Pemerintah Putar Haluan: Tak Ada Transmigran Baru di Kalbar, Fokus Revitalisasi dan Kesejahteraan Lokal

 

Suara rakyat Kalimantan Barat akhirnya menggema hingga ke pusat kekuasaan. Tak perlu waktu lama, setelah unjuk rasa besar-besaran yang digelar Aliansi Kalimantan Barat Menggugat pada Senin, 21 Juli 2025, pemerintah pusat melalui Kementerian Transmigrasi menyatakan sikap tegas: tidak akan ada penempatan transmigran baru di Kalimantan Barat. Sebuah pernyataan yang menyiratkan pergeseran besar dalam kebijakan pembangunan nasional yang selama ini kerap menempatkan transmigrasi sebagai ujung tombak pemerataan penduduk.

Pernyataan resmi itu disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat Transmigrasi, Velix Wanggai, dalam siaran pers tertulisnya sehari setelah aksi demonstrasi berlangsung. Bagi masyarakat Kalimantan Barat, ini bukan sekadar kabar baik—ini adalah validasi perjuangan panjang yang selama ini dipenuhi ketidakadilan, pengabaian, dan luka sejarah yang tak kunjung sembuh.


Bukan Lagi Memindah Penduduk, Tapi Membangun dari Dalam

“Kementerian tidak melakukan penempatan transmigran baru, namun melakukan revitalisasi kawasan transmigrasi yang ada saat ini,” ujar Velix. Kalimat ini menjadi semacam garis batas yang membedakan masa lalu dengan masa kini dalam sejarah kebijakan transmigrasi nasional. Jika sebelumnya transmigrasi dipahami sebagai pemindahan penduduk dari wilayah padat ke wilayah jarang penduduk, kini pendekatannya berubah drastis. Fokus utama bukan lagi mobilisasi manusia, melainkan transformasi kawasan yang telah lama ditinggalkan atau termarjinalkan.

Pernyataan itu juga menegaskan bahwa pemerintah pusat menanggapi serius aspirasi yang dilontarkan Aliansi Kalimantan Barat Menggugat, terutama tuntutan agar pemerintah tidak lagi mengulang kesalahan dengan menempatkan masyarakat dari luar tanpa mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan agraria setempat. Aspirasi yang disampaikan bukan sekadar penolakan, melainkan dorongan untuk mengarahkan pembangunan ke kebutuhan nyata masyarakat lokal—akses jalan, listrik, air bersih, layanan kesehatan, dan lahan pertanian yang layak.


Dari Unjuk Rasa Menuju Dialog

Dalam pernyataannya, Velix Wanggai mengungkapkan bahwa paradigma pembangunan transmigrasi saat ini telah mengalami transformasi signifikan. “Program transmigrasi hari ini menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek utama pembangunan,” tegasnya. Kalimat itu jelas merupakan angin segar di tengah kekhawatiran warga yang selama ini merasa termarjinalkan di tanah sendiri.

Lebih dari itu, Velix menyatakan bahwa Kalimantan Barat kini menjadi salah satu prioritas nasional dalam pengembangan model pembangunan transmigrasi baru yang inklusif dan berbasis kearifan lokal. Pemerintah berjanji untuk tidak sekadar membangun fisik, tetapi juga membangun kapasitas sumber daya manusia, menguatkan kelembagaan ekonomi masyarakat, dan memastikan transformasi kawasan yang berkelanjutan.

Tak hanya janji kosong, Kementerian Transmigrasi juga membuka ruang dialog yang lebih luas. Mereka mengundang masyarakat adat, tokoh lokal, hingga generasi muda untuk terlibat aktif dalam menyusun ulang arah pembangunan kawasan transmigrasi. Ini merupakan pendekatan kolaboratif yang baru—dan langka—dalam sejarah panjang transmigrasi di Indonesia.


Transmigrasi Gotong Royong: Menyatukan Semua Pihak

Pendekatan baru yang diusung Kementerian Transmigrasi diberi nama Transmigrasi Gotong Royong. Sebuah frasa yang bukan hanya bernuansa khas Indonesia, tetapi juga menjadi simbol dari kerja bersama lintas sektor. Dalam pendekatan ini, pembangunan kawasan transmigrasi tidak lagi menjadi tanggung jawab tunggal kementerian, melainkan hasil sinergi antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat sipil, dan masyarakat adat.

“Program ini menekankan kerja sama lintas sektor dalam menyediakan dan meningkatkan sarana dan prasarana dasar,” jelas Velix. Mulai dari infrastruktur jalan dan jembatan, akses listrik dan air bersih, hingga pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan akan menjadi prioritas. Dengan pendekatan ini, kawasan transmigrasi tidak lagi diperlakukan sebagai proyek tersendiri yang terpisah dari ekosistem sosial dan ekonomi lokal, melainkan menjadi bagian integral dari pembangunan desa dan wilayah sekitar.


Kesejahteraan Masyarakat Lokal Jadi Titik Fokus

Tak bisa dipungkiri, isi tuntutan masyarakat Kalimantan Barat yang disuarakan lewat aksi damai dua hari sebelumnya begitu tajam dan terperinci. Mereka menolak penempatan transmigran baru dan mendesak agar pemerintah mengalihkan anggaran transmigrasi ke hal-hal yang lebih prioritas: pembangunan jalan desa, pengadaan listrik untuk daerah terpencil, penyediaan air bersih, penguatan ekonomi lokal, dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas tanah.

Pemerintah pun tampaknya menyadari bahwa era baru transmigrasi tak mungkin dijalankan tanpa mengubah orientasinya secara menyeluruh. Maka, lahirlah paradigma pembangunan kawasan yang lebih holistik, inklusif, dan berbasis kebutuhan lokal. Dengan kata lain, transmigrasi hari ini bukan lagi proyek pemindahan penduduk, melainkan upaya peningkatan kualitas hidup warga lokal di kawasan transmigrasi itu sendiri.


Kalbar dalam RPJMN 2025–2029: Kawasan Strategis Baru

Pergeseran paradigma transmigrasi ini juga tidak lepas dari posisi strategis Kalimantan Barat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Dalam dokumen tersebut, Kalbar ditetapkan sebagai salah satu wilayah prioritas pembangunan dengan sejumlah pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Di antaranya adalah:

  • Kawasan Pariwisata Sambas–Singkawang yang akan didorong sebagai magnet pariwisata berbasis budaya dan alam tropis.
  • Kawasan Industri Ketapang yang difokuskan pada sektor manufaktur dan hilirisasi sumber daya alam.
  • Pengembangan Pelabuhan Kijing, yang akan menjadi simpul logistik penting dalam rantai ekspor-impor Kalimantan.
  • Kawasan pengolahan komoditas kelapa sawit di Sanggau dan Ketapang yang diarahkan untuk menumbuhkan industri berbasis produk lokal bernilai tambah tinggi.

Dengan potensi sebesar itu, sudah sepantasnya pembangunan di Kalbar diarahkan untuk memperkuat peran masyarakat lokal sebagai aktor utama, bukan menjadikan mereka penonton di tanah sendiri.


Jalan Baru Menuju Pembangunan yang Adil

Langkah pemerintah pusat yang menanggapi cepat aksi masyarakat Kalimantan Barat bisa disebut sebagai titik balik penting dalam sejarah transmigrasi di Indonesia. Ketika suara rakyat benar-benar didengar, dan kebijakan publik disesuaikan dengan kebutuhan lokal, di sanalah pembangunan menemukan maknanya yang sejati.

Tentu saja, pernyataan resmi ini baru langkah awal. Tantangan berikutnya adalah bagaimana realisasi janji-janji itu benar-benar terjadi di lapangan. Bagaimana dana revitalisasi digunakan tepat sasaran. Bagaimana infrastruktur dibangun dengan melibatkan warga lokal. Bagaimana masyarakat adat tidak lagi dikorbankan demi kepentingan pembangunan. Dan bagaimana pembangunan benar-benar tumbuh dari dalam, bukan dipaksakan dari luar.

Sebagai penutup, pernyataan Velix Wanggai mungkin bisa menjadi pengingat bagi seluruh pemangku kepentingan: “Kami membuka ruang dialog dan kolaborasi dengan masyarakat adat, tokoh lokal, dan generasi muda di Kalbar agar pembangunan tidak datang dari luar, tetapi tumbuh bersama dari dalam.”

Kini, harapan baru menyala di Borneo bagian barat. Bukan dari kedatangan transmigran baru, melainkan dari pengakuan bahwa tanah ini punya anak-anaknya sendiri, yang tak butuh digantikan—hanya butuh diperhatikan.

Next Post Previous Post