Transmigrasi Menuju Kalteng Picu Penolakan: Pemerintah Tegaskan Komitmen NKRI dan Perlindungan Warga Lokal

  


Kalimantan Tengah kembali menjadi sorotan nasional setelah muncul penolakan dari sejumlah tokoh masyarakat terhadap program transmigrasi nasional yang direncanakan pemerintah pusat. Program tersebut, yang bertujuan memindahkan penduduk dari wilayah padat ke daerah yang lebih lapang untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, justru memunculkan kekhawatiran tentang nasib masyarakat asli Kalimantan Tengah, khususnya di tiga kabupaten yang dijadikan sasaran: Sukamara, Kapuas, dan Kotawaringin Barat.

Penolakan ini mencuat setelah beredarnya informasi bahwa ketiga kabupaten tersebut akan menerima warga transmigran dari provinsi-provinsi padat seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, Bali, serta beberapa wilayah lain seperti Lampung, DKI Jakarta, NTB, dan NTT. Reaksi publik, khususnya dari tokoh adat dan masyarakat lokal, menunjukkan kekhawatiran akan tergerusnya peran dan ruang hidup masyarakat Dayak serta kemungkinan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi akibat pola distribusi penduduk yang dianggap tidak adil dan kurang mempertimbangkan konteks lokal.

Menanggapi gejolak ini, Gubernur Kalimantan Tengah Agustiar Sabran mengeluarkan pernyataan tegas yang mengedepankan semangat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Kita ini adalah NKRI. Adanya penolakan itu dinamika yang biasa, tetapi kita ini kan Indonesia," tegasnya dalam sebuah wawancara di Palangka Raya. Bagi Agustiar, kritik dan penolakan merupakan bagian dari demokrasi dan dinamika lokal yang wajar dalam sebuah negara majemuk. Namun ia tetap menekankan bahwa kebijakan transmigrasi harus berjalan dalam kerangka kepentingan nasional dan keutuhan bangsa.

Lebih lanjut, Agustiar menggarisbawahi bahwa pihaknya tidak tinggal diam. Ia menegaskan komitmennya untuk memastikan warga lokal tetap menjadi subjek utama dalam proses pembangunan daerah. “Sudah saya katakan, visi kami ingin menjadikan orang lokal itu tuan di rumahnya sendiri,” ujarnya dengan nada mantap. Ia menjamin bahwa Pemprov Kalteng akan terus mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat asli dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan penduduk dan pembangunan wilayah.

Pernyataan Gubernur ini turut diperkuat oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalteng, Farid Wajdi, yang mengonfirmasi bahwa ketiga kabupaten tersebut memang telah ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi nasional oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. “Ketiga kabupaten tersebut telah memiliki kawasan transmigrasi yang ditetapkan oleh Menteri,” ungkap Farid saat dikonfirmasi. Menurutnya, kawasan tersebut sudah aktif melaksanakan pembangunan berbasis program transmigrasi dan bahkan telah masuk dalam prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Namun, di balik kebijakan itu, kekhawatiran masyarakat lokal tidak bisa diabaikan begitu saja. Narasi penolakan terhadap kebijakan ini mendapat dukungan dari berbagai tokoh, termasuk dari mantan Gubernur Kalteng periode 2005–2015 yang kini menjadi anggota DPD RI, Agustin Teras Narang. Dalam pernyataan yang ia unggah melalui akun media sosial resminya pada Rabu (23/7/2025), Teras Narang mengungkapkan bahwa penolakan terhadap program transmigrasi bukan sekadar penolakan emosional atau bersifat etnosentris.

“Penolakan yang terjadi saat ini bukan hanya sekedar penolakan. Ada banyak aspek termasuk soal distribusi keadilan yang dipandang tidak tepat dari pemerintah pusat,” tulis Teras. Ia menyoroti bahwa perlu ada evaluasi menyeluruh dan revitalisasi terhadap kawasan transmigrasi agar kesenjangan sosial tidak makin melebar dan konflik horizontal bisa dihindari. Menurutnya, transmigrasi semestinya menjadi instrumen untuk menyatukan bangsa, bukan menciptakan fragmentasi atau kecemburuan sosial antar kelompok etnis.

Pernyataan Teras Narang mendapat sambutan luas dari masyarakat lokal yang selama ini merasa kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Sejumlah aktivis adat dan tokoh pemuda juga menyuarakan perlunya keterlibatan komunitas lokal dalam menentukan arah kebijakan pembangunan, khususnya yang menyangkut soal tanah dan budaya. Mereka menyatakan bahwa masyarakat adat Dayak tidak menolak pembangunan, namun menolak jika pembangunan dilakukan tanpa konsultasi dan partisipasi yang bermakna.

“Bukan berarti kita anti terhadap orang luar. Tapi kami ingin pembangunan dilakukan dengan bijak, tanpa mengorbankan hak dan identitas masyarakat lokal,” ujar Sinta, seorang aktivis perempuan adat dari Kapuas. Ia menambahkan bahwa kerap kali program-program nasional masuk tanpa memahami sepenuhnya struktur sosial dan hubungan masyarakat lokal dengan tanah dan alam sekitarnya.

Ketegangan semacam ini bukan hal baru dalam sejarah transmigrasi di Indonesia. Di berbagai wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, program serupa kerap kali menjadi pemicu konflik agraria dan identitas, terutama bila dilakukan secara top-down tanpa mekanisme dialog yang terbuka. Meski begitu, para pendukung transmigrasi menyebut bahwa program ini telah membantu jutaan keluarga dari wilayah padat untuk memperoleh penghidupan baru di tempat yang lebih menjanjikan, serta turut berkontribusi dalam pembangunan daerah tertinggal.

Kini, tantangan terbesar pemerintah adalah menjembatani kedua kepentingan tersebut: mewujudkan pemerataan penduduk dan pembangunan nasional tanpa menyingkirkan masyarakat lokal dari ruang hidupnya. Gubernur Agustiar menyatakan bahwa dialog tetap dibuka dan aspirasi masyarakat akan menjadi pertimbangan utama. “Kalau memang program ini jalan, tentu kita pastikan warga lokal tidak dirugikan. Kita ingin tumbuh bersama, tidak ada yang ditinggalkan,” pungkasnya.

Sementara itu, pemerintah pusat melalui Kementerian Desa dan Transmigrasi belum mengeluarkan tanggapan resmi atas penolakan yang muncul dari daerah. Namun, beberapa sumber menyebut bahwa Kementerian sedang melakukan evaluasi internal dan akan mengirim tim khusus ke Kalimantan Tengah untuk berdialog langsung dengan masyarakat dan tokoh lokal.

Di tengah situasi ini, satu hal menjadi semakin jelas: bahwa pembangunan tidak boleh meminggirkan. Di negeri yang beragam ini, suara dari pedalaman Kalimantan Tengah harus mendapat tempat yang layak dalam ruang dialog nasional. Karena pembangunan sejati adalah yang merangkul, bukan menggusur—yang menguatkan, bukan menggantikan.

Next Post Previous Post