Turunnya Roda Konstruksi di IKN: Pekerja Berkurang, Usaha Warga Mulai Terguncang
![]() |
| Ilustrasi AI |
Pembangunan masif di IKN selama beberapa
tahun terakhir telah menjadi magnet besar bagi tenaga kerja konstruksi, usaha
lokal, dan pertumbuhan ekonomi di kawasan penyangga. Namun kini, geliat
tersebut mulai menunjukkan gejala perlambatan. Jumlah pekerja konstruksi yang
digerakkan untuk pekerjaan infrastruktur dan gedung di IKN dilaporkan menurun
dalam kurun waktu terakhir dibanding periode sebelumnya. Penurunan ini bukan
saja berdampak pada angka pekerjaan langsung, namun juga mulai terasa
guncangannya pada usaha‐usaha warga setempat yang selama ini bergantung pada
aktivitas konstruksi: tukang, warung makan, penginapan, logistik lokal, hingga
jasa transportasi harian.
Menurut data yang dirilis sebelumnya, pada Agustus 2024 tercatat sekitar 27.209 orang pekerja konstruksi yang dikerahkan dalam 68 paket pekerjaan simultan di area IKN. Angka itu menunjukkan betapa besar skala pengerjaan proyek - proyek infrastruktur, mulai dari jalan, bangunan pemerintahan, hingga fasilitas publik di kawasan ibu kota baru. Pekerjaan demikian memicu munculnya mata rantai ekonomi lokal: penyalur bahan bangunan, kos pekerja, kantin harian, warung makan, hingga cuci motor, semuanya merasakan manfaatnya secara langsung. Namun kini kabar bahwa jumlah pekerja konstruksi menurun mulai merebak—bahkan disebut “jumlah pekerja konstruksi di IKN menurun pada 2025 dibandingkan tahun 2024”.
Penurunan jumlah pekerja konstruksi memiliki implikasi yang sangat nyata bagi pekerja mandiri dan usaha mikro di sekitar IKN. Misalnya, tukang harian yang biasa mendapat pekerjaan di lokasi pembangunan mulai harus menunggu giliran atau bahkan tidak dipakai lagi ketika paket pekerjaan memasuki tahap finishing atau transisi. Warung makan dan kantin yang melayani para pekerja konstruksi mengalami penurunan pelanggan. Penyedia jasa penginapan sederhana atau kos pekerja harian menemukan suatu kenyataan bahwa permintaan kamar menurun. Toko bangunan dan distributor material lokal juga mulai kurang menerima permintaan besar. Semua ini menunjukkan bahwa ketika proyek utama mempertahankan kecepatan tinggi, ekonomi lokal hidup. Sebaliknya, ketika proyek mulai melambat, efek domino langsung terasa.
Warga di sekitar kawasan IKN pun mulai merasakan “sinyal dingin” tersebut. Seorang pedagang warung makan kecil yang biasa menyediakan sarapan dan makan siang bagi puluhan pekerja konstruksi mengungkapkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir pelanggan tetapnya menyusut. “Biasanya jam tujuh pagi sudah ramai pekerja masuk ke lokasi, makan di sini, kopi juga laku keras. Sekarang jadi sepi, ada yang keluar lebih awal, ada yang tidak datang,” ungkapnya. Selain itu, tukang bangunan harian yang biasa menyuplai bahan‐bahan kecil seperti semen, pasir, atau bata ringan mengaku kini harus berburu proyek ke lokasi lain karena proyek di kawasan IKN mulai memasuki tahap ramping.
Pemerintah dan pelaku proyek pembangunan IKN sendiri menyadari hal ini sebagai bagian dari siklus pembangunan. Paket pekerjaan besar memang biasanya bersifat intensif pada tahap awal—greenfield, pematangan lahan, pembangunan struktur utama—kemudian berangsur ke tahap finishing, interior, dan operasional yang membutuhkan tenaga yang lebih sedikit dan spesifik. Namun yang menjadi sorotan adalah bahwa belum semua usaha pendukung disiapkan untuk menghadapi periode transisi ini. Usaha lokal yang tumbuh ketika “boom” konstruksi belum sepenuhnya didukung untuk beradaptasi ke aktivitas ekonomi baru di IKN yang lebih berkelanjutan.
Lebih jauh, situasi ini memunculkan pertanyaan tentang inklusi tenaga kerja dan usaha lokal: bagaimana agar warga sekitar tidak keluar dari arus pembangunan ketika proyek memasuki fase berbeda? Beberapa analisis menyebut bahwa pelibatan warga lokal pada tahapan awal sangat tinggi—tenaga harian, tukang, penyedia asrama sementara—namun ketika pembangunan masuk fase lanjutan atau outsource sub-kontraktor besar, keterlibatan lokal menurun. Akibatnya, meskipun jumlah proyek masih banyak, manfaat ekonomi bagi warga langsung mulai redup. Hal ini menimbulkan rasa waspada bahwa pembangunan IKN belum sepenuhnya memihak kepada masyarakat penyangga dalam jangka panjang.
Pemerintah daerah dan lembaga terkait sebetulnya telah menyatakan bahwa pembangunan IKN akan memasuki fase pengoperasian dan pemanfaatan, di mana jenis pekerjaan akan bergeser dari konstruksi besar ke pengelolaan, layanan publik, teknologi, dan pemukiman. Perubahan ini menuntut kesiapan masyarakat dan usaha lokal untuk beralih adaptasi, misalnya dari tukang bangunan ke tukang interior, jasa layanan hunian, pengelola fasilitas, atau usaha pendukung layanan kota pintar. Namun kenyataannya, usaha‐usaha kecil belum semuanya mendapatkan pelatihan atau akses modal untuk melakukan transformasi tersebut.
Dampak ke sektor usaha lokal sebenarnya bisa dilihat sebagai early warning bahwa pembangunan sebuah kota baru seperti IKN tidak hanya soal gedung dan jalan. Ekonomi riil warga setempat juga harus diperhitungkan dan diberikan mitigasi ketika terjadi perubahan pola pembangunan. Misalnya, ketika proyek jalan utama selesai, maka bukan berarti roda ekonomi berhenti—harus ada pengembangan kesempatan baru agar tukang bangunan tidak menganggur, harus ada pelatihan bagi usaha mikro supaya mampu melayani fungsi baru kota seperti hunian, layanan, logistik, dan sebagainya. Tanpa strategi demikian, maka antisipasi seperti penurunan pekerja konstruksi akan membawa gejolak ekonomi lokal.
Seorang narasumber dari masyarakat lokal menyatakan bahwa ketika pengerjaan fasad dan struktur utama selesai, banyak pekerja harian yang ditarik ke proyek lain atau pulang ke kampung halaman. “Saya sudah lima bulan tidak dipakai sehari penuh. Kadang hanya beberapa jam, kadang langsung dikirim ke proyek luar,” kata seorang tukang harian yang bekerja di IKN. “Saya takut nanti benar‐benar tidak ada pekerjaan di sini dan harus mencari ke Kota Balikpapan atau Kalimantan Selatan.” Kondisi semacam ini menyebabkan gelombang rekrutmen lokal melambat dan muncul ketidakpastian bagi pekerja tidak tetap.
Dari sisi kebijakan, para pemangku kepentingan menyadari bahwa tantangan terbesar adalah menjamin agar perubahan fase pembangunan tidak menyebabkan ketimpangan. Salah satu solusi yang digagas adalah memperkuat program pelatihan vokasional dan peningkatan kapasitas warga lokal agar mereka bisa masuk ke jenis pekerjaan yang muncul setelah fase konstruksi tinggi—misalnya pengelolaan gedung, penyediaan layanan, smart city, pemeliharaan infrastruktur, dan lainnya. Ada juga usulan agar usaha lokal diberikan prioritas dalam paket‐sub‐kontrak lanjutan, dengan kriteria pemberdayaan ekonomi local sebagai syarat. Dengan demikian, meskipun jumlah pekerja konstruksi menurun, maka tenaga kerja lokal masih bisa terserap di aktivitas berikutnya.
Kondisi ini juga menjadi pengingat bahwa pembangunan skala besar seperti IKN memerlukan pendekatan yang komprehensif: tidak hanya mengenai pembangunan fisik, tetapi juga pemetaan dampak sosial‐ekonomi. Ketika roda konstruksi melambat, maka ekonomi lokal harus memiliki alur transisi ke aktivitas baru agar warga tidak tertinggal. Hal ini mencakup pengembangan usaha mikro, pemberdayaan UMKM untuk menyediakan jasa kota—seperti catering, laundry, parkir, pengelolaan hunian, keamanan—yang khas kota baru. Dalam banyak diskusi, muncul masukan bahwa strategi “after‐construction” sering kurang mendapat perhatian di awal, padahal fase itulah yang akan menentukan kesejahteraan warga lokal jangka panjang.
Kejadian ini bukan hanya soal berkurangnya pekerja, tetapi juga soal bagaimana warga setempat bisa tetap terkait dengan manfaat pembangunan ibu kota baru. Ada kekhawatiran bahwa jika pola pembangunan hanya memprioritaskan investasi besar dan tenaga eksternal, maka warga lokal hanya menjadi penonton; ketika aktivitas proyek tinggi, mereka terlibat, namun ketika aktivitas berkurang, mereka dilepas tanpa alternatif. Untuk mencegah hal ini, pemerintah dan Otorita IKN perlu menetapkan kebijakan yang benar‐benar inklusif dan berjangka panjang.
Para usaha lokal yang selama ini tumbuh mengikuti aktivitas konstruksi di IKN juga mulai merasakan efek perubahan. Beberapa pemilik warung makan melaporkan bahwa mereka harus mengurangi jumlah karyawannya karena omzet menurun. Pengusaha kos atau sewa kamar pekerja mengatakan bahwa tingkat hunian menurun karena pekerja mulai berkurang atau pindah ke proyek lain. Distributor bahan bangunan yang memasok ke lokasi konstruksi utama juga menyampaikan bahwa mereka mulai menjual ke lokasi lain karena permintaan menurun. Semua ini menunjukkan bahwa efek penurunan pekerja konstruksi merambat ke berbagai lini usaha lokal dan menuntut adaptasi yang cepat.
Adapun pihak pembangunan IKN menyatakan bahwa pengurangan jumlah pekerja konstruksi bukan berarti pembangunan berhenti, melainkan menandakan fase perubahan—dari pembangunan fisik ke operasional. Namun bagi warga lokal, kenyataannya transisi ini belum sepenuhnya dirasakan. Kebijakan yang efektif harus memastikan bahwa warga lokal ikut dalam fase operasional, tidak hanya pada tahap fisik awal. Beberapa pengamat lokal menekankan agar paket‐paket pekerjaan selanjutnya mencantumkan ketentuan pemberdayaan lokal serta pelatihan kesiapan bagi warga setempat. Dengan demikian, perubahan fase konstruksi tidak selalu berarti kehilangan kesempatan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Lebih jauh, ketika pembangunan IKN semakin matang, aktor usaha lokal bisa diarahkan untuk menyasar peluang jasa kota baru: pengelolaan hunian vertikal, layanan smart city, logistik urban, ritel modern yang melayani kebutuhan aparatur negara, dan lainnya. Namun hal ini membutuhkan kesiapan—baik dari sisi keterampilan warga, modal usaha, maupun koneksi ke jaringan proyek. Tanpa persiapan yang solid, penurunan pekerja konstruksi akan berujung pada gelombang pengangguran sementara bagi pekerja harian yang tidak siap beralih.
Pencermatan lebih lanjut menunjukkan bahwa penurunan pekerja konstruksi juga dapat berdampak pada pendapatan daerah melalui konsumsi lokal yang menurun. Ketika aktivitas konstruksi melambat, maka pengeluaran pekerja—untuk makan, sewa, transportasi—menurun. Akibatnya, sektor‐sektor ekonomi kecil yang mengandalkan konsumsi tinggi oleh pekerja proyek akan terdampak. Pemerintah daerah bisa memantau indikator ini sebagai sinyal bahwa adaptasi ekonomi lokal perlu dipercepat agar dampak sosial bisa ditekan.



