Menata Kaltim di Era IKN: Wacana Sepuluh Kabupaten dan Kota Baru Demi Pembangunan Merata
![]() |
| Ilustrasi AI |
Provinsi Kalimantan Timur kini memasuki
babak baru dalam sejarah pemerintahan daerahnya: muncul wacana pembentukan
hingga sepuluh daerah otonomi baru (DOB) – terdiri dari delapan kabupaten dan
dua kota – yang dilatar-belakangi oleh percepatan pembangunan ibu kota negara
baru di kawasan sekitar. Wacana ini muncul sebagai respons terhadap tuntutan
agar layanan publik, pemerintahan, dan pembangunan infrastruktur dapat
berjalan lebih efisien, merata, dan dekat ke masyarakat di wilayah yang selama
ini memiliki tantangan geografis dan administratif.
Beberapa nama calon kabupaten/kota baru yang telah mencuat antara lain: Kota Samarendah dan Kota Tenggarong sebagai kota-baru yang akan dimekarkan dari daerah induk; Kabupaten Paser Selatan dan Kabupaten Paser Tengah dari Kabupaten Paser; Kabupaten Kutai Pesisir, Kutai Benua Raya, Kutai Tengah, dan Kutai Utara dari wilayah Kutai Kartanegara/Kutai lainnya; serta Kabupaten Berau Pesisir Selatan dari Kabupaten Berau. Rencana ini tercatat dalam berbagai kajian dan usulan resmi sebagai bagian dari percepatan pemekaran wilayah di provinsi ini.
Lebih jauh, wacana pemekaran disebut sebagai bagian dari “strategi penyangga IKN” yang dimaksudkan agar kawasan penyangga ibu kota mendapat infrastruktur, pemerintahan, dan ekonomi yang setara. Dengan pemekaran, diharapkan terjadi pemerataan pembangunan antar wilayah—tidak hanya yang langsung menghadapi IKN, tetapi juga wilayah pedalaman dan pesisir yang selama ini sering tertinggal. Pemerintah provinsi menyebut bahwa wilayahnya sangat luas, dengan topografi yang beragam dan tantangan mobilitas yang tinggi; oleh karena itu pemekaran dinilai sebagai jawaban yang tepat agar pemerintah bisa bekerja lebih efektif dan warga bisa mendapatkan pelayanan lebih dekat.
Meskipun semangatnya tinggi, realisasi pemekaran juga menghadapi berbagai tantangan signifikan. Regulasi nasional terkait pembentukan daerah otonomi baru harus dipenuhi: kajian kelayakan, kesiapan sumber daya manusia aparatur, kesiapan infrastruktur dasar, kondisi keuangan daerah induk dan calon daerah baru, serta dukungan masyarakat dan partai lokal. Selain itu, moratorium nasional terhadap pembentukan DOB juga menjadi hambatan prosedural yang harus diperhitungkan. Tanpa pemenuhan persyaratan tersebut, proses pemekaran bisa terhenti atau tertunda lama.
Dari sisi masyarakat, pemekaran turut menuai antusiasme sekaligus skeptisisme. Di satu sisi, warga di wilayah calon kabupaten baru berharap agar pemekaran menjawab persoalan jarak, pelayanan lambat, dan pembangunan yang belum merata. Mereka menginginkan ibu kota kabupaten yang lebih dekat, program pembangunan yang lebih spesifik untuk wilayah mereka, serta peluang ekonomi baru yang muncul dari status kabupaten. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pemekaran bisa menjadi birokrasi baru yang membebani serta bahwa dana dan aparatur mungkin tidak segera tersedia sehingga pelayanan bisa terkendala di tahun-tahun awal.
Contoh konkret: wilayah pesisir selatan Berau misalnya telah lama mengeluhkan jarak ke pusat kabupaten induk yang membuat pelayanan publik, pembangunan jalan, listrik, dan transportasi laut sering tertunda. Dengan wacana Kabupaten Berau Pesisir Selatan, warga berharap agar pemerintahan bisa lebih responsif dan prioritas pembangunan bisa disesuaikan dengan karakter lokal: kelautan, ekowisata, budidaya laut, dan transportasi pulau-kepulauan. Demikian pula, di wilayah Kutai yang akan dimekarkan menjadi beberapa kabupaten baru, potensi agrikultur, kehutanan, dan wilayah perbatasan dianggap punya peluang besar jika pengelolaannya dilakukan oleh institusi yang lebih kecil, terfokus, dan dekat dengan masyarakat.
Pemprov Kalimantan Timur sendiri menyebut bahwa pemekaran ini akan berjalan paralel dengan pembangunan IKN—baik dari sisi infrastruktur, pelayanan publik, maupun investasi. Dengan kabupaten/kota baru yang siap dan memiliki otonomi lebih akut, maka penataan ruang, tata kelola pemerintahan, anggaran, dan pelayanan bisa diselaraskan dengan agenda ibu kota baru. Semua pihak berharap bahwa pemekaran ini menjadi katalisator yang memperkuat posisi Kaltim sebagai provinsi penyangga yang tidak hanya “mendukung” IKN, tetapi juga tumbuh bersama menghasilkan pusat-pertumbuhan baru.
Namun seperti halnya proses besar lainnya, keberhasilan pemekaran bukan otomatis hanya karena status administratif. Para pengamat mengingatkan bahwa faktor utama yang menentukan adalah kesiapan institusi lokal, keuangan daerah, SDM aparatur, infrastruktur dasar, serta partisipasi masyarakat. Tanpa hal-hal tersebut, kabupaten atau kota baru bisa terjebak dalam “kabupaten formal” tanpa pelayanan dan pembangunan yang nyata. Dalam beberapa kasus sebelumya di Indonesia, pemekaran wilayah justru memunculkan beban baru bagi pemerintahan daerah, bukan menjadi jembatan kemajuan.
Tantangan finansial juga nyata. Calon daerah otonomi baru harus memiliki kemampuan fiskal yang memadai—bagaimana daerah tersebut akan membiayai pemerintahan, memberikan layanan publik, membangun infrastruktur, dan menggalang penerimaan asli daerah (PAD). Jika dana masih bergantung besar pada transfer dari daerah induk atau pusat, maka fleksibilitas dan efektivitas pemerintahan baru akan terbatas. Oleh karena itu, pemerintah dan DPRD provinsi menyebut bahwa pemekaran harus disertai strategi fiskal dan investasi yang matang agar kabupaten baru benar-benar mandiri.
Dari sisi legislatif dan politik lokal, pemekaran wilayah juga menjadi bagian agenda pembangunan jangka panjang. Anggota DPRD dan tokoh adat di wilayah calon DOB menginginkan bahwa pemekaran tidak hanya memindahkan birokrasi, tetapi membawa wajah baru yang lebih dekat dengan rakyat: pelayanan yang lebih cepat, pembangunan yang lebih terarah, dan ekonomi yang lebih berdampak. Untuk itu, mereka mendorong konsultasi publik, pelibatan masyarakat adat, dan penyusunan rencana strategis wilayah yang mencerminkan potensi lokal—baik kelautan, pertanian, perkebunan, maupun pariwisata.
Lebih jauh, pemekaran wilayah di Kalimantan Timur juga dibicarakan dalam konteks geopolitik dan pembangunan nasional yang lebih besar. IKN sebagai proyek strategis nasional membawa arus investasi besar, pertumbuhan populasi, dan pembangunan infrastruktur skala besar. Dengan demikian, wilayah penyangga harus siap menghadapi perubahan cepat—baik dari sisi demografi, ekonomi, maupun sosial. Pemekaran dianggap sebagai salah satu instrumen untuk “menata” perubahan tersebut agar tidak justru menciptakan kesenjangan yang lebih besar atau layanan yang terabaikan.
Menjalankan wacana pemekaran sampai pada tahap realisasi akan memerlukan langkah-langkah konkret. Di antaranya adalah penyelesaian status regulasi DOB, penguatan kerangka politik lokal yang mendukung, penyusunan RPJMD dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang daerah baru, kajian kelayakan teknis dan keuangan, serta keberlanjutan pembiayaan aparatur dan infrastruktur. Pemerintah provinsi dan pusat juga perlu memastikan sinkronisasi antara agenda pemekaran dengan pembangunan IKN, sehingga pengembangan kabupaten/kota baru bisa menyesuaikan dengan kawasan strategis nasional.



