IKN Tak Akan Mangkrak: Suara Lantang DPR dan Skenario Hidupkan Ibu Kota Baru
![]() |
Ilustrasi AI |
Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek ambisius yang
digadang-gadang akan menjadi simbol baru peradaban Indonesia, kembali menjadi
pusat perhatian publik. Kali ini, bukan karena lambannya progres pembangunan
atau kabar burung tentang potensi kegagalan proyek, melainkan karena pernyataan
tegas dari Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, yang
menyatakan secara gamblang bahwa IKN tidak akan pernah mangkrak. Pernyataan itu
tidak muncul tanpa dasar. Menurutnya, pembangunan IKN adalah mandat langsung
dari undang-undang—sebuah amanat konstitusional yang tidak bisa diputarbalikkan
atau dihentikan begitu saja. Dalam suasana penuh keyakinan, Said menyampaikan
pandangannya di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Kamis, 24 Juli 2025.
“IKN tidak akan pernah mangkrak, karena itu amanat
undang-undang,” ucap Said dengan penuh keyakinan kepada wartawan usai
menghadiri rapat internal di Senayan. Ungkapan itu bukan sekadar pembelaan
terhadap proyek yang kini menjadi pusat kebijakan Presiden Joko Widodo, tapi
juga bentuk pembumian fakta bahwa keberadaan IKN telah melewati proses hukum
yang sah dan tidak mungkin dibatalkan hanya karena perdebatan politik atau
tekanan ekonomi jangka pendek.
Sebagai Ketua DPP PDIP sekaligus figur sentral dalam
pemetaan fiskal negara, Said tak asal bicara. Ia menyampaikan pandangannya
berdasarkan kalkulasi dan potensi fiskal nasional yang menurutnya justru akan
meningkat pada 2026. Ia menyebut bahwa pembangunan IKN akan tetap berkelanjutan
dengan mengacu pada kekuatan anggaran yang tersedia, serta penyesuaian
kebutuhan pembangunan yang bersifat dinamis.
“Kalau melihat kekuatan fiskal kita di 2026, insyaallah
Otorita IKN akan ada peningkatan,” ujar Said, sembari menambahkan bahwa
pemerintah dan DPR telah menyiapkan langkah-langkah yang disesuaikan dengan
kebutuhan pembangunan dan tahapan strategis.
Menurut Said, besaran anggaran untuk IKN memang tidak tetap,
alias fluktuatif. Tetapi fluktuasi ini bukan berarti pembangunan akan tersendat
atau mangkrak, melainkan cerminan dari strategi pembangunan yang adaptif
terhadap tantangan dan prioritas. Ia menegaskan bahwa anggaran untuk Otorita
IKN dipastikan selalu tersedia setiap tahunnya, meskipun jumlahnya bisa naik
turun tergantung urgensi pembangunan yang sedang berjalan.
“Setiap tahun kami anggarkan bahwa besaran anggarannya
itu fluktuatif, itu sesuai kebutuhan prioritas tentu. Tapi pasti anggaran
Otorita IKN selalu ada,” jelasnya.
Pernyataan itu hadir di tengah dinamika politik dan kritik
publik yang menyoroti lambannya realisasi pembangunan infrastruktur dan
pemindahan kelembagaan negara ke IKN. Namun, pernyataan Said seolah menjadi
penyeimbang narasi yang selama ini condong pada keraguan.
Lebih dari sekadar pembelaan fiskal, dinamika proyek IKN
belakangan ini memang sedang berada pada titik penting. DPR RI sendiri baru
saja menerima surat dari Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara yang berisi
permohonan konsultasi atas perubahan rencana induk (masterplan) IKN. Surat yang
ditandatangani Kepala OIKN pada 21 Juli 2025 tersebut dibacakan langsung oleh
Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dalam rapat paripurna penutupan masa sidang IV
Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
“Kami perlu memberitahukan bahwa pimpinan dewan telah
menerima surat dari Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara RI yaitu nomor
B152/kepala/otorita IKN/VII/2025 tanggal 21 Juli 2025. Hal permohonan
konsultasi perubahan rencana induk Ibu Kota Nusantara,” ucap Adies di ruang
sidang, disambut tatapan serius para anggota dewan.
Perubahan rencana induk ini menandakan bahwa pemerintah
tengah berupaya menyesuaikan desain besar pembangunan IKN sesuai dengan
dinamika terkini, baik dari sisi teknis maupun anggaran. Tidak sedikit yang
menilai bahwa hal ini adalah langkah realistis, mengingat proyek sebesar IKN
tentu tak bisa dipaksakan dengan satu masterplan tetap di tengah kondisi
ekonomi global yang fluktuatif.
Di sisi lain, diskursus tentang bagaimana cara terbaik agar
IKN tidak menjadi ‘kota hantu’ terus bergulir. Dalam forum yang berbeda, Wakil
Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, melontarkan gagasan yang cukup berani.
Menurutnya, aktivitas di IKN tak boleh kosong, apalagi hanya mengandalkan
upacara simbolik atau proyek infrastruktur tanpa nyawa. Ia menyarankan agar
semua kantor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai berkantor di IKN agar ada
denyut kehidupan ekonomi dan birokrasi yang nyata.
“Kalau begitu, saya mengusulkan misalnya aktivitas di
sana tidak boleh kosong, harus ada. Kalau pemerintahnya belum, bisa diusahakan
bagaimana seluruh BUMN itu bisa berkantor di OIKN. Bisa menjadi prioritas,”
ungkap Aria saat ditemui awak media di kompleks parlemen pada Senin, 21 Juli.
Gagasan Aria Bima ini sesungguhnya tidak berangkat dari
kekosongan. Ia melihat bahwa satu-satunya cara untuk memvalidasi eksistensi IKN
adalah dengan menghadirkan aktivitas nyata dari institusi penting negara.
Dengan BUMN berkantor di sana, selain memberi efek psikologis positif terhadap
proyek IKN, juga menciptakan efek domino terhadap sektor lainnya—perdagangan,
perumahan, transportasi, hingga gaya hidup masyarakat.
Tak berhenti sampai di situ, usulan serupa juga dilontarkan
oleh Herman Khaeron, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat.
Politikus senior ini menyatakan bahwa opsi mengisi IKN dengan
kementerian-kementerian tertentu sangat mungkin dilakukan, termasuk Kementerian
BUMN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Ya mungkin saja, bisa saja. Bisa saja tentu ini menjadi
domain dan menjadi kewenangannya pemerintah. Bisa saja memindahkan misalkan
Kementerian Kehutanan bisa. Atau kementerian-kementerian yang betul-betul
sekiranya bisa memulai beraktivitas di sana,” ucap Herman, Selasa, 22 Juli,
di Senayan.
Pernyataan Herman memberi perspektif yang lebih luas
terhadap narasi pengisian IKN. Bahwa pemindahan kementerian tertentu bukan
sekadar simbol, melainkan wujud nyata keseriusan pemerintah menghidupkan IKN
dari hulu ke hilir. Ia mengakui bahwa langkah itu berada di tangan eksekutif,
tetapi sebagai mitra pemerintah, DPR memberikan sinyal bahwa mereka siap
mendukung jika hal tersebut dianggap strategis.
Dari sinilah terlihat bahwa IKN tak hanya soal bangunan
fisik dan jalan tol mulus, tetapi juga tentang kehadiran manusia, aktivitas
institusi, serta denyut ekonomi dan sosial yang tumbuh secara organik.
Saran-saran dari Aria Bima dan Herman Khaeron menjadi wujud nyata kepedulian
DPR terhadap masa depan IKN sebagai episentrum baru Indonesia.
Dengan serangkaian pernyataan tegas dari berbagai fraksi dan
komisi, proyek IKN kini tampak memasuki fase baru—fase peneguhan eksistensi.
Tidak lagi melulu berbicara soal infrastruktur, tapi juga soal bagaimana
menghidupkan kota tersebut dengan aktivitas manusia dan kelembagaan.
Dalam suasana politik yang makin matang, DPR dan pemerintah
terlihat sedang merancang skenario terbaik untuk memastikan IKN tidak hanya
dibangun, tetapi juga hidup, berkembang, dan mampu menjadi cerminan Indonesia
masa depan. Sebuah Indonesia yang bukan hanya berkutat di Pulau Jawa, melainkan
menyebar ke luar pulau dan merata secara geografis.
Kini publik menanti langkah konkret dari Otorita IKN dan
Kementerian terkait dalam merespons usulan dari parlemen. Apakah gagasan
pemindahan BUMN dan kementerian benar-benar akan terwujud dalam waktu dekat,
ataukah masih menjadi wacana politik yang sekadar menyala menjelang masa
transisi kekuasaan?
Yang pasti, dengan komitmen fiskal yang terus digelontorkan dan tekanan moral dari para legislator yang tak ingin IKN menjadi proyek gagal, satu hal menjadi terang: IKN tidak akan mangkrak—setidaknya tidak dalam waktu dekat. Sebab, seperti kata Said Abdullah, “IKN adalah amanat undang-undang.”