Mengapa Ibu Kota Indonesia Harus Pindah ke IKN? Alasan dari Pandangan Asing yang Mengejutkan
![]() |
| Ilustrasi AI |
Oleh: Luigi Iram Rangi
Jakarta, yang selama puluhan tahun menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia, kini menghadapi ancaman serius yang tak bisa diabaikan lagi. Pemindahan ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan sekadar ambisi politik, melainkan langkah strategis untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Keputusan ini, yang pertama kali diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2019, kini terus dilanjutkan di era Presiden Prabowo Subianto. Menariknya, alasan utama pemindahan ini bukan hanya datang dari dalam negeri, tapi juga mendapat sorotan dari pihak asing. Kantor berita internasional seperti AFP, mantan Presiden AS Joe Biden, World Economic Forum (WEF), dan bahkan NASA telah menyoroti masalah ekologis Jakarta yang semakin parah.
Dalam laporan AFP, pemindahan ibu kota ke IKN digambarkan
sebagai upaya untuk mengurangi beban berat yang selama ini ditanggung oleh
Jakarta dan kawasan Jabodetabek. Jakarta, sebagai salah satu kota terpadat di
dunia, mengalami penurunan permukaan tanah yang ekstrem, yang dikombinasikan
dengan naiknya muka air laut akibat perubahan iklim global. Beberapa wilayah di
ibu kota bahkan diprediksi akan tenggelam dalam waktu dekat jika tidak ada
intervensi besar. Ini bukan isu baru, tapi semakin mendesak seiring waktu
berlalu.
Salah satu sorotan paling mengejutkan datang dari Joe Biden,
mantan Presiden Amerika Serikat. Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen
Nasional AS pada akhir Juli 2021, Biden secara eksplisit menyebut Jakarta
sebagai contoh nyata dampak perubahan iklim. "Jika permukaan laut naik dua
setengah kaki lagi, Anda akan memiliki jutaan orang yang bermigrasi,
memperebutkan tanah yang subur," katanya saat itu. Ia melanjutkan dengan
pertanyaan retoris: "Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar
bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya
karena mereka akan berada di bawah air?" Ucapan Biden ini bukan omong
kosong; ia didasari data ilmiah yang telah dikumpulkan oleh lembaga-lembaga
terkemuka dunia.
World Economic Forum, dalam laporannya pada 2019,
menempatkan Jakarta di posisi pertama daftar kota-kota dunia yang berisiko
tenggelam pada tahun 2100 jika tidak ada perubahan signifikan. Diikuti oleh
Lagos di Nigeria dan Houston di AS, Jakarta menjadi simbol kota pesisir yang
rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Laporan WEF ini menekankan bahwa tanpa
aksi mitigasi, jutaan penduduk akan terdampak, termasuk migrasi massal dan
kerugian ekonomi yang tak terhitung. Ini sejalan dengan apa yang diamati di Jakarta,
di mana banjir tahunan semakin parah dan memengaruhi kehidupan sehari-hari
warga.
NASA, badan antariksa AS yang berbasis di Washington, turut
memberikan analisis mendalam pada 2021. Mereka menyatakan bahwa peningkatan
suhu global dan pencairan lapisan es menyebabkan kota-kota pesisir seperti
Jakarta menghadapi risiko banjir yang semakin besar. "Masalah banjir itu
juga semakin memburuk dalam beberapa dekade karena adanya pemompaan air tanah
yang menyebabkan tanah tenggelam atau surut," ujar NASA dalam
pernyataannya. Data mereka menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut global
rata-rata mencapai 3,3 milimeter per tahun. Ditambah dengan intensitas badai
hujan yang meningkat akibat pemanasan atmosfer, banjir menjadi kejadian biasa
di Jakarta.
Sejarah banjir di ibu kota memang mencengangkan. Sejak
1990-an, banjir besar telah melanda Jakarta secara berkala. Pada musim hujan
2007, misalnya, 70% wilayah kota terendam air, menyebabkan kerusakan
infrastruktur, kerugian ekonomi, dan bahkan korban jiwa. NASA menggunakan citra
satelit Landsat untuk memetakan evolusi Jakarta selama tiga dekade terakhir.
Gambar-gambar itu menunjukkan bagaimana pembabatan hutan dan vegetasi di daerah
pedalaman, terutama di sepanjang sungai Ciliwung dan Cisadane, telah mengurangi
kemampuan tanah untuk menyerap air. Akibatnya, limpahan air dan banjir bandang
menjadi lebih sering terjadi.
Populasi Jakarta yang meledak juga memperburuk situasi.
Antara 1990 dan 2020, jumlah penduduk lebih dari dua kali lipat, membuat lebih
banyak orang tinggal di dataran banjir berisiko tinggi. Banyak saluran sungai
dan kanal yang seharusnya menjadi penyangga banjir justru menyempit atau
tersumbat oleh sedimen dan sampah. Ini bukan masalah sepele; ini ancaman
eksistensial. Salah satu citra NASA dari 1990 menunjukkan bahwa lahan buatan
dan pembangunan baru saja mulai menyebar ke perairan dangkal Teluk Jakarta. Analis
data mencatat bahwa setidaknya 1.185 hektar lahan baru dibangun di sepanjang
pantai, yang semakin mempercepat penurunan tanah.
Pemindahan ibu kota ke IKN bukan hanya solusi untuk masalah
ekologis, tapi juga peluang untuk pembangunan berkelanjutan. IKN dirancang
sebagai kota pintar yang ramah lingkungan, dengan fokus pada energi terbarukan,
transportasi hijau, dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak. Lokasinya di
Kalimantan Timur, jauh dari zona rawan banjir dan penurunan tanah seperti
Jakarta, memberikan harapan baru. Pembangunan IKN telah dimulai sejak era
Jokowi, dengan proyek infrastruktur dasar seperti jalan, bandara, dan gedung
pemerintahan yang terus berlanjut di bawah Prabowo. Targetnya, IKN akan menjadi
ibu kota politik penuh pada 2028, meskipun Jakarta tetap sebagai pusat ekonomi
untuk sementara.
Pandangan asing ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita
semua. Bukan hanya Biden atau NASA yang bicara; ini adalah konsensus ilmiah
global. Perubahan iklim bukan isu politik, melainkan fakta yang memengaruhi
kehidupan miliaran orang. Di Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di
dunia, ancaman ini semakin nyata. Pemindahan ke IKN bisa menjadi model bagi
negara lain yang menghadapi masalah serupa, seperti Bangladesh atau Belanda
yang juga berjuang melawan naiknya air laut.
Namun, tantangan tetap ada. Kritik terhadap IKN mencakup isu
biaya yang mahal, potensi deforestasi di Kalimantan, dan ketergantungan pada
investasi asing. Pemerintah perlu memastikan bahwa pembangunan ini inklusif,
melibatkan masyarakat lokal, dan tidak mengorbankan lingkungan. Sejauh ini,
proyek IKN telah menarik minat investor dari berbagai negara, termasuk Uni
Emirat Arab dan China, yang melihat potensi ekonomi jangka panjang.
Dari perspektif global, pemindahan ibu kota bukan hal baru.
Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960 untuk
mendistribusikan pembangunan. Australia membangun Canberra sebagai ibu kota
baru pada awal abad ke-20. Indonesia bisa belajar dari pengalaman mereka,
sambil menyesuaikan dengan konteks lokal. Alasan ekologis yang disoroti oleh
asing menjadi pendorong utama, tapi manfaatnya lebih luas: pemerataan
pembangunan, pengurangan kemacetan di Jawa, dan penciptaan lapangan kerja baru
di luar pulau utama.
Akhirnya, semoga pemindahan ke IKN berjalan lancar dan menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia. Seperti yang dikatakan Biden, ini bukan soal jika, tapi kapan. Dengan langkah ini, Indonesia menunjukkan komitmennya menghadapi perubahan iklim dan membangun masa depan yang lebih aman. Informasi ini diharapkan menambah wawasan pembaca tentang urgensi pemindahan ibu kota ke IKN. Tetap ikuti perkembangan terbaru seputar IKN dan isu lingkungan di situs berita terpercaya.



