600 Ribu Pekerja Kalteng Tak Kebagian BSU: Jebakan Sistemik di Balik Minimnya Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan

  

Sebuah kenyataan pahit kembali menghampiri dunia ketenagakerjaan di Kalimantan Tengah (Kalteng), ketika dari total 911 ribu pekerja yang tercatat, lebih dari 600 ribu di antaranya dipastikan tidak bisa menikmati Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang digelontorkan pemerintah pusat untuk menjaga daya beli dan mendongkrak ekonomi rakyat, melalui skema bantuan sebesar Rp300 ribu per bulan untuk dua bulan sekaligus sejak Juni 2025 berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2025, dan penyebab utamanya bukan karena para pekerja itu tidak memenuhi syarat dari sisi ekonomi atau hubungan kerja, melainkan karena mereka tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, sebuah syarat administratif yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemberi kerja, namun dalam praktiknya sering diabaikan atau ditunda tanpa alasan jelas, dan kondisi ini diungkapkan langsung oleh Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Palangka Raya, Subhan Adinugroho, yang mengungkapkan bahwa dari total populasi pekerja di provinsi ini, hanya sekitar 337 ribu yang sudah menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan, sementara sisanya, sebanyak 600 ribu lebih, tidak terjamah perlindungan jaminan sosial negara, dan secara otomatis tidak berhak mendapatkan BSU, padahal menurut Subhan, para pekerja tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori penerima upah karena bekerja di bawah ikatan kerja dengan perusahaan atau pemberi kerja yang sah, sehingga sudah semestinya mereka didaftarkan dan dilindungi dalam program BPJS Ketenagakerjaan sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, “Jadi, kami juga mohon bantuannya lewat RRI saat ini juga untuk mengimbau kepada para pemberi kerja atau perusahaan itu untuk memastikan para pekerjanya terdaftar program BPJS Ketenagakerjaan, karena kita tidak tahu nanti ke depan apakah akan ada lagi digulirkan BSU,” ujarnya dalam sebuah wawancara, Rabu (2/7/2025), seraya menekankan pentingnya kesadaran dan tanggung jawab sosial dari pihak perusahaan, karena jika pemerintah sudah menyiapkan insentif berupa BSU, tapi pekerjanya tak terdaftar BPJS, maka upaya negara menjadi sia-sia, dan yang rugi tentu para buruh itu sendiri, yang semestinya bisa terbantu secara ekonomi di tengah tekanan hidup yang makin tinggi, sementara itu, di tempat terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Tengah, Farid Wajdi, juga menyuarakan keprihatinan yang sama, bahwa minimnya kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan ini bukan hanya soal teknis administrasi, tetapi mencerminkan rendahnya komitmen sebagian perusahaan dalam menjalankan amanah undang-undang tentang jaminan sosial tenaga kerja, padahal menurut Farid, pemerintah daerah melalui Disnakertrans terus melakukan upaya persuasif dan mendorong pemberi kerja agar secara aktif mendaftarkan seluruh tenaga kerja mereka yang memenuhi syarat untuk mendapatkan manfaat, bukan hanya dari program BSU tetapi juga berbagai bentuk perlindungan sosial lainnya, dan dalam keterangannya ia menyatakan, “Kemudian mendorong artinya pemberi kerja diminta untuk mendaftarkan seluruh pekerjaannya yang berpeluang mendapatkan BSU. 

Nanti akan dilakukan verifikasi dan validasi oleh BPJS Ketenagakerjaan,” sebuah proses yang penting untuk memastikan ketepatan sasaran, namun tetap kembali pada titik awal: jika tidak terdaftar, maka tidak akan pernah diverifikasi, dan tidak akan pernah menerima bantuan, dan yang ironis adalah, BSU ini pada dasarnya ditujukan untuk kelompok pekerja yang terbilang rentan, sebagai jaring pengaman sosial saat inflasi meningkat, harga kebutuhan pokok naik, dan daya beli masyarakat tergerus, dan kini mereka yang paling membutuhkan justru tereliminasi karena kelalaian sistemik dari pihak pemberi kerja, dan meski pemerintah sudah mengatur dengan cukup jelas siapa saja yang berhak mendapatkan BSU, termasuk syarat bahwa penerima tidak sedang memperoleh manfaat dari Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun anggaran berjalan, tetap saja masalah utamanya bukan pada syarat itu, melainkan pada fakta bahwa 600 ribu lebih pekerja di Kalteng bahkan tidak masuk ke dalam radar sistem, karena tidak pernah didaftarkan BPJS-nya, dan jika dibiarkan terus menerus, maka kondisi ini akan menciptakan ketimpangan sosial baru di kalangan buruh dan pekerja swasta, di mana hanya yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar atau yang taat aturan yang dapat menikmati perlindungan, sementara ribuan lainnya yang bekerja di sektor informal, usaha kecil menengah, atau perusahaan nakal akan terus tertinggal, dan ini menunjukkan bahwa urgensi peningkatan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan harus menjadi prioritas bersama, tidak hanya oleh BPJS itu sendiri, tetapi juga oleh pemerintah daerah, asosiasi pengusaha, serikat buruh, hingga masyarakat sipil, karena jika negara sudah menyediakan fasilitas, tetapi pelaksanaannya diabaikan, maka dampaknya langsung dirasakan oleh rakyat pekerja yang seharusnya menjadi subjek perlindungan sosial, dan dalam jangka panjang, perlindungan sosial ini bukan hanya soal BSU, tetapi juga mencakup jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun yang menjadi hak setiap pekerja Indonesia, sehingga langkah awalnya harus dipastikan: semua pekerja terdaftar, dan untuk mewujudkannya, dibutuhkan sinergi antara regulasi tegas, pengawasan intensif, serta edukasi publik yang berkelanjutan, karena tanpa itu semua, angka 600 ribu ini bisa saja terus membengkak di tahun-tahun mendatang.

Next Post Previous Post