Truk ODOL Perusak Jalan Kalteng: Gubernur Pimpin Penertiban Tanpa Pandang Bulu
Kerusakan jalan negara di Provinsi Kalimantan Tengah
(Kalteng) bukan lagi sekadar cerita lama yang berulang tanpa solusi. Di balik
jalan-jalan berlubang dan jembatan retak yang menjadi keluhan harian warga, ada
satu akar masalah yang terus membayangi infrastruktur di provinsi ini: angkutan
Over Dimension Over Loading (ODOL). Truk-truk raksasa bermuatan hasil tambang,
kelapa sawit, dan kayu, yang melaju tanpa peduli batas tonase, menjadi momok
nyata bagi jalan-jalan negara yang seharusnya menopang pembangunan daerah.
Namun kini, Pemerintah Provinsi Kalteng, di bawah komando langsung Gubernur,
mengangkat palu penertiban dengan tegas dan merata, tanpa pandang bulu.
Kepala Dinas Perhubungan Kalteng, Yulindra Dedy, menyatakan
bahwa masalah angkutan ODOL bukanlah peristiwa baru. Ini adalah luka lama yang
belum sembuh, bahkan kian menganga seiring meningkatnya aktivitas ekonomi yang
bergantung pada angkutan berat. "Angkutan ODOL adalah masalah negara sejak
lama," ujarnya ketika dihubungi awak media pada Minggu, 20 Juli 2025. Ia
mengungkapkan, penertiban kendaraan ODOL kini telah menjadi agenda nasional,
setelah Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur RI meluncurkan program terpadu
bersama Korps Lalu Lintas Polri di seluruh Indonesia.
“Ini adalah upaya untuk mengurangi dampak negatif kendaraan
ODOL terhadap infrastruktur, keselamatan, dan ekonomi,” jelas Yulindra.
Truk-truk milik Perusahaan Besar Swasta (PBS) di sektor tambang, perkebunan,
dan kehutanan memang seringkali membawa hasil produksi dalam volume yang jauh
melebihi kapasitas angkut kendaraan. Akibatnya, jalan negara yang dibangun
dengan anggaran rakyat rusak lebih cepat, memicu kecelakaan, memperlambat
mobilitas masyarakat, dan tentu saja menguras dana pemeliharaan yang tidak sedikit.
Namun Kalteng tidak sekadar menunggu komando dari pusat.
Pemerintah Provinsi telah lama mengambil tindakan konkret. Penertiban truk ODOL
di wilayah ini dipimpin langsung oleh Gubernur, sebagai respon atas banyaknya
keluhan masyarakat terkait kondisi jalan yang kian memprihatinkan. Menurut
Yulindra, prioritas utama Pemprov adalah angkutan yang membawa hasil sumber
daya alam (SDA) Kalteng, sebab inilah yang paling berkontribusi terhadap
kerusakan jalan nasional di provinsi tersebut.
“Saat ini banyak angkutan PBS yang mengangkut hasil produksi
melewati jalan negara di Kalteng, yang jadi prioritas Bapak Gubernur adalah
truk membawa muatan hasil sumber daya alam dari Kalteng,” ujarnya tegas. Ia pun
menambahkan, sasaran utama dari kebijakan penertiban ini bukanlah para sopir
truk, melainkan pemilik barang atau PBS yang dinilai abai terhadap aturan
kapasitas kendaraan dan dampaknya terhadap infrastruktur publik.
“Bapak Gubernur tidak pernah menyalahkan pengemudi truk,”
tutur Yulindra. “Beliau memahami para sopir adalah juga korban dari pelaku
usaha yang kurang memiliki empati terhadap kondisi keamanan masyarakat terhadap
lalu lintas di jalan, termasuk keselamatan para sopir itu sendiri.”
Dalam hal ini, penertiban dilakukan tanpa kompromi. Truk
bermuatan berlebih dari berbagai penjuru Indonesia, tak luput dari tindakan.
Baik itu berasal dari Jawa Timur, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, bahkan dari Kalimantan Tengah sendiri, semua diperlakukan sama. Tak ada
kekhususan, tak ada perlakuan istimewa. Semua yang melanggar aturan akan
ditindak tegas. “Kami tertibkan tidak hanya truk yang berasal dari Jawa Timur,
dari daerah lain seperti Lampung, Kalsel, Kaltim, bahkan Kalteng sendiri juga
dilakukan tindakan yang serupa,” tegas Yulindra.
Pendekatan ini menjadi jawaban atas tudingan bahwa selama
ini penegakan aturan sering tebang pilih. Pemprov Kalteng membalik narasi
tersebut dengan langkah nyata yang menyasar pelanggaran tanpa melihat siapa
pelakunya atau dari mana asalnya. Kebijakan ini, menurut Yulindra, bukan
sekadar soal ketertiban lalu lintas, tetapi juga soal keadilan dan keberpihakan
terhadap kepentingan publik yang lebih luas.
Yulindra juga menjelaskan bahwa upaya penertiban ini
bertujuan untuk menciptakan jalan negara yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.
Ia menyadari bahwa publik, khususnya masyarakat Kalteng, mendukung penuh
tindakan tegas pemerintah dalam mengatasi truk ODOL. “Kami yakin, sangat banyak
masyarakat Indonesia umumnya dan Kalteng khususnya yang mendukung upaya Pemprov
Kalteng dalam memastikan keamanan dan ketertiban bagi pengguna jalan di
Kalteng,” pungkasnya.
Truk ODOL dan Luka Kolektif Infrastruktur
Fenomena angkutan ODOL bukan hanya persoalan teknis tentang
muatan dan dimensi kendaraan. Ia adalah cermin dari hubungan timpang antara
pelaku usaha berskala besar dan kepentingan publik. Ketika perusahaan
memaksimalkan efisiensi dengan memuat truk di luar batas normal, yang mereka
tekan adalah biaya operasional. Tapi yang mereka bebani adalah jalan umum, yang
dibangun dari pajak rakyat. Dan ketika jalan rusak parah, rakyatlah yang paling
terdampak: petani kesulitan mengangkut hasil panen, anak sekolah terhambat
menuju kelas, ambulans melambat di tengah krisis darurat.
Apa yang dilakukan oleh Pemprov Kalteng sejatinya adalah
membalik arah kerugian tersebut kembali ke akarnya. Dengan menyasar PBS sebagai
pihak yang harus bertanggung jawab, pemerintah menempatkan beban hukum dan
moral di tempat yang semestinya. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan,
pendekatan ini tak hanya relevan, tetapi juga mendesak.
Penting untuk dicatat bahwa langkah ini tidak dilakukan
dengan menutup mata terhadap kompleksitas sosial-ekonomi yang menyertai. Tidak
seperti pendekatan sebelumnya yang kerap menjerat sopir truk sebagai pelaku
utama pelanggaran, Gubernur Kalteng secara eksplisit menegaskan bahwa para
sopir adalah korban dari sistem yang timpang. Inilah bentuk kebijakan publik
yang tidak hanya keras, tetapi juga adil—keras kepada pelaku utama, dan empatik
kepada yang terdampak.
Membangun Kesadaran Kolektif dan Sistem Pengawasan
Upaya penertiban ini juga membuka ruang untuk evaluasi
menyeluruh terhadap sistem transportasi barang di Kalteng dan Kalimantan secara
umum. Selama ini, keterbatasan infrastruktur jalan khusus untuk angkutan
tambang dan hasil perkebunan menjadi alasan mengapa banyak PBS memilih
menggunakan jalan negara sebagai jalur utama distribusi. Maka, selain penegakan
hukum, Pemprov perlu mendorong lahirnya regulasi yang memaksa perusahaan
membangun jalan khusus atau ikut menanggung beban pemeliharaan infrastruktur
yang mereka gunakan.
Lebih lanjut, sistem pengawasan harus diperkuat, termasuk
melalui penggunaan teknologi digital seperti GPS, sensor berat kendaraan di
jembatan timbang, serta integrasi data antara Dishub dan kepolisian. Tanpa
sistem pengawasan yang modern, penertiban akan mudah dibypass oleh trik lama:
suap di lapangan, dokumen palsu, atau pengalihan rute.
Namun dari semua itu, yang terpenting adalah membangun
kesadaran kolektif bahwa jalan negara adalah milik bersama, bukan milik
segelintir perusahaan. Ia adalah urat nadi ekonomi rakyat, jalur kehidupan
sosial, dan simbol tanggung jawab negara kepada warganya. Menjaganya adalah
tugas kita bersama, dan menertibkan pelanggarnya adalah kewajiban yang tak bisa
ditawar.
Apa yang dilakukan oleh Pemprov Kalteng bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Bahwa menghadapi truk ODOL tidak harus menunggu pusat, tidak perlu takut pada PBS, dan tidak harus mengorbankan sopir kecil. Cukup dengan keberanian dan komitmen bahwa hukum harus ditegakkan, infrastruktur harus dijaga, dan kepentingan rakyat tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan profit.