Sambut Era Baru Literasi: Wabup Sanggau Buka Dialog di Pra-Kongres Literasi Dayak Internasional
![]() |
| Pra-kongres Literasi Dayak dan Launching buku Tembawang. Foto: Alexander Mering |
SEKADAU-Kalimantan Barat – Dalam suasana penuh semangat kebudayaan, Susana Herpena, S.Sos., M.H., Wakil Bupati Kabupaten Sanggau hadir sebagai narasumber utama pada acara Pra‑Kongres Literasi Dayak Internasional 2025 yang digelar di Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) Sekadau, Jumat (31/10/2025).
Acara tersebut menjadi titik temu para penulis, tokoh masyarakat adat dan akademisi dari Kalimantan Barat hingga Sarawak untuk memperkuat literasi dan identitas budaya Dayak.
Dalam sambutannya, Susana Herpena menegaskan bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, melainkan soal penguatan identitas dan nilai budaya yang terwakili dalam karya. “Kita jadikan budaya sebagai roh literasi. Penulis Dayak harus tampil dengan suara yang mengakar namun berpijak pada dunia yang terus berubah,” ujarnya.
![]() |
| Wakil Bupati Sanggau foto bersama peserta pra-kongres dan launching buku Tembawang. Foto: Diskominfo Sanggau |
Acara ini dihadiri lebih dari seratus peserta dari berbagai latar—pelajar, mahasiswa, pemerhati budaya, serta penulis muda Dayak. Dialog-panel, lokakarya menulis serta diskusi antarwilayah menjadi agenda utama dalam rangka menyambut kongres besar yang akan datang.
ITKK sebagai tuan rumah dibanjiri aktivitas kreatif sejak pagi. Di aula utama kampus, suasana dipenuhi aroma kopi panas, kertas catatan, dan tawa muda yang tengah menyiapkan bahan presentasi. Panitia melaporkan bahwa tema tahun ini menitikberatkan pada “Literasi, Identitas & Ekspresi Dayak” — sebagai upaya mendorong karya-tulis yang merefleksikan pengalaman hidup masyarakat Dayak dalam konteks global.
Pada sesi dialog, Susana Herpena membagikan pengalaman dan strategi pemerintah daerah Kabupaten Sanggau dalam mendorong program literasi berbasis budaya. Ia menitikberatkan pada pentingnya kerja sama antar-daerah, memperkuat komunitas penulis muda dan menyediakan ruang publik bagi ekspresi kreatif. Ia juga menyebut bahwa pemerintah daerah akan menjajaki regulasi pendukung agar karya sastra dan literasi masyarakat adat mendapatkan akses lebih luas, termasuk dana dan penerbitan.
Salah satu peserta, mahasiswa jurusan sastra dari ITKK, mengatakan bahwa momen ini membuka peluang besar. “Selama ini saya merasa ide dan pengalaman saya sebagai pemuda Dayak sering terpinggirkan. Sekarang, kami diberi ruang untuk menulis dan berbicara,” ujarnya sambil menunjukkan catatannya yang penuh ide.
Acara ditutup dengan pembacaan puisi dalam bahasa Dayak dan penandatanganan deklarasi bersama yang melibatkan pemerintah daerah, lembaga budaya dan komunitas penulis. Deklarasi tersebut menyebut tiga komitmen: memperkuat literasi berbasis budaya Dayak, mendukung penerbitan karya asli Dayak, dan memperluas jaringan kerja lintas batas wilayah Kalimantan-Sarawak.
Para penyelenggara berharap bahwa gelaran pra-kongres ini bukan sekadar seremoni, melainkan gerakan nyata yang akan menumbuhkan generasi baru penulis Dayak. Dengan dukungan pemerintah dan komunitas, dikatakan bahwa Kabupaten Sekadau dan Sanggau bisa menjadi episentrum kebangkitan literasi Dayak di Indonesia bagian barat dan wilayah Borneo.
Di tengah riuh tepuk tangan dan sorak peserta, menorehkan harapan bahwa benih-benih baru literasi Dayak sedang disemai. Jika tumbuh dengan baik, pohon literasi itu akan berbuah dalam bentuk buku, cerpen, puisi, dan riset yang tidak hanya dibaca dalam komunitas, tetapi juga menggaung di kancah nasional bahkan internasional.
Sebagaimana disinggung Wabup Sanggau, “Budaya kita adalah roh, literasi kita adalah tubuh. Tanpa roh, tubuh akan kaku; tanpa tubuh, roh tak tampak.” Dengan demikian, Pra-Kongres Literasi Dayak Internasional ini menjadi tonggak awal bagi penulis, pembaca dan masyarakat Dayak untuk menulis, berbicara, dan berbagi.




