan: sekitar 300 perempuan nelayan kehilangan
sumber nafkah, memicu lonjakan KDRT akibat tekanan ekonomi. Kedua, Bendungan
Bener di Desa Wadas, Jawa Tengah: 334 petani perempuan kehilangan tanah
garapan, memutus rantai ketahanan pangan keluarga. Ketiga, Bendungan Mbay Naga
Keo di Nusa Tenggara Timur: intimidasi aparat menyebabkan perempuan adat
terluka fisik dan sosial, dengan 15 kasus luka serius terdokumentasi di lokasi
serupa. Keempat, PLTA Poso di Sulawesi Tengah: 100 perempuan kehilangan akses
air bersih, mengganggu higiene dan kesehatan reproduksi. Kelima, PLTB Oelpuah
di Kupang, NTT: kekerasan seksual terhadap warga perempuan selama proses
penggusuran. Keenam, Merauke Food Estate di Papua Selatan: ratusan perempuan
adat kehilangan hutan, pangan, dan ruang hidup adat. Ketujuh, UIII Depok di
Jawa Barat: 17 perempuan kehilangan lahan usaha kecil. Kedelapan, Mandalika di
NTB: 70 perempuan kehilangan usaha wisata, memicu kemiskinan struktural.
Kesembilan, Rempang Eco City di Batam, Kepri: perempuan mengalami luka fisik
dan kehilangan lahan adat. Kesepuluh, Poco Leok: kekerasan aparat terhadap
perempuan pembela tanah. Dan kesebelas, IKN Nusantara: pelecehan verbal dan
penggusuran tanah adat, di mana aparat keamanan dikerahkan untuk mengamankan
proyek senilai Rp466 triliun, bukan melindungi warga.
Kasus-kasus ini, yang didokumentasikan melalui pengaduan ke
Komnas Perempuan dan mitra seperti Women Crisis Center, menunjukkan pola yang
konsisten: aparat keamanan lebih sering bertindak represif daripada protektif,
dengan sedikitnya 15 perempuan mengalami luka fisik serius di Poco Leok,
Rempang, dan Mbay. Di IKN, penggusuran tanah adat di Desa Sialo dan sekitarnya
sejak 2023 telah memaksa ratusan perempuan Dayak Paser meninggalkan lahan
garapan, tanpa kompensasi memadai. Pelecehan verbal, seperti komentar bernuansa
seksual dari petugas jaga pos pengamanan, menjadi alat halus untuk
mendisiplinkan perlawanan, memperburuk stigma sosial dan isolasi korban. Sebuah
studi BRIN 2024 menyoroti bahwa KBG di PSN meningkat 25 persen sejak UU Cipta
Kerja diterapkan, dengan perempuan adat menyumbang 60 persen korban karena
ketergantungan pada sumber daya alam. Di tingkat nasional, Catatan Tahunan
Komnas Perempuan (CATAHU) 2024 mencatat 445.502 kasus kekerasan berbasis
gender, dengan 330.097 di antaranya menimpa perempuan, naik 14,17 persen dari
2023—sebagian besar terkait konflik agraria.
Dampak multidimensional ini tidak hanya psikis, tapi juga
ekonomi dan budaya. Di IKN, kehilangan tanah berarti hilangnya akses ke hutan
adat yang menjadi sumber obat-obatan tradisional dan ritual kesuburan bagi
perempuan Dayak, memperlemah peran mereka sebagai penjaga pengetahuan lokal.
Tekanan ekonomi pasca-penggusuran memicu KDRT, dengan laporan Komnas Perempuan
mencatat peningkatan 30 persen di wilayah PSN seperti Mandalika dan Rempang.
Secara sosial, perempuan korban pelecehan verbal sering diisolasi oleh
komunitas, di mana stigma patriarki menyalahkan korban daripada pelaku. Maria
Ulfah menekankan bahwa norma kabur di UU Cipta Kerja, seperti percepatan lahan
tanpa partisipasi publik yang inklusif, membuka celah bagi diskriminasi gender.
“PSN harus menghormati HAM, termasuk hak perempuan atas tanah dan keamanan,
bukan malah menjadi lahan kekerasan baru,” tegasnya, mendesak MK membatalkan
pasal-pasal bermasalah untuk mencegah pelanggaran konstitusional.
Secara nasional, sidang ini menjadi momentum kritis bagi
judicial review UU Cipta Kerja, yang diajukan 20 pemohon termasuk YLBHI dan
Walhi pada Juli 2025. Komnas HAM mendukung permohonan, merekomendasikan
penegasan norma PSN agar selaras dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat 2 tentang hak
atas lingkungan hidup yang sehat. Presiden Prabowo Subianto, yang menargetkan
IKN beroperasi penuh 2028, dihadapkan pada tuntutan reformasi: Otorita IKN
harus integrasikan gender mainstreaming dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),
termasuk forum dialog adat dan mekanisme pengaduan aman bagi perempuan. Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang
Puspayoga, telah menyatakan komitmen audit gender di PSN, tapi implementasinya
masih lemah—hanya 20 persen proyek yang punya unit pengawas KBG sejak 2024.
Ke depan, Maria Ulfah mendorong sinergi antarlembaga: Komnas
Perempuan, Komnas HAM, dan KPK untuk monitoring PSN, dengan target nol
toleransi KBG pada 2026. Kampanye “PSN Tanpa Kekerasan” melalui Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan LSM seperti Jaringan Perempuan Indonesia
(JPI) mulai digulirkan di IKN, melatih 500 perempuan adat soal hak hukum dan
pelaporan. Di MK, putusan diharapkan Desember 2025, berpotensi membatalkan
klausul percepatan PSN yang diskriminatif. “Perempuan bukan korban pasif; suara
mereka adalah suara konstitusi,” tutup Maria. Di balik gemerlap IKN sebagai
kota hutan, cerita perempuan adat menjadi pengingat: pembangunan sejati tak
boleh dibangun di atas air mata dan tanah yang dirampas. Dengan advokasi yang
gigih, harapan tetap ada agar PSN jadi berkah, bukan kutukan gender.