Semangat Tak Pernah Padam Perantau Kalbar Hidupkan Budaya Daerah di Jantung Jakarta
![]() |
| Ilustrasi AI |
Jakarta - Ratusan warga asal Kalimantan Barat yang kini menetap di DKI Jakarta dan sekitarnya berkumpul dalam sebuah acara besar bernama “Bejepin Yok! 2025”, yang digelar di Anjungan Kalimantan Barat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Acara ini bukan sekadar ajang silaturahmi, tetapi juga menjadi simbol semangat para perantau dalam menjaga warisan budaya tanah kelahiran di tengah hiruk pikuk ibu kota. Melalui pertunjukan seni, tarian tradisional, serta aneka kuliner khas Kalimantan Barat, mereka menunjukkan bahwa identitas budaya dapat tetap hidup meskipun jauh dari kampung halaman.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Paguyuban
Masyarakat Kalimantan Barat di Jabodetabek, yang selama ini aktif menghubungkan
masyarakat perantau dengan akar budayanya. Sejak pagi hari, area Anjungan
Kalbar dipenuhi dengan berbagai aktivitas penuh warna. Para peserta datang
mengenakan busana adat Dayak, Melayu, dan Tionghoa, mencerminkan keragaman
etnis di provinsi tersebut. Diiringi alunan musik tradisional seperti gong,
sape, dan tambur, suasana menjadi semarak dan menggugah rasa rindu terhadap
tanah Borneo.
Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan turut hadir dan memberikan sambutan penuh kebanggaan. Ia mengatakan bahwa acara ini merupakan wujud cinta tanah air dan bentuk nyata dari upaya melestarikan budaya di tengah arus modernisasi. “Perantau adalah cerminan semangat orang Kalimantan Barat yang tangguh dan tidak melupakan asalnya. Kegiatan seperti ini penting untuk menjaga jati diri kita di tengah perubahan zaman,” ujarnya di hadapan ratusan peserta yang memadati lokasi acara.
Selain menjadi ajang nostalgia, Bejepin
Yok! 2025 juga mengandung makna filosofis mendalam. Istilah bejepin dalam
bahasa Melayu Kalbar berarti “berkumpul” atau “bersatu.” Dengan demikian, acara
ini mengajak semua elemen masyarakat, baik tua maupun muda, untuk saling
merangkul dalam semangat kebersamaan. Beberapa komunitas mahasiswa, pelajar,
hingga pelaku usaha kecil menengah turut berpartisipasi memeriahkan kegiatan
ini. Mereka membuka stan pameran yang menampilkan produk-produk unggulan daerah
seperti tenun ikat Sintang, anyaman rotan Kapuas Hulu, dan kopi robusta khas
Bengkayang.
Acara tersebut juga dimeriahkan dengan penampilan tarian tradisional dari berbagai etnis di Kalbar. Tarian Dayak Kanayatn membuka acara dengan hentakan kaki dan tabuhan gong yang menggema, diikuti oleh Tari Zapin Melayu Sambas yang lembut dan anggun. Tidak ketinggalan, barongsai dari komunitas Tionghoa Singkawang ikut tampil, menambah semarak dan menegaskan harmoni antarbudaya yang sudah lama hidup di Bumi Khatulistiwa.
Salah satu hal paling menarik dari acara ini adalah tradisi makan seprahan yang dilakukan bersama-sama. Di halaman anjungan, para peserta duduk berjajar di lantai dan menikmati hidangan khas Kalbar seperti asam pedas tempoyak, bubur pedas, dan lempok durian. Tradisi makan seprahan tidak hanya menjadi simbol kebersamaan, tetapi juga menggambarkan nilai kesetaraan tanpa sekat antara pejabat, perantau, maupun warga biasa. Semua duduk sejajar, berbagi cerita, dan menikmati rasa kebersamaan yang hangat.
Selain kesenian dan kuliner, panitia juga menyelipkan dialog budaya yang membahas pentingnya menjaga bahasa daerah dan tradisi lisan di kalangan generasi muda perantau. Menurut Ketua Panitia, Yuliana Tjandra, banyak anak-anak muda Kalbar yang lahir dan tumbuh di Jakarta mulai kehilangan kemampuan berbahasa ibu. “Melalui acara seperti ini, kami ingin menanamkan rasa bangga terhadap budaya daerah. Kita ingin mereka tahu bahwa menjadi modern bukan berarti harus meninggalkan akar budaya,” ujarnya.
Pihak Kementerian Koperasi dan UKM, yang diwakili oleh Menteri Maman Abdurrahman—yang juga putra daerah Kalbar—menyampaikan dukungan terhadap kegiatan ini. Ia menilai bahwa pelestarian budaya memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi kreatif. “Kebudayaan tidak hanya tentang tarian atau pakaian adat, tetapi juga potensi ekonomi. Produk budaya seperti tenun, kuliner, dan kerajinan tangan bisa menjadi bagian dari industri kreatif yang menopang kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Maman juga mengapresiasi semangat gotong royong komunitas perantau Kalbar yang mampu menjaga solidaritas di perantauan. Ia menilai kekompakan ini merupakan contoh positif bagi daerah lain. “Jika masyarakat perantau kompak seperti ini, mereka bisa menjadi duta daerah dan berperan besar dalam memperkenalkan budaya Kalimantan Barat di tingkat nasional bahkan internasional,” tambahnya.
Selain menampilkan seni dan budaya, acara Bejepin Yok! juga dijadikan ajang penggalangan dana sosial untuk membantu masyarakat kurang mampu di Kalbar. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk mendukung pendidikan anak-anak di daerah pedalaman. Inisiatif ini menunjukkan bahwa semangat perantau tidak hanya berhenti pada pelestarian budaya, tetapi juga diwujudkan dalam kepedulian sosial terhadap sesama.
Banyak peserta yang mengaku terharu
mengikuti kegiatan tersebut. Salah satunya adalah Maria Elisabeth, perantau
asal Kapuas Hulu yang sudah tinggal di Jakarta lebih dari sepuluh tahun. Ia
mengatakan bahwa Bejepin Yok! mengingatkannya pada masa kecil di kampung
halaman. “Ketika mendengar alunan sape, saya merasa seperti kembali ke masa
lalu. Ini bukan sekadar acara hiburan, tetapi cara kami mengobati rindu,”
ujarnya sambil tersenyum.
Sementara itu, Arif Rahman, seorang mahasiswa asal Pontianak, mengatakan bahwa kegiatan ini membuatnya lebih menghargai budaya daerahnya sendiri. “Kadang kami di perantauan terlalu sibuk mengejar karier dan lupa asal-usul. Acara ini menyadarkan kami bahwa budaya adalah identitas yang tidak boleh hilang,” katanya.
Bejepin Yok! 2025 diakhiri dengan pertunjukan kolaborasi lintas etnis bertajuk “Harmoni di Tanah Rantau.” Pertunjukan ini memadukan musik tradisional Dayak dengan alat musik modern, menghadirkan perpaduan yang indah antara masa lalu dan masa kini. Para penari mengenakan kostum berwarna cerah dengan motif khas Kalbar, menari di bawah gemerlap lampu panggung yang menandai semangat kebersamaan dan keberagaman.
Melalui kegiatan ini, para perantau Kalbar membuktikan bahwa jarak geografis bukanlah alasan untuk melupakan jati diri. Di tengah kemajuan teknologi dan kehidupan modern, mereka tetap menjaga nilai-nilai luhur leluhur yang diwariskan turun-temurun. Budaya bukan hanya tentang tarian atau kuliner, tetapi tentang cara hidup, kebersamaan, dan rasa bangga terhadap akar sendiri.



