PHK Massal Hantam Kalsel: Ribuan Pekerja Tambang Terdepak, Ekonomi Lokal Terancam Lumpuh
![]() |
| Ilustrasi AI |
Banjarmasin — Tahun 2025 menjadi tahun penuh cobaan bagi para pekerja di
Kalimantan Selatan (Kalsel). Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang
terus meningkat menyapu sejumlah sektor industri, dengan sektor pertambangan
sebagai penyumbang terbesar angka PHK di provinsi ini. Berdasarkan data
terbaru, sepanjang Januari hingga Juni 2025, kasus PHK di Kalsel telah menembus
angka 1.008 kasus.
Angka ini bukan hanya sekadar statistik di atas kertas. Di baliknya, ada ribuan keluarga yang kini menghadapi ketidakpastian ekonomi setelah kehilangan mata pencaharian. Sementara itu, Kalsel pun kini tercatat sebagai provinsi dengan angka PHK tertinggi kedua secara nasional untuk bulan Juni, hanya kalah dari Jawa Barat.
Lonjakan Awal Tahun: Februari Jadi Puncak Gelombang PHK
Tren PHK di Kalsel mulai terlihat melonjak sejak awal tahun.
Pada Januari 2025, angka PHK sudah mencapai 215 kasus. Namun, lonjakan besar
terjadi pada Februari, di mana tercatat sebanyak 276 kasus PHK dalam satu bulan
saja. Sebuah angka yang mencengangkan, mengingat pada bulan-bulan sebelumnya
angka PHK di Kalsel relatif lebih stabil.
Meski sempat terjadi penurunan pada Maret (197 kasus) dan April (41 kasus), gelombang PHK kembali menunjukkan tren peningkatan di bulan Mei dengan 98 kasus. Situasi semakin memburuk di bulan Juni, ketika Kalsel mencatat 181 kasus PHK, menjadikannya sebagai provinsi dengan angka PHK tertinggi kedua di Indonesia bulan tersebut, melampaui Yogyakarta (176 kasus) dan Jawa Tengah (151 kasus).
Dominasi Sektor Tambang: “Proyek Selesai, PHK Tidak Terelakkan”
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Kalsel, Irfan Sayuti, mengungkapkan bahwa mayoritas kasus PHK di provinsi ini
berasal dari sektor pertambangan. Fenomena ini, menurutnya, adalah konsekuensi
logis dari sifat industri tambang yang berbasis proyek dan sangat bergantung
pada potensi alam.
“Dari info yang kami dapat, paling banyak dari sektor tambang. Umumnya karena proyek selesai atau sumber daya yang dieksploitasi sudah habis,” ujar Irfan kepada media. Ia menambahkan, “Ketika potensi tambang habis, kontrak kerja pun tidak bisa diperpanjang. Dampaknya ya, PHK.”
Irfan menjelaskan bahwa proyek-proyek pertambangan di Kalsel memang memiliki karakteristik yang fluktuatif. Di saat eksplorasi masih berlangsung, tenaga kerja dibutuhkan dalam jumlah besar. Namun ketika cadangan tambang habis atau proyek memasuki fase penutupan, gelombang PHK tidak bisa dihindari.
Kalsel Tertinggi Kedua Nasional, Kaltara Nihil PHK
Data yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan melalui
platform Satudata Kemnaker menunjukkan bahwa Kalsel menempati posisi kedua
nasional untuk kasus PHK pada bulan Juni 2025. Provinsi ini hanya berada di
bawah Jawa Barat yang mencatatkan angka PHK lebih tinggi.
Di lingkup Kalimantan, situasi Kalsel jauh berbeda dibandingkan dengan provinsi tetangganya. Kaltara, misalnya, tercatat nihil kasus PHK. Sementara Kalbar mencatat 34 kasus PHK, Kaltim 26 kasus, dan Kalteng hanya 4 kasus. Angka ini semakin mempertegas bahwa Kalsel saat ini menjadi episentrum gelombang PHK di Pulau Kalimantan.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa persoalan PHK di Kalsel bukan sekadar akibat kondisi ekonomi nasional atau global, tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik struktur ekonomi daerah yang sangat bergantung pada sektor tambang.
Efek Domino: Dari Pekerja ke UMKM hingga Ekonomi Lokal
Lonjakan PHK yang terjadi di Kalsel tidak hanya berdampak
pada para pekerja yang kehilangan pekerjaan. Efek domino dari situasi ini
menjalar ke berbagai sektor lainnya. UMKM yang selama ini menggantungkan
pendapatannya dari konsumsi para pekerja tambang mulai merasakan dampaknya.
Warung makan, toko kelontong, penyedia jasa transportasi lokal, hingga pedagang
kaki lima ikut terimbas karena daya beli masyarakat yang menurun drastis.
“PHK di tambang itu efeknya bukan hanya ke pekerja. UMKM di sekitar kawasan tambang juga ikut terhantam. Biasanya mereka hidup dari pekerja tambang yang makan, belanja, dan tinggal di sana,” ujar Irfan Sayuti.
Situasi ini, menurut Irfan, menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah untuk mulai mencari jalan keluar guna mengurangi ketergantungan terhadap sektor tambang. “Kita harus mulai memikirkan diversifikasi ekonomi. Jangan terus-menerus bergantung pada sektor yang sifatnya tidak berkelanjutan,” tegasnya.
Tak Terhindarkan, Tapi Bisa Dikelola Lebih Baik
Meski mengakui bahwa PHK di sektor tambang adalah sesuatu
yang sulit dihindari, Irfan menekankan pentingnya pengelolaan yang lebih baik
terhadap proses PHK. Ia menegaskan bahwa perusahaan tambang harus mematuhi
kewajiban mereka dalam memberikan hak-hak pekerja sesuai peraturan
ketenagakerjaan, termasuk pesangon dan program pelatihan ulang (reskilling)
bagi pekerja terdampak.
“Kalau PHK memang tidak bisa dihindari karena proyek selesai, ya harus dikelola dengan baik. Hak-hak pekerja jangan sampai terabaikan. Dan pemerintah daerah juga harus turun tangan membantu para pekerja agar bisa segera mendapatkan pekerjaan baru atau berwirausaha,” katanya.
Irfan menambahkan, Disnakertrans Kalsel tengah berupaya merancang program pelatihan keterampilan bagi para pekerja terdampak PHK. Program ini diharapkan dapat membantu mereka untuk beradaptasi di sektor-sektor lain yang memiliki prospek lebih stabil, seperti agribisnis, perikanan, atau industri kreatif.
Ketergantungan Kalsel pada Sektor Tambang, Bom Waktu yang Meledak
Lonjakan kasus PHK di Kalsel menjadi cermin nyata dari risiko besar ketergantungan ekonomi pada sektor pertambangan. Selama ini, tambang menjadi tulang punggung perekonomian Kalsel, menyumbang pendapatan daerah yang signifikan. Namun, sifat industri ini yang berbasis eksploitasi sumber daya alam non-renewable membuatnya menjadi sektor yang tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Ekonom dan pengamat ketenagakerjaan memandang, lonjakan PHK yang terjadi saat ini adalah konsekuensi dari kurangnya diversifikasi sektor ekonomi di Kalsel. Ketika harga komoditas tambang turun atau cadangan habis, daerah ini langsung mengalami guncangan hebat yang imbasnya dirasakan oleh tenaga kerja dan masyarakat luas.
“Ini bukan hanya soal tambang yang habis, tapi juga tentang
bagaimana kita belum siap dengan ekonomi alternatif. Kalsel terlalu nyaman
dengan tambang. Begitu tambang goyah, semua ikut oleng,” ujar seorang ekonom
lokal yang enggan disebut namanya.
Langkah Strategis: Transformasi Ekonomi Jadi Keharusan
Ke depan, tantangan terbesar bagi Kalsel adalah bagaimana
mengubah struktur ekonominya agar tidak terus-menerus terjebak dalam lingkaran
setan eksploitasi tambang dan PHK massal. Pemerintah daerah didorong untuk
segera merancang peta jalan transformasi ekonomi yang berfokus pada
sektor-sektor yang lebih berkelanjutan, seperti pertanian modern, perikanan
budidaya, industri pariwisata berbasis alam, serta pengembangan UMKM berbasis
teknologi.
Irfan Sayuti menyadari bahwa proses transformasi ekonomi ini tidak akan berjalan instan. Namun, langkah awal harus segera diambil agar Kalsel tidak kembali mengalami krisis serupa di masa depan. “Kalau kita tidak mulai sekarang, tahun-tahun ke depan cerita PHK massal ini akan terus terulang,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan dalam menyiapkan tenaga kerja yang adaptif terhadap perubahan. “Kita harus pastikan tenaga kerja Kalsel siap bersaing di sektor-sektor baru yang lebih menjanjikan,” tambah Irfan.
Suara Pekerja: "Kami Butuh Kepastian, Bukan Sekadar Janji"
Di sisi lain, para pekerja yang terkena PHK berharap agar
pemerintah tidak hanya memberikan pernyataan, tetapi juga tindakan nyata.
Mereka mendesak agar program bantuan, pelatihan keterampilan, dan akses
permodalan bagi wirausaha segera direalisasikan.
“Kami butuh pekerjaan, butuh penghasilan untuk menghidupi keluarga. Jangan cuma janji, realisasikan solusi konkret,” ujar Syarifudin, seorang mantan pekerja tambang di Banjarbaru yang terkena PHK bulan Februari lalu.
Syarifudin mengaku, setelah di-PHK, ia sempat mencoba membuka usaha kecil-kecilan, namun terkendala modal dan kurangnya keterampilan manajerial. “Kalau ada pelatihan dan bantuan modal, pasti kami mau berusaha. Tapi tolong jangan dibiarkan kami berjalan sendiri,” katanya dengan nada penuh harap.



