Beras untuk Kalbar: Ketika Ribuan Ton Bukan Sekadar Butiran Putih, Tapi Harapan Hidup bagi Jutaan Warga

 

Dalam hangatnya mentari yang menyinari tanah subur Kalimantan Barat, di tengah geliat kota Pontianak dan riuh rendah desa-desa dari Sambas hingga Kapuas Hulu, sebuah gelombang bantuan pangan mulai menyusuri lorong-lorong kebutuhan masyarakat. Tak kurang dari 5.865,2 ton beras—ya, ribuan ton beras—dikirimkan ke seluruh pelosok provinsi, membidik hampir 3 juta keluarga yang terdaftar sebagai penerima manfaat. Langkah ini bukan sekadar rutinitas distribusi logistik; ini adalah bagian dari denyut nadi negara dalam menjaga stabilitas perut rakyatnya—tempat di mana semua kebijakan diuji paling keras: dapur rumah tangga.

Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, menjadi sosok yang tampil ke depan dalam peluncuran program yang disebut-sebut sebagai tonggak ketahanan pangan pertengahan tahun. Dalam acara yang digelar di Pontianak itu, dikelilingi oleh pejabat Badan Pangan Nasional, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi, dan deretan tokoh dari berbagai instansi, suara Norsan menggema lantang, penuh tekad dan harap. “Program penyaluran bantuan pangan beras ini merupakan hasil kerja sama yang solid antara Pemerintah Provinsi Kalbar dengan Badan Pangan Nasional. Kita ingin bantuan ini benar-benar sampai dan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang paling membutuhkan,” ucapnya dengan mimik serius, namun penuh empati.

Angka-angka yang dipaparkan pun tak main-main: 2.994.760 keluarga penerima manfaat (KPM), tersebar di 14 kabupaten dan kota. Setiap keluarga akan menerima 20 kilogram beras, terdiri dari dua tahap pengiriman—masing-masing 10 kilogram untuk bulan Juni dan Juli. Dan menariknya, pengiriman dilakukan sekaligus, dalam dua karung, seakan menegaskan urgensi dari program ini, seakan berkata: "Jangan tunggu lapar menggedor pintu rumah dulu baru kita bertindak."

Momen ini terasa lebih dari sekadar distribusi bantuan. Ia seolah menjadi jawaban pemerintah terhadap kegelisahan yang diam-diam tumbuh di tengah masyarakat, khususnya saat harga-harga kebutuhan pokok mulai memperlihatkan geliat naik. Dengan hadirnya beras gratis ini, tekanan psikologis atas biaya hidup bisa sedikit diangkat dari pundak-pundak para ibu rumah tangga yang setiap pagi harus menakar nasi, bukan hanya dengan takaran beras, tapi juga dengan hitung-hitungan uang dan waktu.

“Beras ini bukan hanya pangan, ia adalah bentuk kasih negara kepada rakyatnya,” kata Norsan, sambil menunjuk pada deretan karung beras yang siap dikirim. Suasana launching terasa simbolik; tak hanya soal beras, tapi juga pesan moral bahwa negara tidak buta terhadap beban hidup warganya.

Deputi Badan Pangan Nasional, Rachmi Widiriani, yang turut hadir, menjelaskan lebih lanjut bahwa program ini merupakan bagian dari kebijakan nasional yang bersifat menyeluruh. Ia menyebut, “Bantuan ini dirancang bukan sebagai langkah sementara, tapi bagian dari skema jangka panjang dalam memperkuat ketahanan pangan sekaligus menjadi stimulus ekonomi bagi kelompok rentan.”

Menurut Rachmi, data penerima yang digunakan merujuk pada sistem data sosial ekonomi nasional, yang juga dipakai dalam program sembako oleh Kementerian Sosial. “Jadi, kita tidak sembarangan dalam menentukan siapa yang berhak. Semuanya melalui validasi berlapis,” jelasnya. Ini menjadi penting karena satu celah dalam pendataan bisa berujung pada ketidakadilan, dan di sektor distribusi bantuan, keadilan adalah komoditas yang paling sensitif.

Penyaluran sendiri akan dikoordinasikan oleh Perum Bulog—sebuah lembaga yang sudah puluhan tahun berdiri sebagai benteng terakhir pangan nasional—dengan dukungan teknis dari Dinas Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), Dinas Ketahanan Pangan, serta perangkat desa dan kelurahan. Kolaborasi lintas lini ini diharapkan mampu memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada keluarga yang telah terdata, tanpa tersesat di jalan birokrasi atau tercecer di tengah permainan oknum.

Rachmi menyebutkan bahwa program ini menargetkan distribusi tuntas pada Agustus 2025. “Kita ingin pelaporan dan evaluasi bisa dilakukan secara tertib, transparan, dan akuntabel. Kalau tidak bisa ditutup tepat waktu, bukan hanya citra pemerintah yang tercoreng, tapi yang lebih parah: rakyat akan kecewa,” katanya tegas.

Namun, bantuan beras gratis ini bukan satu-satunya langkah. Pemerintah juga menyiapkan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), yang bertujuan menjaga harga beras tetap dalam batas wajar di pasar. Melalui program ini, beras akan dijual sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan, dan diharapkan mampu menjadi penyeimbang antara permintaan dan pasokan. Pendek kata, SPHP menjadi pengaman kedua, setelah bantuan gratis, dalam sistem pertahanan pangan rakyat.

Menariknya, keberadaan dua program ini—bantuan beras gratis dan SPHP—bukan sekadar strategi pengendalian harga, tapi juga merupakan ekspresi politik pangan yang nyata. Dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, stabilitas harga bahan pokok menjadi prioritas utama. Kehadiran mereka dalam narasi distribusi pangan ini bukan hanya formalitas; ia adalah bentuk keterlibatan langsung dalam urusan paling mendasar rakyat: makan.

Di lapangan, ribuan tenaga sosial, petugas desa, dan relawan bahu-membahu menyusun strategi distribusi. Di kota-kota besar seperti Pontianak dan Singkawang, sistem pelacakan logistik sudah mulai diberlakukan secara digital. Di desa-desa terpencil seperti di perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, petugas harus menembus jalan-jalan berlumpur demi memastikan satu karung beras tiba di tangan yang tepat.

Salah satu warga penerima, Ibu Nurtina, seorang janda tiga anak di Desa Sanggau Ledo, mengaku bantuan ini seperti angin segar di tengah musim kemarau. “Kalau biasanya kami beli beras dengan utang di warung, sekarang bisa lega sedikit. Anak-anak bisa makan tanpa harus pikir besok makan apa lagi,” ujarnya lirih, namun dengan tatapan penuh syukur.

Cerita serupa juga datang dari keluarga-keluarga di wilayah pesisir Sambas, yang selama ini bergantung pada tangkapan ikan harian yang tak selalu pasti. “Bantuan ini memang tak mengubah hidup sepenuhnya, tapi bisa kasih napas untuk bertahan lebih lama,” kata seorang nelayan yang enggan disebutkan namanya.

Namun tentu saja, tantangan di lapangan tetap ada. Beberapa wilayah di Kalbar memiliki akses yang sulit dijangkau, terutama ketika cuaca tak bersahabat. Distribusi yang mengandalkan kendaraan darat kadang harus dilanjutkan dengan perahu kecil atau bahkan berjalan kaki. Belum lagi soal pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan dalam distribusi—sebuah penyakit lama dalam banyak program bantuan.

Untuk itulah, Gubernur Norsan mewanti-wanti semua pihak agar menjunjung tinggi integritas. “Kita ingin program ini berjalan jujur, terbuka, dan adil. Jangan main-main dengan urusan perut rakyat,” katanya dalam nada yang tak lagi bersifat seremonial, tapi sebagai peringatan keras bagi siapa pun yang mencoba bermain dalam ruang kemanusiaan ini.

Distribusi 5.865 ton beras dalam skala geografis seluas Kalbar bukanlah hal kecil. Ini membutuhkan perencanaan matang, infrastruktur yang solid, dan koordinasi antarlembaga yang tak mengenal ego sektoral. Tapi lebih dari itu, dibutuhkan kepekaan—kemampuan melihat bahwa satu karung beras bisa berarti perpanjangan asa bagi keluarga yang hampir putus harapan.

Dengan angin kebijakan yang kini berhembus dari pusat ke daerah, melalui jalur distribusi pangan seperti ini, terlihat bahwa negara mencoba mengayomi bukan hanya dari tataran makro, tapi juga menyentuh mikro—memastikan bahwa suara-suara kecil dari desa terpencil tetap memiliki tempat di dalam sistem besar yang sering kali sibuk dengan jargon-jargon pembangunan.

Next Post Previous Post