Kalimantan Tengah Membara: Suhu Ekstrem Capai 37,2°C, BMKG Ingatkan Risiko Karhutla dan Kesehatan
![]() |
Ilustrasi AI |
Kalteng – Gelombang panas yang melanda Kalimantan Tengah
(Kalteng) pada awal Oktober 2025 memicu perhatian luas, dengan suhu puncak
mencapai 37,2 derajat Celsius yang disebut-sebut sebagai rekor terpanas dalam
sejarah provinsi ini. Fenomena ini, yang sempat viral di media sosial melalui
laporan Extreme Temperatures Around The World, awalnya diklaim terjadi di
Palangkaraya, namun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
mengoreksi bahwa suhu ekstrem tersebut tercatat di Kotawaringin Barat. Kondisi
terik ini, yang dipicu oleh kombinasi cuaca kering, minimnya awan, dan posisi
matahari di ekuator, tidak hanya membuat siang hari terasa membakar, tetapi
juga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta masalah
kesehatan masyarakat. BMKG pun mengeluarkan imbauan mendesak untuk mitigasi
dampak, di tengah kekhawatiran bahwa musim kemarau berkepanjangan akan
memperparah situasi di wilayah rawan seperti Kalteng.
Pada Kamis, 2 Oktober 2025, akun X @extremetemps yang
dikelola periset independen Maximiliano Herrera melaporkan bahwa Palangkaraya
mencatat suhu 37,2°C, disebut sebagai “hari terpanas dalam sejarah” sekaligus
bagian dari gelombang panas global yang memecahkan rekor suhu Oktober di lebih
dari 100 negara. Namun, Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani,
menjelaskan bahwa angka tersebut sebenarnya terekam di Stasiun Iskandar,
Kotawaringin Barat, bukan Palangkaraya. “Di Palangkaraya sendiri, suhu maksimum
harian mencapai 35,3°C pada 29 September dan 35,1°C pada 26 September di
Stasiun Tjilik Riwut,” ujar Andri dalam keterangannya kepada media, Kamis lalu.
Ia menambahkan bahwa sepanjang 25 September hingga 2 Oktober 2025, Kalteng
secara konsisten mencatat suhu tinggi antara 34-37°C, dengan puncak di
Kotawaringin Barat, diikuti daerah lain seperti Barito Selatan (34,7°C di
Stasiun Sanggu pada 25 September) serta Barito Utara dan Kotawaringin Timur
yang stabil di kisaran 32-34,8°C.
Penyebab utama cuaca ekstrem ini, menurut BMKG, adalah
kombinasi faktor meteorologi yang khas di akhir musim kemarau. Angin timuran
yang kering, posisi semu matahari yang berada di garis ekuator, dan minimnya
tutupan awan menciptakan kondisi “oven” di sebagian besar Kalteng. “Pada akhir
September, suhu cenderung naik dengan puncak ekstrem di atas 35°C, lalu sedikit
fluktuatif memasuki Oktober,” jelas Andri. Fenomena ini diperparah oleh
rendahnya kelembapan udara, yang di beberapa wilayah Kalteng turun hingga 40
persen, jauh di bawah ambang normal 60-80 persen untuk iklim tropis. Data
satelit BMKG menunjukkan bahwa indeks kekeringan vegetasi (Vegetation Health
Index) di Palangkaraya dan sekitarnya mencapai level kritis, meningkatkan
risiko karhutla di lahan gambut yang mendominasi 30 persen luas provinsi.
Dampak gelombang panas ini tidak hanya terasa di Kalteng,
tetapi juga di wilayah lain di Indonesia. BMKG mencatat suhu serupa di Makassar
(Sulawesi Selatan) dan Bima (Nusa Tenggara Barat) yang menyentuh 37°C, serta
Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) dengan puncak 36,8°C pada akhir September. Di
Kalteng, situasi ini memperburuk ancaman karhutla, yang pada 2024 telah
menghanguskan 8.594 hektare lahan nasional, dengan Kalteng menyumbang 20 persen
dari total tersebut, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kabut asap dari kebakaran gambut, seperti yang terjadi di Pulang Pisau pada
Juli 2025, menyebabkan 5.000 warga menderita infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) dan menelan biaya pemadaman hingga Rp 150 miliar. “Kondisi kering ini
seperti bensin di lahan gambut; sekali tersulut, api bisa menyebar tak
terkendali,” ungkap Andri, mengacu pada hotspot yang melonjak hingga 2.173
titik secara nasional pada 3 Oktober, dengan Kalteng mencatat 200 titik.
Efek sosial dan kesehatan dari suhu ekstrem ini juga
signifikan. Di Palangkaraya, warga melaporkan ketidaknyamanan akibat panas
menyengat, dengan konsumsi air minum meningkat 30 persen di pasar tradisional,
menurut laporan Dinas Kesehatan Kalteng. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok
rentan, dengan kasus dehidrasi naik 15 persen di puskesmas setempat sepanjang
September. Sektor pendidikan pun terdampak; beberapa sekolah di Kotawaringin
Barat terpaksa mengurangi jam belajar luar ruangan untuk menghindari heatstroke.
“Saya harus beli kipas angin tambahan karena malam pun terasa panas,” keluh
Siti, pedagang di Pasar Kahayan, Palangkaraya, yang mencatat penurunan omzet
akibat sepinya pembeli di siang hari. Sementara itu, petani sawah di Barito
Selatan melaporkan gagal panen akibat kekeringan, dengan 500 hektare lahan padi
terlantar sejak Agustus 2025.
BMKG mengeluarkan imbauan mendesak kepada masyarakat untuk
mengurangi risiko dampak panas ekstrem. “Kami sarankan banyak minum air,
hindari aktivitas berat di luar ruangan antara pukul 11.00 hingga 15.00, dan
jangan sekali-kali melakukan pembakaran terbuka,” tegas Andri. Pemerintah
Provinsi Kalteng, di bawah Gubernur Sugianto Sabran, telah mengaktifkan status
siaga darurat karhutla hingga November 2025, dengan 1.500 personel Manggala
Agni dan BPBD dikerahkan di titik rawan seperti Gunung Mas dan Katingan. Operasi
modifikasi cuaca (OMC) melalui hujan buatan juga ditingkatkan, dengan 10
penerbangan water bombing pada September berhasil menurunkan 20 persen
intensitas hotspot. Namun, tantangan logistik di wilayah pedalaman seperti
Barito Utara menyulitkan distribusi air bersih, dengan 30 desa melaporkan
kekurangan pasokan sejak awal Oktober.
Secara nasional, gelombang panas ini mencerminkan dampak
perubahan iklim yang kian nyata. Data World Meteorological Organization (WMO)
mencatat bahwa 2025 menjadi salah satu tahun terpanas global, dengan kenaikan
suhu rata-rata 1,4°C di atas era pra-industri. Di Indonesia, BMKG memprediksi
puncak musim kemarau hingga akhir Oktober, dengan potensi El Niño lemah
memperparah kekeringan di Kalimantan dan Sulawesi. Untuk Kalteng, yang menjadi
penyangga ekologi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, kondisi ini
menambah urgensi transisi ke praktik ramah lingkungan. Inisiatif seperti
reboisasi 10.000 hektare lahan gambut di Palangkaraya oleh KLHK dan program
“Kalteng Hijau” sejak 2024 diharapkan mengurangi kerentanan terhadap karhutla,
meski implementasinya masih terkendala dana dan koordinasi antarinstansi.
Di tengah situasi ini, BMKG mendorong kolaborasi masyarakat
dan pemerintah daerah untuk mitigasi jangka panjang. Edukasi melalui aplikasi
Info BMKG dan kampanye “Siaga Panas” mulai digalakkan di sekolah-sekolah
Palangkaraya, sementara Dinas Pertanian Kalteng meluncurkan program irigasi
tetes untuk petani terdampak kekeringan. “Kalteng tidak sendiri; kita harus
bersatu melawan dampak iklim ini,” tutup Andri, menekankan pentingnya kesadaran
kolektif. Dengan suhu ekstrem yang terus mengintai, Kalteng kini berada di
persimpangan: antara bertahan dari panas membakar atau membangun masa depan
yang lebih sejuk melalui aksi nyata melawan krisis iklim.