Balai Bahasa Kaltim Gencarkan Revitalisasi Dialek Daerah, Bahasa Paser hingga Tidung Diselamatkan dari Kepunahan


Samarinda, 15 Juli 2025 — Di tengah arus globalisasi dan dominasi bahasa nasional maupun asing, nyawa sejumlah bahasa daerah di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara kini tengah terancam punah. Menyikapi kondisi ini, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Timur terus melangkah progresif dengan menggencarkan program revitalisasi bahasa daerah, sebuah upaya penyelamatan linguistik yang tidak hanya menyentuh aspek kebudayaan, tetapi juga membangkitkan jati diri dan identitas lokal yang mulai pudar. Melalui mandat dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, program ini diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir bagi bahasa-bahasa tradisional yang terdesak di ruang publik maupun institusi pendidikan.

Yudianti Herawati, Penelaah Teknis Kebijakan Balai Bahasa Kaltim, dalam pernyataan resminya di Samarinda, Selasa (15/7), menjelaskan bahwa fokus utama dari program ini adalah menghidupkan kembali bahasa-bahasa daerah yang penuturnya kian menyusut. Dalam peta bahasa yang dimiliki lembaga tersebut, Kalimantan Timur tercatat memiliki 16 bahasa daerah, sementara Kalimantan Utara memegang warisan linguistik sebanyak 11 bahasa daerah. Jumlah yang tampak besar, tetapi sebagian besar di antaranya berada dalam kondisi kritis.

“Revitalisasi ini bukan hanya tentang mempertahankan kata dan tata bahasa. Ini tentang menyelamatkan cara hidup, pandangan dunia, dan filosofi yang diwariskan secara turun temurun,” jelas Yudianti. Ia menambahkan bahwa sejak 2022, Balai Bahasa Kaltim telah melakukan identifikasi serta pemetaan mendalam terhadap bahasa-bahasa daerah yang memiliki risiko tinggi punah. Dari hasil pemetaan itu, tiga bahasa di Kalimantan Timur yang kemudian ditetapkan sebagai prioritas utama adalah Bahasa Paser, Bahasa Melayu Kutai, dan Bahasa Benuaq.

Pemilihan tiga bahasa ini bukan tanpa alasan. Bahasa Paser, misalnya, merupakan bahasa asli salah satu suku tertua di Kaltim dan kini telah mendapat dukungan kelembagaan melalui penerbitan Peraturan Bupati yang memasukkan Bahasa Paser sebagai bagian dari muatan lokal di sekolah-sekolah. Sementara Bahasa Melayu Kutai adalah bahasa yang mencerminkan akar budaya kerajaan dan peradaban tua di sepanjang Sungai Mahakam, sedangkan Bahasa Benuaq mewakili kelompok Dayak yang memiliki khazanah lisan dan budaya sangat kaya.

Di Kalimantan Utara, upaya revitalisasi dimulai pada 2023 dengan fokus pada Bahasa Bulungan, dan diperluas pada 2024 dengan memasukkan Bahasa Tidung sebagai sasaran utama. Yudianti menjelaskan bahwa keputusan untuk memprioritaskan Bahasa Bulungan dan Tidung dilandasi oleh fakta bahwa kedua bahasa ini telah mengalami degradasi signifikan dalam hal jumlah penutur aktif, terutama di kalangan generasi muda. “Saat ini, kami sedang mengarahkan fokus lebih intens ke Bahasa Paser dan Melayu Kutai karena respons masyarakat dan dampaknya sudah mulai terlihat jelas,” imbuhnya.

Namun, tantangan revitalisasi bukan hanya terletak pada pelestarian semata, melainkan juga pada bagaimana bahasa-bahasa ini bisa hidup kembali dalam ruang keseharian masyarakat, khususnya di sekolah dan komunitas. Berdasarkan tipologi bahasa dari Kemendikbudristek, Kaltim dikategorikan sebagai wilayah tipe C. Artinya, sebagian besar bahasa daerah di provinsi ini telah mengalami kemunduran signifikan. Bahasa-bahasa ini umumnya tidak lagi diajarkan secara aktif di sekolah dan hanya digunakan secara terbatas dalam komunitas-komunitas adat. Hal ini tentu berbeda dengan tipe A seperti Jawa, Sunda, dan Bali, di mana bahasa daerah masih menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan dan kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus, bahasa daerah tersebut digunakan hingga tingkat akademik dan formal.

“Yang kami lihat menarik di Kaltim adalah meskipun secara struktural bahasanya tidak lagi masuk kurikulum utama, namun masih ada sisa kehidupan bahasa di komunitas. Itu yang menjadi titik masuk bagi kami,” ungkap Yudianti. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam program revitalisasi bahasa lebih menitikberatkan pada komunitas, sekolah, dan aktor-aktor lokal yang berperan penting dalam rantai pewarisan bahasa: guru, siswa, pengawas sekolah, hingga pemangku kebijakan daerah.

Proses revitalisasi sendiri terdiri atas beberapa tahap strategis yang telah dirancang sedemikian rupa agar pelestarian bahasa tidak hanya bersifat simbolik, tetapi bisa membumi dalam praktik harian. Langkah awal dimulai dari koordinasi intensif dengan pemangku kebijakan daerah, yang kemudian diikuti dengan pelibatan penutur jati dari masing-masing bahasa yang ditargetkan. Penutur jati inilah yang kemudian menjadi fasilitator dalam kegiatan pelatihan guru dan komunitas.

Para guru yang telah dibekali materi dan teknik pembelajaran berbasis bahasa daerah ini kemudian akan menyalurkan ilmu dan keterampilannya kepada siswa, khususnya di jenjang SD dan SMP. Sasaran ini dipilih secara strategis karena anak-anak usia sekolah merupakan generasi pewaris yang paling potensial untuk melanjutkan kehidupan bahasa daerah, sekaligus menjadi agen perubahan di keluarga dan masyarakat. “Revitalisasi ini juga menjadi pintu masuk bagi penyusunan bahan ajar muatan lokal yang berstandar, terstruktur, dan sesuai konteks budaya masing-masing daerah,” ujar Yudianti.

Yang menarik, program ini juga membuka ruang kolaborasi lintas sektor. Balai Bahasa Kaltim tidak bekerja sendiri, melainkan menggandeng Dinas Pendidikan, Lembaga Adat, dan Perguruan Tinggi. Bahkan, komunitas digital dan kreator konten lokal dilibatkan untuk mendesain materi pembelajaran yang menarik, interaktif, dan berbasis multimedia. Harapannya, bahasa daerah bisa hidup dan berkembang bukan hanya dalam bentuk lisan dan tulisan, tetapi juga dalam bentuk digital yang mampu menjangkau generasi milenial dan Z.

Dalam praktiknya, kegiatan seperti lomba pidato bahasa daerah, festival dongeng lokal, dan peluncuran kamus digital mulai diperkenalkan secara bertahap di beberapa kabupaten/kota di Kaltim. Upaya ini diharapkan bisa menciptakan ruang publik baru bagi bahasa daerah untuk berinteraksi dengan budaya populer. Balai Bahasa Kaltim juga sedang menyusun peta jalan pelestarian bahasa daerah yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat dan perkembangan teknologi.

Lebih dari itu, program ini bukan hanya soal pelestarian linguistik, melainkan menyangkut penguatan identitas dan solidaritas kebudayaan. Bahasa adalah cermin cara berpikir, dan kehilangan bahasa berarti kehilangan satu perspektif unik dalam melihat dunia. Di Kalimantan Timur dan Utara, bahasa daerah bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat untuk memahami alam, menjaga relasi sosial, hingga menyampaikan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi fondasi hidup bersama.

Dengan semakin menguatnya gerakan pelestarian bahasa di berbagai wilayah, langkah yang diambil Balai Bahasa Kaltim ini menjadi sangat relevan dalam konteks menjaga keberagaman budaya Indonesia. Dalam era yang serba global dan cepat berubah, menjaga warisan lokal menjadi fondasi penting dalam membangun bangsa yang inklusif, berakar kuat, namun tetap terbuka terhadap masa depan.

Lewat program revitalisasi ini, Balai Bahasa Kaltim ingin memastikan bahwa setiap kata dalam Bahasa Paser, Melayu Kutai, Benuaq, Bulungan, dan Tidung bukan hanya terdengar sebagai gema masa lalu, melainkan menjadi bagian dari percakapan hari ini—dan masa depan.


Next Post Previous Post