Desakan Menggema, KOSMAK Tekan Kejagung Usut Mafia Tambang Ilegal yang Gerogoti Kalimantan Timur
![]() |
| Ilustrasi AI |
Kelompok sipil yang mengatas-namakan KOSMAK (Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi) mengajukan desakan keras agar Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) segera menangkap dan memproses hukum para pelaku penambangan tanpa izin atau pertambangan ilegal di wilayah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Koordinator KOSMAK, Ronald Loblobly, menyebut bahwa situasi di Kaltim mengenai kegiatan ilegal tersebut semakin memprihatinkan dan memerlukan tindakan cepat dan tegas.
Dalam keterangan tertulis yang diterima media, Ronald menyoroti bahwa kasus penambangan yang tidak memiliki izin resmi (PETI) di Kaltim tidak hanya merugikan negara dari segi fiskal, tetapi juga merusak lingkungan, memunculkan konflik sosial, dan menghambat pembangunan berkelanjutan di kawasan yang sedang memperoleh perhatian besar sebagai penyangga ibu kota negara baru. Ia menambahkan bahwa sejak April 2024 sudah ada Surat Perintah Penyelidikan dari Kejagung, yakni atas dugaan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam tata kelola pertambangan batubara di Kaltim.
KOSMAK mengungkapkan data hasil investigasinya bahwa selama periode Maret hingga September 2025, dua nama yang disebut sebagai “pemain utama” berhasil melakukan penjualan batubara ilegal sebesar sekitar 750.000 metrik ton, melalui sebelas kapal (mother vessel) yang diantaranya bernama MV Asp Brave, MV Jin Hau Zheng, MV Santarli, dan MV Fortune. Batubara itu diduga berasal dari kegiatan penambangan ilegal yang menggunakan dokumen pengangkutan dan pemuatan yang disamarkan agar seolah-olah berasal dari usaha yang memiliki izin resmi. Modus ini memungkinkan komoditas tersebut memasuki jalur ekspor atau perdagangan besar tanpa tahapan reguler.
Modus yang dipaparkan oleh KOSMAK juga menunjukkan bahwa sejumlah perusahaan maupun koperasi kecil digunakan sebagai “front” untuk kegiatan tersebut, antara lain KSU Putra Mahakam Mandiri, PT Indowana, CV Dimori Jaya, CV Gudang Hitam Prima, dan PT Mutiara Merdeka Jaya. Kegiatan ini diduga melibatkan jaringan besar yang memanfaatkan kelemahan pengawasan dan dugaan kolusi antara pelaku bisnis, broker, aparat daerah, bahkan oknum intelijen—sebagaimana diklaim oleh KOSMAK. Karena itu, KOSMAK tidak hanya meminta penangkapan “orang kecil”, tetapi juga menuntut agar aparat hukum menindak semua pihak yang berada di belakang rantai bisnis ilegal ini.
Pemanfaatan jalur ekspor batubara ilegal di Kaltim juga menjadi sorotan utama. Pelabuhan dan kapal muatan besar disebut sebagai bagian dari rantai distribusi ilegal batubara yang berasal dari Kaltim. Menurut KOSMAK, pengangkutan dalam jumlah besar melalui kapal kontainer menunjukkan bahwa kegiatan ini telah berjalan secara sistematis dan berskala besar, bukan sekadar aktivitas tambang skala mikro. Hal ini memperkuat argumen bahwa kerugian negara dan dampak lingkungan dari aktivitas ini jauh lebih besar dari yang selama ini terungkap.
Menanggapi desakan tersebut, Kejagung melalui bagian Jampidsus memang telah mencatat adanya penyelidikan atas kasus pertambangan batubara di Kaltim sejak April 2024. Namun menurut KOSMAK, progres penanganannya belum memadai. Ronald menyebut bahwa ada dugaan intervensi dari pihak-pihak berkepentingan serta lambannya proses penyidikan yang membuat penanganan kasus menjadi seret. Ia pun meminta Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan perhatian khusus dan memerintahkan evaluasi terhadap kinerja Jampidsus di bawah pimpinan Febrie Adriansyah.
Dampak dari pertambangan ilegal ini sangat nyata bagi masyarakat Kaltim dan lingkungan. Aktivitas penambangan di kawasan yang belum memiliki izin atau berada di kawasan lindung telah menyebabkan kerusakan tanah, sungai berubah jalur, kualitas air menurun, dan flora-fauna terganggu. Pemerintah daerah dan masyarakat lokal di berbagai kabupaten melaporkan konflik sosial karena pengurangan area kerja pertanian atau kegiatan tradisional masyarakat yang terdampak. Belum lagi kerugian fiskal negara yang tentu tidak sedikit, mengingat batubara yang diekspor atau dijual tanpa izin berarti potensi pendapatan daerah maupun pusat yang hilang.
Lebih jauh, keberadaan glorifikasi aktivitas industri ekstraktif tanpa kontrol yang kuat memunculkan persoalan tata kelola dan keadilan pembangunan. Warga yang tinggal di kawasan penambangan sering berkata bahwa mereka tidak mendapat manfaat yang adil—sebagian besar keuntungan mengalir ke pelaku besar dan jaringan ilegal sementara masyarakat lokal menghadapi kerusakan lingkungan serta kehilangan ruang hidup. Desakan KOSMAK lahir dari spirit agar keadilan di sektor pertambangan ditegakkan, bukan hanya dari sisi penegakan hukum tetapi juga pemulihan bagi masyarakat yang terdampak.
Dalam kerangka nasional, Kaltim adalah provinsi yang sangat strategis bagi pengembangan nasional dan pembangunan skala besar, termasuk sebagai penyangga untuk ibu kota negara baru. Karena itu, kerentanan terhadap praktik ilegal seperti pertambangan tanpa izin harus menjadi perhatian serius bukan hanya daerah, tetapi juga pemerintah pusat. Tidak terkecuali, KOSMAK melihat bahwa jika praktik tersebut tidak ditindak tegas maka akan menjadi sinyal buruk bagi iklim investasi legal, upaya penegakan hukum, dan komitmen pembangunan berkelanjutan.
Untuk menindak lanjuti desakan ini, KOSMAK merekomendasikan beberapa langkah konkret: pertama, Kejagung melalui Jampidsus segera menetapkan tersangka utama dan melakukan penahanan preventif agar tidak terjadi penghilangan barang bukti atau alih fungsi aset. Kedua, penyitaan kapal dan kontainer yang digunakan dalam rantai distribusi batubara ilegal harus dilakukan agar memberi efek jera. Ketiga, dilakukan audit forensik terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga menjadi front dalam kegiatan ilegal, termasuk pemblokiran rekening dan pembekuan izin usaha. Keempat, dilakukan pemulihan lingkungan dan kewajiban pelaku untuk mereklamasi kawasan yang rusak, serta restitusi bagi masyarakat terdampak. Kelima, transparansi dalam proses hukum agar publik bisa memantau jika terjadi perlambatan atau kegagalan penegakan.
Dalam banyak diskusi internal aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, disebut bahwa sinergi antarlembaga masih menjadi hambatan. Peraturan yang tumpang-tindih, kewenangan yang belum jelas antar kementerian/lembaga, serta kapasitas aparat penegak di daerah pedalaman menjadi tantangan. KOSMAK pun menyoroti bahwa untuk mengatasi hal ini diperlukan penguatan koordinasi antar lembaga nasional dan daerah, pelatihan aparat di wilayah terpencil, serta laporan progres publik secara berkala agar seluruh Indonesia bisa ikut memantau.
Desakan KOSMAK datang pada momen yang kritis. Dengan pembangunan Infrastruktur besar di Kaltim—termasuk pembangunan ibu kota negara—masalah pertambangan ilegal tidak boleh dibiarkan sebagai lubang besar yang merusak citra pembangunan bersih dan berkeadilan. Masyarakat berharap agar janji pembangunan yang melibatkan warga lokal dan memperhatikan lingkungan benar-benar terwujud. Penegakan hukum yang lemah hanya akan memperkuat persepsi bahwa aturan bisa dinegosiasikan, sehingga pemulihan lingkungan, keadilan ekonomi, dan tata kelola yang baik akan menjadi sulit dicapai.



