Endapan Dana Hingga Rp 5 Triliun di Perbankan Kalsel: Siapa yang Menahan dan Untuk Apa?
![]() |
| Ilustrasi AI |
Kalsel - Provinsi Kalimantan Selatan tengah disorot
publik setelah terungkap bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) senilai sekitar Rp5 triliun masih mengendap di bank. Temuan ini
menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat dan anggota DPRD setempat.
Mengapa dana sebesar itu belum digerakkan untuk pembangunan? Siapa yang
bertanggung jawab, dan apa alasan di balik penahanan dana tersebut?
Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Selatan yang membidangi ekonomi dan keuangan, H. Suripno Sumas, mengaku terkejut saat membaca laporan bahwa dana pemerintah provinsi dalam jumlah fantastis itu masih “mengendap” di bank. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan segera memanggil eksekutif untuk memberikan klarifikasi. Melalui Badan Anggaran DPRD, Suripno menyatakan pentingnya mengetahui secara pasti bagaimana dana sebesar itu dikelola, serta apakah kebijakan tersebut sudah sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Menurut Suripno, bila dana sebesar itu benar disimpan dalam bentuk deposito atau simpanan jangka pendek di bank, maka pemerintah provinsi harus menjelaskan secara rinci sejak kapan dana itu disimpan, untuk apa tujuannya, serta bagaimana mekanisme penggunaannya. Ia juga mempertanyakan mengapa dana tersebut tidak segera digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan yang telah disahkan dalam APBD. “Kalau dana yang mengendap mencapai Rp5 triliun, logikanya kita tidak akan mengalami defisit anggaran. Ini yang perlu dijelaskan oleh pihak eksekutif,” tegasnya.
Suripno bahkan mengkhawatirkan adanya permainan tertentu di balik kebijakan ini. Ia menilai bahwa jika dana tersebut sengaja ditahan tanpa alasan jelas, maka patut dipertanyakan siapa yang mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Ia juga menyinggung kemungkinan bahwa penahanan dana dilakukan karena adanya ketakutan dari beberapa pihak terhadap penyelidikan aparat hukum, terutama setelah beberapa pejabat di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kalsel ditahan terkait kasus korupsi. “Bisa jadi dana itu tertahan karena ada rasa takut menjadi target pemeriksaan. Tapi kita tidak boleh menduga-duga, semuanya harus dijelaskan secara terbuka,” tambahnya.
Penahanan dana sebesar itu tentu berdampak besar terhadap jalannya pembangunan di Kalimantan Selatan. Dana APBD seharusnya berputar di masyarakat melalui proyek-proyek publik seperti pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya. Ketika dana justru disimpan di bank dalam waktu lama, maka efek domino terhadap perekonomian lokal tak terhindarkan. Kontraktor terpaksa menunda pekerjaan, pelaku usaha kecil kehilangan momentum, dan masyarakat akhirnya tidak segera merasakan manfaat dari anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk mereka.
Dari sisi ekonomi, pemerintah daerah memang akan memperoleh sedikit bunga dari deposito tersebut. Namun jumlah bunga itu jauh lebih kecil dibandingkan dampak ekonomi yang dihasilkan jika dana digunakan untuk kegiatan produktif. Perputaran uang di sektor publik memiliki efek berganda yang mampu menggerakkan roda ekonomi daerah. Oleh karena itu, kebijakan menyimpan dana dalam jumlah besar di bank sering kali dianggap tidak efisien dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Selain itu, kondisi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang strategi fiskal dan kemampuan manajerial pemerintah provinsi. Bila dana banyak yang tertahan, apakah ini menandakan lemahnya perencanaan penyerapan anggaran? Atau justru ada kebijakan internal untuk menahan dana agar bisa digunakan di waktu tertentu? Masyarakat dan DPRD berhak mengetahui alasan di balik keputusan tersebut, karena dana publik bukan milik individu atau lembaga, melainkan amanah rakyat yang harus dikelola secara transparan dan bertanggung jawab.
Dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, dana yang mengendap dalam jumlah besar biasanya mengindikasikan dua hal. Pertama, adanya perencanaan kegiatan yang belum matang atau realisasi program yang terlambat. Kedua, adanya kehati-hatian berlebihan dari eksekutif akibat faktor eksternal seperti situasi politik, kebijakan pusat, atau ketakutan terhadap pemeriksaan hukum. Namun apapun alasannya, DPRD menegaskan bahwa dana publik tidak boleh dibiarkan “tidur” terlalu lama di bank karena akan menghambat pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Suripno juga mengingatkan agar pemerintah provinsi segera menyampaikan laporan lengkap mengenai jenis rekening yang digunakan, jangka waktu penyimpanan, serta besaran bunga yang diperoleh dari simpanan itu. Ia menegaskan bahwa DPRD tidak menolak kebijakan penyimpanan dana selama memiliki dasar hukum dan alasan yang jelas, tetapi keterbukaan informasi adalah hal yang mutlak. “Kami tidak ingin ada praktik keuangan yang tidak transparan. Jika dana itu memang disimpan untuk tujuan tertentu, tunjukkan bukti dan rencana penggunaannya,” tegasnya.
Permasalahan dana mengendap ini juga tidak hanya terjadi di tingkat provinsi. Beberapa kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan diketahui menghadapi kondisi serupa. Di Kota Banjarbaru, misalnya, dana simpanan pemerintah daerah di perbankan mencapai lebih dari Rp5 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa praktik penahanan dana publik di perbankan bukan kasus tunggal, melainkan masalah yang sistemik di beberapa daerah. Pemerintah daerah bersama bank penampung dana harus memberikan penjelasan terbuka agar tidak menimbulkan spekulasi negatif di masyarakat.
Dari sisi kebijakan, pemerintah daerah seharusnya memprioritaskan penggunaan dana untuk program-program strategis yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat. Pembangunan infrastruktur pedesaan, perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat seharusnya menjadi fokus utama. Bila dana tersebut justru “parkir” di bank tanpa kepastian waktu penggunaan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan menurun.
Bila pemerintah beralasan bahwa dana disimpan sementara untuk menjaga stabilitas keuangan atau menunggu proses administrasi, maka langkah tersebut tetap harus disertai transparansi penuh. Setiap kebijakan fiskal harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan secara berkala agar masyarakat tahu bagaimana uang mereka dikelola. Selain itu, DPRD juga mendorong agar sistem pelaporan digital mengenai saldo kas daerah diperkuat sehingga publik dapat memantau kondisi keuangan daerah secara real time.
Kondisi seperti ini bisa menjadi momentum penting bagi Kalimantan Selatan untuk memperbaiki tata kelola keuangannya. DPRD dan pemerintah provinsi perlu bekerja sama memastikan bahwa setiap rupiah anggaran digunakan secara efektif, tepat waktu, dan tepat sasaran. Tidak ada alasan bagi dana publik sebesar Rp5 triliun untuk dibiarkan mengendap tanpa kepastian penggunaan yang jelas.
Selain pengawasan dari DPRD, lembaga audit seperti BPK dan Inspektorat juga diharapkan turun tangan untuk menelusuri lebih jauh sumber dan status dana tersebut. Audit menyeluruh perlu dilakukan untuk memastikan tidak ada praktik penyimpangan atau kebijakan yang merugikan daerah. Bila ditemukan adanya unsur kelalaian atau penyalahgunaan, tindakan tegas harus diambil agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.



