IKN TIME

IKN TIME

  • IKN
  • Pembangunan
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Borneo
  • _Kalbar
  • _Kaltim
  • _Kalsel
  • _Kalteng
  • _Kaltara
  • _Sarawak
  • _Sabah
  • _Brunei
  • Budaya
  • _Dayak
  • _Melayu
  • _Tionghoa
  • _Seni
  • _Sejarah
  • _Sastra
  • Hidup
  • _Inspirasi
  • _Sosok
  • _Kesehatan
  • _Pendidikan
  • _Wisata
  • _Hiburan
  • _Olahraga
  • Iptek
  • _Sain
  • _Teknologi
  • Buku
  • Loker
  • Home
  • Buku
  • Sastra

Ketika Parang Menulis Puisi: Jaya Ramba dan Darah yang Tidak Bisa Dikeringkan

By IKN TIME
October 14, 2025

Cover buku Cerpen Jaya Ramba karya graphic designe Alexander Mering. Sumber Foto: Borneo Globe

Oleh
: Iram Rangi

KUCHING-Kau bisa menulis dengan tinta, tetapi Jaya Ramba menulis dengan darah.
Darah warisan, darah luka, darah yang mengalir dari sejarah panjang suku Dayak yang pernah dianggap sunyi. Kumpulan cerpennya, Upacarakan Aku Dengan Darah Keturunan, bukan sekadar buku sastra—ia adalah upacara kesadaran. Setiap halamannya berdenting seperti gong tua yang dibangunkan dari tidur panjang, memanggil roh-roh leluhur agar duduk sebentar di antara kata dan makna.

Dalam dunia sastra yang kian sibuk dengan gaya, formula, dan algoritma pasar, Jaya Ramba muncul seperti seorang dukun yang datang membawa kitab kuno. Ia tidak menulis untuk memanjakan pembaca, tapi untuk menguji apakah pembaca masih sanggup menatap api roh yang tidak bisa dimatikan. Di tangan Jaya, kata menjadi mantra, cerita menjadi ritual, dan membaca menjadi pengalaman spiritual yang tidak bisa dilakukan dengan pikiran dingin.

Karya Jaya bukan nostalgia etnik murahan. Ia bukan turis dalam kebudayaannya sendiri. Ia berdiri di tengah hutan identitas yang terus digunduli modernitas, dan dari sana ia menulis ulang sejarah bangsanya.
Ritual, sabak, bebiau, hingga upacara penyembuhan bukan sekadar ornamen eksotik—itu sistem pengetahuan. Ia mengajarkan bahwa roh dan manusia tak bisa dipisahkan seperti daging dari tulang.

Ceritanya dipenuhi watak “aku” yang bisa jadi siapa saja: penyaksi, pewaris, bomoh, atau roh gentayangan yang menolak dilupakan. Ia berbicara dengan sungai, menatap tanah sebagai rahim ingatan, dan membiarkan api berbicara dengan bahasa yang tidak dikenal di kota. Inilah bentuk realisme sakral—sebuah gaya yang mempersatukan dunia nyata dengan dunia roh tanpa menuntut pembaca untuk memilih salah satu.

Yang menarik, Jaya Ramba menulis seolah-olah seluruh semesta ikut duduk di meja tulisnya.
Sungai bukan sekadar latar, melainkan saksi sumpah. Hutan bukan dekorasi hijau, tapi nadi peradaban. Dalam setiap cerpen, ada keseimbangan antara pengorbanan dan kebangkitan, antara roh dan daging, antara kematian dan kelahiran. Ia menulis bukan untuk melarikan diri dari dunia modern, tetapi untuk mengingatkan bahwa dunia modern sedang kehilangan jiwanya.

Sebagian kritikus menyandingkannya dengan Gabriel García Márquez, Chinua Achebe, dan Pramoedya Ananta Toer. Tapi perbandingan itu hanya setengah benar.


Karena Ramba tidak meniru siapa pun—ia menulis dengan logika hutan dan napas arwah. Ia meminjam ritme mantra, melagukan narasi dengan tempo gong, dan menutup kalimatnya seperti menutup peti persembahan.

Karya-karyanya tidak hanya penting bagi kesusastraan Dayak, tapi juga bagi seluruh wacana sastra dunia yang kini mulai menoleh pada “indigenous literature”—sastra pribumi yang menulis dari pinggir, bukan dari pusat kekuasaan.
Ia adalah suara dari akar yang tumbuh ke atas, bukan daun yang jatuh ke bawah.

Bagi dunia akademik, karya ini adalah bahan penelitian yang kaya. Bagi pembaca, ini adalah perjalanan ziarah. Dan bagi masyarakat Dayak, ini adalah cara roh mereka diabadikan di antara halaman.
Tidak heran jika Upacarakan Aku Dengan Darah Keturunan kini disebut sebagai teks peralihan—dari sastra etnik menuju sastra dunia. Sebuah karya yang menolak tunduk pada ekspektasi pasar, tapi justru memaksa pasar tunduk pada kesakralan budaya.

Ramba telah membuktikan bahwa bahasa bisa menjadi altar, dan menulis adalah bentuk persembahan. Ia bukan sekadar penulis, tapi penjaga api pengetahuan yang hampir padam.
Di tangan lain, sastra menjadi hiburan. Di tangannya, sastra menjadi upacara.

Kini, Jaya Ramba berdiri di ambang sejarah sastra Asia Tenggara. Ia menulis dari Borneo, tapi gema suaranya sampai ke ruang seminar, ruang universitas, dan ruang batin siapa pun yang pernah merasa tercerabut dari asal. Ia tidak menulis untuk menjadi terkenal, tapi untuk menyembuhkan kehilangan kolektif yang diwariskan oleh kolonialisme dan modernitas.

Dan di situlah letak kekuatannya: ia tidak menjual eksotisme, tetapi menawarkan kesadaran.
Sastra, baginya, bukan sekadar estetika—tapi cara memulihkan dunia yang telah melupakan makna roh.

Setiap kali kita membuka halaman bukunya, kita seperti sedang menghadiri upacara.
Ada mantra yang disembunyikan di antara dialog, ada roh yang bersembunyi di balik kalimat, dan ada darah keturunan yang masih hangat di setiap kata.
Membaca Jaya Ramba adalah seperti melihat parang tua yang berkarat, tapi setiap goresannya menceritakan sejarah bangsa yang bertahan.

“Upacarakan Aku Dengan Darah Keturunan” bukan sekadar kumpulan cerpen. Ia adalah pernyataan: bahwa dari suku kecil bisa lahir gagasan besar, bahwa dari akar bisa tumbuh pohon yang menjulang menembus langit sastra dunia.

Dan dunia kini tidak punya pilihan lain selain mengakuinya:
pena Dayak telah menulis sejarahnya sendiri—dengan darah yang tidak bisa dikeringkan.

 

Tags:
  • Buku
  • Sastra
Share:
Also read
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
IKN TIME
IKN TIME
IKN TIME adalah sebuah sebuah sindikasi informasi yang berisikan berita politik, ekonomi, budaya lintas negara di Borneo. Terutama yang terkait dengan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan seluruh aspek kehidupan di pulau Borneo
Related news
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Latest news
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Show more

Most popular
  • Apakah Anda Keturunan Budak? Resensi Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak

    October 09, 2025
    Apakah Anda Keturunan Budak?  Resensi Buku Perang dan Perbudakan di Tanah Dayak
  • Jaya Ramba, Ketua Lembaga Sastera Dayak Terima Anugerah Darjah Kebesaran Ahli Bintang Kenyalang

    October 12, 2025
    Jaya Ramba, Ketua Lembaga Sastera Dayak Terima Anugerah Darjah Kebesaran Ahli Bintang Kenyalang
  • Resensi Buku: The History of Dayak – Sebuah Deklarasi Identitas dari Hutan Borneo

    October 05, 2025
    Resensi Buku: The History of Dayak – Sebuah Deklarasi Identitas dari Hutan Borneo
  • Kalimantan Tengah Membara: Suhu Ekstrem Capai 37,2°C, BMKG Ingatkan Risiko Karhutla dan Kesehatan

    October 05, 2025
    Kalimantan Tengah Membara: Suhu Ekstrem Capai 37,2°C, BMKG Ingatkan Risiko Karhutla dan Kesehatan
  • Ketika Parang Menulis Puisi: Jaya Ramba dan Darah yang Tidak Bisa Dikeringkan

    October 14, 2025
    Ketika Parang Menulis Puisi: Jaya Ramba dan Darah yang Tidak Bisa Dikeringkan
Most popular tags
  • Advertorial
  • Cerita Rakyat
  • English
  • Militer
  • Pemilu
IKN TIME
Company
  • About Us
  • Contact Us
  • Careers
  • Advertise With Us
Legal & Privacy
  • Terms of Service
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
News
  • English News
  • Pemilu
  • Militer
  • Cerita Rakyat
Community
  • Loker
  • Dayak
  • Melayu
  • Tionghoa
Copyright © 2025 IKN TIME. All rights reserved.
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo
  • Network Logo