Transmigrasi di Kalbar Dihentikan: Dari Penolakan Rakyat hingga Revitalisasi Kawasan yang Terlupakan
Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia resmi
menghentikan sementara seluruh program penempatan transmigran baru di wilayah
Kalimantan Barat (Kalbar). Tidak ada pemindahan penduduk lintas provinsi tahun
ini, tidak ada pembangunan pemukiman baru, dan tidak ada lagi truk-truk yang
mengangkut keluarga dari pulau padat ke tanah yang dijanjikan sebagai harapan
baru. Yang ada, hanya suara langkah mundur untuk memperbaiki luka lama—kawasan
transmigrasi yang pernah dijanjikan sebagai surga, namun kini banyak yang
justru menjadi beban.
Kebijakan ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal
Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (Dirjen P2KT), Sigit Mustofa
Nurudin, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 17 Juli 2025. Ia menegaskan
bahwa Kalbar tidak lagi menjadi lokasi penempatan transmigrasi pada tahun ini.
Alih-alih memindahkan penduduk dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau lain,
Kementerian kini memilih untuk fokus pada revitalisasi kawasan yang sudah
ada—yang selama ini dibiarkan terbengkalai, tanpa dukungan nyata dari pusat
maupun daerah.
“Tahun ini tidak ada penempatan di Kalimantan Barat,” kata
Sigit tegas. “Fokus kami adalah membenahi dan menghidupkan kembali kawasan
transmigrasi yang sudah ada agar benar-benar menjadi tempat tinggal yang layak
dan pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat.”
Sigit menjelaskan bahwa pendekatan baru ini mencerminkan
perubahan paradigma dalam pembangunan transmigrasi nasional. Program yang dulu
identik dengan pemindahan penduduk dan pembukaan lahan kini mengusung visi yang
lebih berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah membangun kawasan yang tangguh,
produktif, dan mandiri—bukan sekadar membangun rumah lalu mengisi dengan
orang-orang dari luar daerah.
“Revitalisasi kawasan transmigrasi bukan hanya soal
memperbaiki infrastruktur,” ujar Sigit. “Ini soal membangun manusia,
memberdayakan komunitas, dan menghidupkan ekonomi lokal.”
Fokus Baru: Membangun dari Dalam, Bukan Memindahkan dari Luar
Revitalisasi yang dimaksud Kementerian akan berfokus pada
tiga hal utama. Pertama, rehabilitasi sarana dan prasarana yang meliputi
perbaikan jalan lingkungan, jaringan air bersih, sekolah, posyandu, dan
fasilitas umum lainnya. Banyak kawasan transmigrasi lama yang selama ini
terisolasi akibat buruknya akses jalan atau minimnya infrastruktur dasar.
Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Kementerian akan menggelar pelatihan keterampilan, program kewirausahaan, serta
pendampingan usaha bagi masyarakat transmigran yang masih tinggal di sana.
Ketiga, pengembangan ekonomi lokal dengan pendekatan potensi daerah. Artinya,
program ini akan mendorong pertanian lokal, perikanan, peternakan, serta
industri kecil yang berbasis pada kebutuhan dan kekuatan lokal masyarakat
Kalbar.
“Semua akan kita rangkul,” tambah Sigit. “Koperasi, UMKM,
kelompok tani, hingga usaha rumahan—semuanya akan kita perkuat supaya kawasan
transmigrasi tidak hanya hidup, tapi juga berdaya dan tumbuh.”
Langkah ini juga diklaim sejalan dengan arahan Presiden Joko
Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan
Kewilayahan. Keduanya menekankan pentingnya penguatan kawasan eksisting
ketimbang ekspansi ke wilayah baru yang belum tentu siap, baik secara sosial,
ekologis, maupun ekonomi.
Respons Masyarakat: Gelombang Penolakan yang Tak Terbendung
Namun kebijakan ini bukanlah lahir dari ruang hampa. Ia
muncul sebagai respons terhadap gelombang penolakan yang terus membesar dalam
beberapa bulan terakhir. Sejumlah kalangan masyarakat adat, tokoh lokal, hingga
pejabat pemerintah daerah menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap rencana
pusat yang menetapkan Kalbar sebagai lokasi prioritas transmigrasi nasional
untuk periode 2025–2029.
Kemarahan rakyat tumpah ke jalan pada Senin, 21 Juli 2025.
Ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Kalimantan Barat Menggugat (AKBM)
menggelar demonstrasi besar-besaran di Pontianak. Mereka memulai long march
dari Rumah Betang, simbol kebudayaan Dayak yang sakral, lalu bergerak ke Kantor
DPRD Kalbar, Kantor Gubernur, hingga Markas Polda. Sepanjang perjalanan,
spanduk-spanduk dan yel-yel penuh kemarahan berkumandang: "Tolak
Transmigrasi! Selamatkan Tanah Borneo dari Perampasan dan Pemiskinan Sistemik!"
“Kalimantan Barat bukan tanah kosong, MERDEKA!” teriak massa
dalam satu suara, menggema di antara panasnya aspal kota dan dinginnya sikap
pemerintah pusat yang seolah tuli selama ini.
Koordinator lapangan aksi, Endro Ronianus, menyampaikan
bahwa aksi ini bukan sekadar respons emosional, tetapi puncak kegelisahan
mendalam masyarakat lokal. Mereka khawatir bahwa program transmigrasi akan
semakin menekan ruang hidup mereka, merampas hak atas tanah dan sumber daya
yang tersisa, serta menambah beban ekologis bagi wilayah yang sudah kian
rentan.
“Ini bukan soal kebencian terhadap saudara-saudara dari
luar,” kata Endro. “Ini soal keadilan. Bagaimana mungkin lahan-lahan kita
diberikan kepada orang lain, sementara warga lokal masih berjuang untuk
memiliki tanah sendiri, mendapatkan rumah, dan hidup layak?”
Penolakan dari Elite Daerah: Wakil Gubernur Bicara Lantang
Suara keras masyarakat Kalbar ternyata sejalan dengan sikap
pejabat daerah. Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus, dalam sebuah pidato
di Pekan Gawai Dayak ke-XII di Sintang pada 16 Juli 2025, secara gamblang
menolak wilayahnya dijadikan sasaran transmigrasi. Dalam pernyataannya, ia
menyindir keras logika pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dan
merendahkan martabat masyarakat lokal.
“Daripada kita kasih rumah untuk warga luar, kemudian kasih
biaya hidup, sementara warga Kalbar masih belum punya lahan, rumah dan biaya
hidup, kenapa tidak mereka saja yang dikasih?” ujar Krisantus, yang langsung
disambut tepuk tangan riuh ribuan warga yang hadir.
Krisantus mengusulkan agar dana program transmigrasi
dialihkan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Ia menyebut bahwa prioritas
pembangunan harus dikembalikan kepada penduduk asli Kalbar yang selama ini
justru termarjinalkan oleh berbagai proyek nasional.
“Berdayakan orang lokal dulu. Bangun desa mereka, beri
tanah, beri pendidikan, beri lapangan kerja. Bukan mengimpor masalah dari
luar,” tegasnya.
Empat Kawasan Prioritas dan Realitas di Lapangan
Sebelum gelombang penolakan ini membesar, pemerintah pusat
sudah sempat menetapkan empat kawasan di Kalbar sebagai lokasi prioritas
transmigrasi melalui platform Sipukat (Sistem Informasi Peta Terpadu Kawasan
Transmigrasi). Empat titik itu adalah Ketungau Hulu di Sintang, Sekayam di
Sanggau, Gerbang Masperkasa di Sambas, dan Rasau Jaya di Kubu Raya.
Namun laporan dari lapangan menyebutkan bahwa sebagian dari
kawasan ini bahkan belum memiliki infrastruktur dasar memadai. Jalan tanah yang
rusak parah, listrik yang belum menjangkau rumah warga, sekolah yang kekurangan
guru, hingga layanan kesehatan yang minim. Hal ini membuat banyak pengamat
mempertanyakan kesiapan lokasi-lokasi tersebut untuk menerima gelombang
penduduk baru.
Sebaliknya, kritik tajam datang dari para akademisi dan
pemerhati sosial yang menilai bahwa program transmigrasi selama ini lebih
menguntungkan investor besar ketimbang rakyat kecil. Banyak kasus di mana lahan
transmigrasi berdekatan dengan kawasan perkebunan sawit atau pertambangan,
sehingga transmigran justru menjadi tenaga kerja murah bagi industri—bukan
petani mandiri sebagaimana cita-cita awal program ini diluncurkan di era Orde
Baru.
Jalan Baru Menuju Masa Depan
Dengan kebijakan penghentian penempatan transmigran di
Kalbar tahun ini, pemerintah pusat seolah mencoba mengambil napas, menyusun
ulang langkah, dan mendengar suara yang selama ini diabaikan. Meski belum
sepenuhnya memuaskan semua pihak, langkah ini dinilai sebagai awal yang positif
untuk mengevaluasi ulang arah kebijakan transmigrasi nasional.
Kalbar, dengan segala kekayaan alam dan kompleksitas
budayanya, bukanlah tempat kosong yang siap diisi seenaknya. Ia adalah rumah
bagi jutaan jiwa yang memiliki hak, sejarah, dan masa depan yang harus
dihormati.
“Kita tidak lagi bicara sekadar penempatan,” kata Sigit di
akhir pernyataannya. “Kita bicara masa depan. Kawasan transmigrasi di Kalbar
harus tumbuh sebagai pusat kehidupan mandiri, produktif, dan
berkelanjutan—bukan hanya tempat singgah sementara.”
Kalimat itu menggambarkan perubahan arah yang tidak kecil. Dari memindahkan orang ke membangun manusia. Dari mengisi ruang ke menghidupkan tanah. Dari mengulang kesalahan lama ke menjemput masa depan baru yang lebih adil.