Tragedi Hiu Goreng: Ironi Program Makan Bergizi di Ketapang
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekolah dasar di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, berubah menjadi tragedi yang mengguncang publik. Alih-alih menjadi solusi atas masalah malnutrisi, program ini justru menyebabkan keracunan massal yang menimpa 25 orang—24 siswa dan seorang guru dari SDN 12 Benua Kayong—usai menyantap menu ikan hiu goreng.
Insiden ini terjadi pada akhir September 2025, ketika MBG
menyajikan menu yang tidak lazim: ikan hiu goreng. Menu tersebut diduga menjadi
sumber keracunan karena kandungan merkuri yang tinggi dalam tubuh ikan hiu,
yang merupakan predator laut. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ikan
hiu termasuk dalam kategori hewan laut yang berisiko tinggi mengandung polutan
seperti merkuri, karena berada di puncak rantai makanan dan mengakumulasi racun
dari mangsanya.
Gejala yang dialami para korban meliputi demam, mual,
muntah, dan sakit perut. Sebagian besar dari mereka sempat dirawat di RSUD dr.
Agoesdjam Ketapang. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ketapang, dr. Feria
Kowira, menyatakan bahwa jumlah pasien bertambah delapan orang pada malam hari
setelah kejadian awal, sehingga total korban mencapai 25 orang. Dari jumlah
tersebut, 22 pasien telah diperbolehkan pulang setelah kondisinya membaik,
sementara tiga lainnya masih menjalani perawatan intensif.
Kepala Regional MBG Kalbar, Agus Kurniawi, mengakui bahwa
pemilihan ikan hiu sebagai menu MBG adalah kesalahan fatal. Ia menyebutnya
sebagai bentuk keteledoran dari tim SPPG (Satuan Pelaksana Program Gizi) yang
tidak teliti dalam memilih bahan makanan. Menurut Agus, ikan hiu tersebut
dibeli dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rangga Sentap, dan meskipun merupakan
produk lokal, ikan hiu bukanlah pilihan yang lazim atau aman untuk konsumsi
anak-anak. “Harusnya menu yang dipilih itu yang digemari siswa. Anak-anak
jarang sekali mengonsumsi ikan hiu. Bisa saja ikan hiu ini memiliki kandungan
merkuri. Itu yang sangat saya sesalkan kemarin,” ujarnya.
Tragedi ini membuka banyak pertanyaan tentang sistem
pengawasan dan kontrol kualitas dalam pelaksanaan program MBG. Program yang
bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak justru menjadi sorotan karena
lemahnya pengawasan dan minimnya edukasi tentang keamanan pangan. Dalam konteks
kebijakan publik, insiden ini menunjukkan pentingnya integrasi antara program
gizi dan kajian ilmiah tentang risiko konsumsi makanan laut, terutama dari
spesies predator.
Dari sisi medis, keracunan merkuri bukanlah hal sepele.
Paparan merkuri dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologis,
kerusakan ginjal, dan gangguan perkembangan pada anak-anak. Efeknya bisa
bersifat jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup korban. Oleh karena itu,
pemilihan bahan makanan dalam program MBG harus mempertimbangkan aspek keamanan
biologis dan kimiawi, bukan hanya nilai gizi semata.
Insiden ini juga menyoroti pentingnya pelatihan dan
sertifikasi bagi tim pelaksana program gizi di daerah. Ketidaktahuan atau
kurangnya informasi tentang kandungan toksik dalam ikan hiu menunjukkan bahwa
pelaksana program belum dibekali dengan pengetahuan dasar tentang keamanan
pangan. Edukasi dan pelatihan harus menjadi bagian integral dari program MBG
agar kejadian serupa tidak terulang.
Dari sisi masyarakat, tragedi ini menimbulkan kekhawatiran
yang mendalam. Orang tua siswa mempertanyakan keamanan makanan yang disediakan
oleh sekolah, dan beberapa bahkan menyatakan keengganan untuk mengizinkan
anak-anak mereka mengikuti program MBG jika tidak ada jaminan kualitas.
Kepercayaan publik terhadap program pemerintah bisa runtuh hanya karena satu
insiden yang menunjukkan kelalaian sistemik.
Pihak rumah sakit menyatakan bahwa mereka telah melakukan
penanganan sesuai protokol medis. Para pasien diberikan terapi cairan dan
obat-obatan untuk meredakan gejala keracunan. Tim medis juga melakukan
observasi ketat terhadap pasien yang masih dirawat, untuk memastikan tidak ada
komplikasi lanjutan akibat paparan merkuri.
Dalam jangka panjang, insiden ini bisa menjadi momentum
untuk mereformasi program MBG secara menyeluruh. Pemerintah daerah dan pusat
perlu mengevaluasi ulang standar operasional, sistem pengadaan bahan makanan,
serta mekanisme pengawasan dan audit. Program gizi tidak boleh hanya menjadi
proyek formalitas, melainkan harus benar-benar menjamin kesehatan dan
keselamatan anak-anak sebagai generasi masa depan.
Tragedi ikan hiu goreng di Ketapang adalah pelajaran pahit
tentang pentingnya kehati-hatian dalam setiap aspek kebijakan publik, terutama
yang menyangkut kesehatan anak-anak. Semoga insiden ini menjadi titik balik
menuju sistem pangan sekolah yang lebih aman, terdidik, dan bertanggung jawab.
Lebih jauh, insiden ini juga membuka ruang diskusi tentang
pentingnya keterlibatan ahli gizi dan dokter anak dalam perencanaan menu MBG.
Tidak cukup hanya mengandalkan tim pelaksana lokal; perlu ada supervisi dari
tenaga profesional yang memahami risiko kesehatan dari setiap bahan makanan
yang digunakan. Kolaborasi lintas sektor antara dinas pendidikan, dinas
kesehatan, dan komunitas medis menjadi kunci untuk memastikan keberhasilan
program MBG.
Selain itu, perlu ada transparansi dalam proses pengadaan
bahan makanan. Masyarakat berhak tahu dari mana asal bahan makanan yang
disajikan kepada anak-anak mereka. Sistem pelaporan dan audit publik bisa
menjadi solusi untuk meningkatkan akuntabilitas dan mencegah terjadinya
penyimpangan atau kelalaian.
Tragedi ini juga menjadi pengingat bahwa program sosial
tidak boleh dijalankan secara serampangan. Setiap kebijakan yang menyangkut
kesehatan publik harus didasarkan pada data ilmiah, kajian risiko, dan prinsip
kehati-hatian. Dalam kasus MBG Ketapang, niat baik untuk memberikan makanan
bergizi berubah menjadi bencana karena kurangnya pemahaman dan pengawasan.
Sebagai penutup, insiden keracunan ikan hiu goreng di
Ketapang bukan hanya soal kesalahan teknis dalam pemilihan menu. Ia
mencerminkan kegagalan sistemik dalam pelaksanaan program sosial yang
seharusnya menjadi harapan bagi anak-anak Indonesia. Pemerintah dan masyarakat
harus belajar dari kejadian ini dan berkomitmen untuk membangun sistem pangan
sekolah yang lebih aman, transparan, dan berbasis ilmu pengetahuan.