Lima Tersangka Ditetapkan dalam Peredaran Kayu Ilegal Kalbar, Kemenhut Tegas Selamatkan Hutan
KETAPANG – Satu lagi episod menyayat hati dalam perjuangan
menyelamatkan hutan Indonesia terbongkar di Kalimantan Barat. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui Balai Penegakan Hukum (Gakkum)
Wilayah Kalimantan, telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kes
peredaran kayu bulat ilegal berskala besar yang ditemukan di Kabupaten
Ketapang. Penangkapan dan penetapan ini menjadi isyarat bahwa pemerintah tidak
akan berkompromi dengan pelaku kejahatan kehutanan, terutamanya mereka yang
bersembunyi di balik korporasi.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Dwi Januato Nurgroho, menyatakan dengan tegas bahawa tindakan penindakan ini bukan sekadar soal hukum, tetapi sebuah komitmen moral dan nasional dalam menyelamatkan harta negara yang tidak ternilai — hutan Indonesia.
“Penindakan ini penting kita lakukan untuk menyelamatkan sumberdaya alam hutan dan kerugian negara, serta untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim. Kekayaan bangsa Indonesia ini harus kita pastikan keberlanjutannya dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,” tegas Dwi dalam kenyataan rasmi dari Jakarta pada Ahad, 20 Julai 2025.
Kelima-lima tersangka tersebut terlibat dalam pengangkutan dan pemalsuan dokumen untuk melegalkan ratusan meter kubik kayu bulat besar, tanpa izin yang sah. Aksi mereka terbongkar setelah Balai Gakkum Wilayah Kalimantan melaksanakan operasi khusus pada 2 Jun 2025, yang berjaya mengamankan kayu-kayu tak berdokumen itu di Dermaga TPK Industri PT. BSM New Material, sebuah kawasan industri yang disinyalir menjadi titik transit utama kayu ilegal.
Menurut Leonardo Gultom, Kepala Balai Gakkum Kalimantan, dalam operasi tersebut mereka mendapati kayu-kayu jenis berkualiti tinggi disimpan di lokasi tanpa dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), dokumen legal yang diperlukan untuk setiap bentuk pengangkutan kayu dari hutan ke industri.
Dua dari tersangka utama adalah HMW, yang dikenal sebagai Direktur PT. BR, dan SH alias ANT, yang berperanan sebagai Komisaris di syarikat yang sama. Mereka diyakini sebagai aktor intelektual yang mengarahkan proses distribusi kayu ilegal dari hutan ke industri, melalui manipulasi dokumen dan perintah kepada bawahan mereka.
Lebih memprihatinkan lagi, dari hasil penyidikan, terungkap bahwa salah seorang yang ditetapkan lebih awal sebagai tersangka — SDS, seorang Operator SIPUHH dan tenaga teknis di PT. BR — mengaku bahawa dirinya diperintah langsung oleh HMW untuk menerbitkan SKSHH palsu bagi 76 batang kayu bulat yang diperkirakan memiliki volume sekitar 200 meter kubik. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga pelanggaran serius terhadap undang-undang kehutanan negara.
Dalam pengembangan kasus ini, dua nama tambahan juga muncul — AI dan ZI, yang diduga kuat berperan dalam proses pengangkutan dan pengiriman kayu ke lokasi industri. Kini, kelima-lima individu tersebut menghadapi ancaman hukuman berat di bawah undang-undang perlindungan hutan, termasuk pasal-pasal yang berkaitan dengan pencurian hasil hutan, pemalsuan dokumen, dan perdagangan ilegal hasil sumber daya alam.
“Kami menindak tegas setiap pelanggaran terkait peredaran hasil hutan kayu dengan modus melegalkan kayu ilegal menggunakan dokumen pengangkutan yang tidak sah,” tegas Leonardo, yang juga menambahkan bahawa pihaknya terus menelusuri jaringan distribusi dan kemungkinan adanya pelaku lain di balik operasi ini.
Kasus ini bukan hanya menggambarkan satu insiden, tetapi mencerminkan praktik lama yang terus menghantui industri kehutanan Indonesia, di mana sumber daya alam yang seharusnya dilindungi untuk generasi masa depan, disalahgunakan untuk kepentingan segelintir pihak demi keuntungan sesaat.
Sebagai negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia menanggung beban besar dalam menjaga keseimbangan ekologi global. Namun ironi terjadi ketika di balik upaya reforestasi, rehabilitasi, dan pembangunan hutan lestari, masih ada kelompok yang dengan sengaja merusak sistem dengan memanfaatkan celah hukum dan jaringan korporasi.
Dalam konteks ini, penindakan tegas oleh KLHK patut diapresiasi sebagai langkah nyata menuju tata kelola kehutanan yang lebih bersih dan bertanggung jawab. Penetapan lima tersangka ini diharapkan menjadi pesan jelas kepada semua pelaku industri dan jaringan ilegal lainnya bahwa tidak akan ada ruang aman bagi kejahatan lingkungan, terutama di sektor kehutanan.
Lebih jauh, kasus ini membuka perbincangan kembali mengenai perlunya pengawasan lebih ketat terhadap sistem digital perizinan kehutanan, termasuk sistem SIPUHH yang saat ini digunakan sebagai alat legalisasi hasil hutan. Ketika oknum dalam sistem itu sendiri dapat disusupi atau ditekan untuk membuat dokumen palsu, maka diperlukan pembaruan sistemik, bukan sekadar penindakan kasus demi kasus.
Kini, publik menanti bagaimana proses hukum terhadap kelima tersangka ini dijalankan. Akankah mereka diberi hukuman maksimal sesuai undang-undang kehutanan? Atau akankah kasus ini perlahan-lahan hilang dari perhatian seperti banyak kasus serupa sebelumnya?
Yang pasti, bagi rakyat Kalimantan Barat dan Indonesia secara umum, penyelamatan hutan bukan sekadar isu lokal — ia adalah soal kedaulatan, kehidupan, dan masa depan.