Gubernur Kalbar dan Janji yang Tertunda: Penataan OPD, Aksi Diam, dan Asa yang Menggantung
Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, tengah menjadi sorotan tajam masyarakat karena lambatnya realisasi janji-janji awal saat baru menjabat, khususnya terkait penataan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), evaluasi pejabat, serta penggantian posisi penting seperti Direktur Utama Bank Kalbar yang telah menyatakan mundur, namun hingga awal Juli 2025 ini belum juga ada kejelasan, bahkan publik mempertanyakan apakah semua janji sang gubernur hanya sebatas “omon-omon” atau sekadar ucapan belaka tanpa aksi nyata, sebab sampai saat ini tidak ada gerakan konkret yang terlihat dari kantor gubernur, padahal ketika ditemui di Kantor Badan Penghubung Kalbar, Jakarta, pada 20 Februari 2025 lalu, Ria Norsan dengan lantang menyatakan, “Pertama-tama saya akan melakukan penataan OPD di lingkungan Pemprov Kalbar,” dan ia menegaskan bahwa langkah ini akan mencakup pengisian jabatan serta penataan jajaran sesuai aturan yang berlaku, termasuk melalui proses assessment dan open bidding, namun ucapan itu hingga kini seakan menguap begitu saja di udara Samarinda yang berdebu dan panas, dan yang lebih memantik kritik adalah ketika masyarakat yang menamakan diri mereka sebagai Masyarakat Peduli Kalimantan Barat menggelar aksi damai dengan membawa tuntutan agar pengunduran diri Rokidi sebagai Dirut Bank Kalbar segera diproses, Ria Norsan justru memilih berlalu dan tidak menemui massa yang datang dengan penuh harap dan damai, sikap diam ini pun mempertebal tudingan bahwa sang gubernur enggan berhadapan langsung dengan suara rakyat, bahkan sorotan lain datang dari kasus netralitas ASN yang melibatkan dua pejabat tinggi di Pemprov Kalbar, yakni RH selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta AS selaku Kepala Biro Hukum yang menurut Bawaslu Kalbar telah melanggar aturan netralitas ASN dalam konteks politik, di mana rekomendasinya sudah diteruskan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN), namun hingga kini belum ada tindak lanjut nyata dari Gubernur Norsan, kondisi ini kontras dengan kepala daerah lain yang dilantik bersamaan olehnya Presiden Prabowo Subianto, yang telah lebih dahulu mengambil langkah konkret, melakukan mutasi pejabat, menyusun ulang dinas, dan menunjukkan gebrakan sebagai wujud komitmen atas amanah jabatan yang diberikan, sementara di Kalbar, jangankan gebrakan, riak pun nyaris tak terdengar dari kantor gubernur, dan publik mulai bertanya-tanya, apakah ini disebabkan tarik menarik kepentingan di balik layar atau karena Gubernur Norsan benar-benar masih menimbang dan menunggu waktu yang tepat, meskipun waktu terus bergulir dan masyarakat makin tak sabar, dan hingga kini satu-satunya langkah yang tercatat dari Gubernur Norsan adalah menghidupkan kembali Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebudayaan, sementara Unit Pelaksana Jalan dan Jembatan (UPJJ) di Dinas PUPR belum juga bergerak, menciptakan kesan stagnasi yang sulit ditepis, dan dalam ruang publik yang semakin vokal, penundaan demi penundaan ini justru membuka ruang spekulasi yang makin liar dan luas, apalagi dalam konteks daerah yang sedang bergelut dengan berbagai persoalan, mulai dari tata kelola pemerintahan, dunia pendidikan, sampai sektor keuangan daerah yang seharusnya menjadi prioritas perhatian dan reformasi struktural dari pucuk pimpinan, tetapi di sisi lain, geliat positif datang dari provinsi tetangga, Kalimantan Timur, di mana Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kalimantan Timur justru menginisiasi gerakan pelestarian naskah kuno yang patut menjadi contoh dan inspirasi nasional, melalui ajakan yang digalakkan oleh Kepala Bidang Deposit, Pelestarian, dan Pengembangan Koleksi Bahan Perpustakaan DPK Kaltim, Endang Effendi, masyarakat Kaltim diajak aktif mendaftarkan naskah-naskah kuno yang mereka miliki guna menyelamatkan warisan lokal dari ancaman kerusakan, kehilangan, serta memastikan perlindungan hukumnya, dan menurut Endang, “Langkah ini penting guna menyelamatkan warisan dokumenter daerah dari ancaman kerusakan dan kehilangan, sekaligus memastikan pelindungan hukumnya,” karena pada dasarnya naskah kuno merupakan cerminan peradaban Nusantara yang kaya akan pengetahuan, nilai budaya, spiritualitas, serta sejarah intelektual, yang bila tidak segera didokumentasikan secara menyeluruh akan rawan mengalami kerusakan, kehilangan, bahkan bisa berpindah tangan secara ilegal, dan berdasarkan data dari Rencana Induk Nasional Pengarusutamaan Naskah Nusantara 2024, tercatat ada sekitar 143.259 naskah kuno yang diketahui, meski masih banyak lagi yang belum terdata di masyarakat, lembaga adat, maupun perpustakaan lokal, dan di Kalimantan Timur sendiri, setidaknya ada 965 naskah kuno yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota, bahkan ada pula yang berada di luar negeri, dan dari jumlah tersebut, baru 110 naskah yang berhasil diinventarisasi, dengan 107 di antaranya telah dialihmediakan, sebuah langkah yang masih panjang tapi penuh harapan, dan seperti dikatakan Endang, “Pendaftaran naskah kuno adalah fondasi utama pelestarian dan perluasan akses terhadap khazanah ilmu pengetahuan.
Ini adalah tanggung jawab bersama,” karena
dengan langkah ini, selain mencegah kerusakan dan kehilangan, juga memungkinkan
proses restorasi dan konservasi yang lebih terstruktur, mendukung penyusunan
katalog, serta pengelolaan koleksi yang lebih sistematis dan profesional,
bahkan lebih dari itu, pendaftaran naskah kuno juga membuka akses lebih luas
bagi para peneliti, akademisi, dan sejarawan untuk mengkaji isi naskah dalam
rangka memperkaya referensi ilmiah, pendidikan, maupun publikasi ilmiah
lainnya, terlebih lagi dengan adanya dorongan digitalisasi yang menjadikan
naskah-naskah tersebut bisa diakses lebih luas secara daring, yang tentu
menjadi harapan bagi generasi muda yang ingin belajar sejarah tidak hanya dari
buku teks, tetapi dari sumber primer langsung yang telah diwariskan oleh para
leluhur, dan dari aspek hukum, regulasi yang mendasari gerakan ini adalah
Peraturan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Nomor 16 Tahun 2024 tentang
Pendaftaran dan Penghargaan Naskah Kuno, yang merupakan tindak lanjut dari
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, sehingga seluruh proses
pendaftaran kini memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat untuk memberikan
perlindungan hak kepemilikan dan pengakuan resmi terhadap nilai budaya,
sejarah, dan hukum dari setiap naskah, dan sebagai bentuk nyata dari semangat
pelestarian ini, masyarakat dapat mendaftarkan naskah-naskah mereka secara
berjenjang melalui Dinas Perpustakaan tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Kota,
dan Endang Effendi menegaskan, “Dengan naskah kuno yang terdaftar, identitas
lokal dan penghargaan terhadap sejarah dapat diperkuat, menjaga warisan ini
untuk generasi mendatang. Kami berharap masyarakat Kaltim dapat berpartisipasi
aktif dalam penyelamatan naskah kuno ini demi menjaga kelestarian khazanah
budaya lokal,” sebuah ajakan yang meski sederhana tapi punya makna mendalam
dalam menjaga kesinambungan budaya dan identitas, dan tentu saja langkah ini
bisa menjadi inspirasi bagi Kalimantan Barat, yang saat ini sedang menghadapi
kegelisahan akibat ketidakpastian kepemimpinan, untuk juga mulai bergerak dalam
hal pelestarian budaya dan peradaban, sembari menunggu sang gubernur
benar-benar mengambil langkah nyata dari janji-janji yang telah lama diucapkan.