Sesat Pikir Kolektif di Tanah Republik
Oleh: Alexander Mering
Pernahkah Anda mendengar berita pagi yang bunyinya begini: “Pejabat X mengkorupsi uang negara triliunan rupiah.” Uju Kondet yang tengah minum aik kratom langsung keselek. Uang negara? Dari mana negara punya uang? Apa negara punya kebun sawit? Apa negara juga ikut menyadap karet tiap pagi, atau pasang jala ikan di danau? Tidak. Yang kerja itu rakyat. Yang bayar pajak itu kita. Mengapa uang pajak tiba-tiba bisa berganti kelamin? Kita setengah mapus bekerja kok negara yang jadi pemilik duit?
Kawanku yang
lihai ngampor menjelaskan,“bahwa negara punya BUMN, ada migas, ada
tambang, ada setoran laba perusahaan.” Betul bro. Tapi jangan lupa, modal BUMN (Pertamina,
PLN, KAI, BNI, BRI, PTPN, freeport, dll) itu dari kas negara. Asalnya dari pajak
yang dipungut dari rakyat! Bumi tempat mereka menggali migas, emas, nikel
hingga batubara itu asalnya adalah tanah rakyat. Sungai, danau, hutan dan gunung
itu sebagian besar adalah milik masyarakat adat yang sudah tinggal disana jauh
sebelum Proklamasi dibacakan. Jadi ketika itu menjadi uang, tetap saja itu uang
rakyat. Negara (dalam hal ini pemerintah) hanya mandor, bukan pemilik kebun. Kalau mandor bilang,
“Hasil ini semua milik saya,” itu Namanya keblinger.
Pada
praktiknya terminologi “uang negara” bikin banyak pejabat kita mabuk kuasa berjamaah.
Membuat mereka merasa punya ATM yang tak ada limit, mau makan kaviar tinggal
gesek. Tak ada rasa sungkan lagi. Padahal kalau disebut Public Funds kalau “uang rakyat,” barangkali tangannya akan gemetar
waktu tanda tangan proyek. Karena akan terbayang wajah-wajah yang menatap balik
dari setiap lembar rupiah: wajah petani padi yang hasilnya dibeli murah, wajah
buruh bangunan yang hidup pas-pasan, wajah tukang ojek online yang
menggigil kehujanan.
Begitu juga
dengan kata “pemerintah.” Di Eropa atau Amerika sana, government itu adalah
mesin birokrasi, hanya institusi netral (checks
and balances, rule of law). Bukan
figure yang memerintah. Tapi di Indonesia,
kata “pemerintah” sama dengan penguasa atau alias tukang perintah. Rakyat
dianggap kacung, dipaksa ikut pemilu, dan diancam penjara kalau tak bayar pajak.
Entah mengapa semua seperti amnesia bahwa rakyatlah pemilik sah republik ini. Pantaslah
Uju Kondet pernah memberi nasehat,” kata bisa menipu. Kata juga bisa merampok
kesadaran! Waspadahal, waspadalah!”
Ini contoh
sederhananya. Kalau ada pesta gawai di kampung, semua turun tangan. Ada yang
masak, ada yang motong babi, ada yang menyiapkan aik tuak. Itu namanya
governance: gotong royong. Kulak bayangkan
kalau tiba-tiba tuan rumah bilang, “Ini rumahku, hanya aku yang boleh makan.”
Apa jadinya? Orang pun akan pulang, pesta bubar! Begitu pula negara ini kalau
“pemerintah” merasa dirinya lebih tinggi dari rakyat. Sebab dalam kaitannya
dengan “uang rakyat” tadi negara hanyalah trustee
(pengelola amanah).
Bahasa bukan
soal remeh, kawan. Antropolog-linguistik asal negeri Paman, Sapir-Whorf (1884–1939) dalam
linguistic relativity hypothesis pernah
mengingatkan kita bahwa,“bahasa membentuk cara berpikir.” Kalau kita salah sebut, kita bisa salah jalan. Jadi
sadarlah bahwa istilah “uang negara” itu racun. Ia mengubah amanah jadi hak,
mengubah pengelola jadi pemilik. Itu pintu maling!
KPK berkata
ratusan triliun raib tiap tahun karena korupsi. Itu bukan uang negara yang
hilang. Itu uang bensin motor kulak,
uang beras di dapur emak, uang SPP keponakan kita, biaya berobat rumah sakit (BPJS)
uju Kondet. Tapi karena disebut “uang
negara,” sedikit sekali dari kita yang merasa sakit, karena lukanya jauh dan tidak
berwajah. Seolah-olah yang hilang itu hanya HP tetangga sebelah. Padahal yang
dicuri itu adalah masa depan nyawa kita semua.
Sebelum
meninggal alm bapak pernah berpesan, “Nak, jangan kulak biarkan kata-kata menipu pikiran.” Dulu aku anggap itu petuah
puitis, tapi kini aku sadar otak kita telah lama dibelokan. Secara semiotika kata
“Uang Negara” menandakan sesuatu yang jauh dari rakyat: milik birokrasi, kas
negara, gedung kementerian, APBN. Ingat lo ya, kata bisa jadi jerat. Kata “uang
negara” dan “pemerintah” adalah sesat pikir kolektif!
Karena
selama ini kita terus-menerus membiarkan istilah yang salah menguasai pikiran, makanya
kita terheran-heran melihat perilaku pejabat banyak yang bengkok. Padahal
bengkoknya itu sudah dimulai dari lidah, kawan.
Maka sudah
saatnya kita luruskan. Jangan lagi sebut “uang negara.” Katakanlah itu “uang
rakyat.” Jangan lagi menganggap “pemerintah” itu raja. Ingatkan bahwa ia hanya
pengelola, hanya leader bin mandor, bukan
penguasa apalagi dewa yang wajib disembah!