Tanah Borneo Bukan Ladang Eksperimen: Gelombang Penolakan Transmigrasi Menggema dari Kalbar

 


Di bawah langit mendung Kota Pontianak pada hari Senin, 21 Juli 2025, suara rakyat menggema di halaman Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Barat dan Kantor Gubernur Kalbar. Namun ini bukan sekadar orasi biasa. Di balik spanduk-spanduk bertuliskan “Tolak Transmigrasi! Selamatkan Tanah Borneo dari Perampasan dan Kemiskinan Sistematik!”, ada kemarahan yang telah lama terpendam. Kegeraman yang kini meletus dalam aksi damai bertajuk Aliansi Kalimantan Barat Menggugat.

Gerakan ini bukan satu-dua kelompok. Ia adalah manifestasi keresahan kolektif masyarakat akar rumput: dari organisasi masyarakat sipil, organisasi kepemudaan, mahasiswa lintas kampus, hingga kelompok adat lintas suku dan etnis yang menjadi denyut nadi Kalimantan Barat. Mereka bersatu bukan karena sekadar penolakan, tetapi karena mempertahankan apa yang telah lama menjadi hak dan martabat mereka sebagai anak tanah Borneo.


Transmigrasi: Kebijakan Warisan yang Ditolak Masa Kini

Pemerintah pusat melalui skema Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kembali menghidupkan program transmigrasi, bahkan mengemasnya dalam nama baru: Program 5T. Namun di tanah Kalimantan Barat, program ini bukan hanya tidak disambut, ia ditolak mentah-mentah. Bagi masyarakat lokal, transmigrasi bukan solusi pembangunan—ia luka lama yang menganga.

Program ini, yang dulunya dijalankan dengan semangat pemerataan, kini dinilai hanya memperdalam ketimpangan sosial, memicu konflik agraria, dan menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah leluhurnya sendiri. Dengan tegas, delapan tuntutan pun dibacakan oleh massa aksi di tengah guyuran gerimis kecil dan suara nyaring megafon.

Berikut adalah delapan tuntutan Aliansi Kalimantan Barat Menggugat yang kini tengah menggema hingga ke ruang-ruang kekuasaan:

  1. Penolakan total terhadap program transmigrasi, terutama Program 5T yang menjadi bagian dari RPJMN, tanpa kecuali.
  2. Penghapusan program pemindahan penduduk dari luar pulau, yang selama ini dianggap hanya memindahkan masalah dan memicu gesekan horizontal.
  3. Reklamasi tanah bekas transmigran yang kini terbengkalai atau dijual, untuk dikembalikan kepada masyarakat lokal sebagai bentuk keadilan agraria.
  4. Penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul akibat program transmigrasi, sekaligus pengembalian hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas.
  5. Pelarangan penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di lokasi-lokasi transmigrasi yang status lahannya masih bersengketa atau ditolak oleh masyarakat setempat.
  6. Pengalihan anggaran transmigrasi untuk membangun infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih yang selama ini justru luput dari perhatian pemerintah.
  7. Penguatan program transmigrasi lokal, bukan antar pulau, dengan dukungan pembinaan dan pembangunan infrastruktur pendukung.
  8. Pencantuman skema transmigrasi lokal antar kabupaten dalam RPJMD Provinsi Kalbar tahun 2029–2034, sebagai langkah konkret pemerataan tanpa mengorbankan masyarakat lokal.

Suara dari Akar Rumput: “Jangan Ulangi Luka yang Sama!”

Endro Ronianus, Koordinator Lapangan yang menjadi juru bicara dalam aksi tersebut, menyuarakan kritik tajam terhadap ketimpangan pembangunan yang selama ini menimpa masyarakat lokal. Ia menilai bahwa kebijakan transmigrasi selama ini terlalu berpihak pada para pendatang, sementara anak negeri justru diabaikan.

“Pemerintah lebih sibuk memikirkan fasilitas untuk orang dari luar, tapi yang sudah tinggal di sini puluhan tahun justru tetap tidak punya akses jalan, listrik pun masih byar-pet, air bersih harus gali sendiri,” ucap Endro lantang. Dalam pandangannya, Kalimantan bukan lahan kosong yang bisa diisi sesuka hati, melainkan rumah bagi jutaan jiwa yang punya sejarah, budaya, dan hak atas tanah.

Ia menambahkan bahwa yang dibutuhkan masyarakat Kalbar bukan proyek-proyek yang memindahkan orang, tapi kebijakan yang membangun manusia dan lingkungannya secara adil. “Alihkan saja dana transmigrasi itu ke hal yang lebih urgen. Kami butuh jalan ke desa, bukan jalan untuk orang dari luar yang akan tinggal di sini,” lanjutnya.


Di Balik Aksi Damai, Ada Rasa Tertindas yang Tak Lagi Bisa Ditahan

Aliansi Kalimantan Barat Menggugat muncul bukan tanpa sebab. Dalam catatan mereka, program transmigrasi selama puluhan tahun terakhir telah menyebabkan ribuan hektare tanah adat hilang, masyarakat lokal terusir secara perlahan dari wilayah hidup mereka, dan konflik horizontal antarkelompok etnis yang tidak jarang berujung tragis.

Bahkan dalam beberapa kasus, tanah yang dahulu diberikan kepada transmigran kini ditinggalkan dan terbengkalai. Ironisnya, tanah itu tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal karena telah berstatus hak milik. Di sinilah ketimpangan struktural menjadi nyata—negara hadir untuk mendatangkan pendatang, namun absen dalam memberdayakan penduduk aslinya.

Masyarakat adat di Kapuas Hulu, misalnya, masih harus menyeberangi sungai berarus deras tanpa jembatan untuk bisa ke sekolah. Di Ketapang, ada desa yang listriknya baru menyala dua kali seminggu. Di Sambas, masyarakat lokal masih bergantung pada air hujan karena sumur bor tak pernah sampai. Ketika negara malah menggelontorkan dana untuk membangun rumah, sekolah, dan sarana untuk transmigran baru, wajar bila rasa keadilan itu koyak.


Transmigrasi Lokal: Alternatif yang Didorong, Bukan Dibuang

Namun aksi ini bukan semata penolakan. Aliansi juga menawarkan alternatif: mendukung transmigrasi lokal antar kabupaten yang berpijak pada konteks dan kebutuhan daerah, bukan kepentingan nasional semata. Program semacam ini dinilai lebih relevan karena memungkinkan mobilitas warga dalam satu provinsi, tanpa menimbulkan gesekan budaya atau konflik identitas.

“Kalau mau pemerataan, ya antar kabupaten saja. Misalnya dari Ketapang ke Melawi, atau dari Sambas ke Sanggau. Sama-sama orang Kalbar, kulturnya nyambung, dan tak ada konflik,” ujar salah satu aktivis muda dalam barisan aksi.

Tuntutan agar skema transmigrasi lokal masuk dalam RPJMD Kalbar 2029–2034 pun bukan tanpa alasan. Bagi mereka, inilah bentuk pembangunan yang berpihak kepada masyarakat lokal, bukan pembangunan yang membebek pada skema lama yang tidak pernah benar-benar selesai masalahnya.


Sejarah Tidak Boleh Terulang

Aksi damai ini adalah peringatan. Bukan sekadar kepada pemerintah pusat, tetapi juga kepada pemerintah daerah yang selama ini cenderung diam atau pasif terhadap kebijakan nasional. Masyarakat Kalimantan Barat menolak dijadikan korban dua kali. Mereka tidak ingin menyaksikan lagi desa mereka berubah jadi lahan proyek, tanah mereka disertifikasi atas nama orang lain, atau identitas mereka direndahkan atas nama pembangunan.

“Jangan ulangi luka sejarah transmigrasi. Jangan jadikan Kalimantan sebagai laboratorium sosial pemerintah pusat. Cukup sudah. Bangunlah Kalbar bersama masyarakatnya, bukan dengan menggantinya,” ujar seorang tokoh adat yang ikut hadir memberi doa pembuka dalam aksi tersebut.


Keteguhan yang Mencerminkan Perlawanan Panjang

Yang menarik, aksi ini tidak diwarnai kekerasan. Justru kedisiplinan massa, ketenangan dalam menyampaikan tuntutan, serta keberagaman suku dan kelompok yang terlibat, mencerminkan kedewasaan politik masyarakat Kalbar hari ini. Dari mahasiswa Dayak, pemuda Melayu, aktivis Tionghoa, hingga perwakilan komunitas Madura—semuanya hadir, berdiri di garis depan.

Dengan mengenakan ikat kepala adat, membawa bendera komunitas masing-masing, dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan khas Kalimantan, mereka menunjukkan bahwa ini bukan aksi musiman. Ini adalah manifestasi dari kesadaran kolektif yang terus tumbuh: bahwa hak atas tanah, martabat, dan masa depan tak bisa ditukar dengan kebijakan warisan yang sudah lama usang.


Menuju Masa Depan yang Berpihak pada Rakyat

Ketika massa mulai bubar di sore hari, spanduk-spanduk digulung, orasi terakhir ditutup dengan doa, dan halaman kantor pemerintah kembali hening—satu hal tetap tinggal: gema tuntutan yang tak akan padam. Masyarakat Kalimantan Barat telah menyuarakan sikapnya, dan kini bola ada di tangan pemerintah.

Apakah mereka akan mendengar, atau kembali mengulangi kekeliruan masa lalu? Apakah suara rakyat akan menjadi pertimbangan utama dalam RPJMN, atau sekadar catatan kaki dalam laporan pembangunan?

Yang jelas, satu pesan telah dikirim dari jantung Borneo: tanah ini bukan tanah kosong. Ia punya tuan. Ia punya sejarah. Dan rakyatnya kini tak lagi diam.

Next Post Previous Post