BRIN dan Otorita IKN Kolaborasi Kaji Toponimi dan Deteksi Konflik Sosial untuk Wujudkan Kota Hutan Cerdas
![]() |
Ilustrasi AI |
IKN - Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) terus memperkuat
fondasi ilmiah pembangunan ibu kota baru melalui kerja sama strategis dengan
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pada Rabu, 15 Oktober 2025, pertemuan
di Kantor Balai Kota Otorita IKN di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP)
menandai langkah penting dalam kajian penamaan rupa bumi (toponimi) dan
pengembangan sistem deteksi dini konflik sosial. Kolaborasi ini bertujuan
memastikan IKN tidak hanya jadi pusat pemerintahan, tapi juga kota cerdas yang
harmonis dan berkelanjutan. Artikel ini mengulas detail kerja sama, fokus
riset, dan dampaknya bagi visi smart forest city, berdasarkan laporan
Kompas.com.
Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menegaskan
pentingnya toponimi sebagai langkah strategis untuk membangun identitas kota.
"Toponimi ini akan sangat diperlukan. Tidak hanya nama jalan saja, tetapi
setiap kawasan IKN harus kita beri identitas," ujarnya di sela pertemuan.
Kajian ini mencakup penamaan jalan, embung, gedung pemerintahan, hingga elemen
geografis lain, dengan target penyelesaian sebelum akhir 2027, menjelang peran
IKN sebagai ibu kota politik pada 2028.
Kepala Pusat Riset Geoinformatika BRIN, Rokhis Khomarudin,
menjelaskan bahwa toponimi tidak sekadar urusan geografis. Proses ini memadukan
dimensi sosial, budaya, dan futuristik, dengan melibatkan masukan warga lokal
dan pendatang. Riset dilakukan dalam dua tahap: pengumpulan data lapangan
mendalam dan penyusunan peta toponimi akurat. Pendekatan ini memastikan
nama-nama di IKN mencerminkan nilai budaya Kalimantan Timur sekaligus visi
modern kota cerdas.
Selain toponimi, kerja sama ini melahirkan rencana
pengembangan Social Early Warning System (SEWS). Sistem ini dirancang untuk
mendeteksi dan mengantisipasi potensi konflik sosial di IKN, mengingat kota ini
akan menjadi melting pot multikultural dengan pendatang dari berbagai daerah.
SEWS akan memanfaatkan data sosial dan teknologi analitik untuk memprediksi
ketegangan, seperti konflik lahan atau ketimpangan ekonomi, sehingga harmoni
sosial tetap terjaga.
Rombongan tujuh peneliti BRIN dari berbagai disiplin juga
melakukan kunjungan lapangan ke infrastruktur kunci IKN, termasuk 54 embung,
Bendungan Sepaku Semoi, dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sanggai. Kunjungan ini
krusial untuk memverifikasi data, mengingat riset sebelumnya—terutama tentang
sumber daya air—masih bergantung pada citra satelit. "Kualitas riset
bergantung pada data. Kalau datanya buruk, hasilnya juga buruk," kata
Rokhis, menekankan prinsip "Garbage In, Garbage Out." Observasi
langsung memastikan data akurat, mendukung pengambilan kebijakan berbasis
fakta.
BRIN mengapresiasi kesiapan infrastruktur air IKN, khususnya
54 embung yang berfungsi sebagai penampung air baku sekaligus pendukung ekonomi
hijau. Di sekitar DAS Sanggai, misalnya, tanaman kopi liberika menjadi contoh
nyata bagaimana pengelolaan air terintegrasi dengan potensi ekonomi lokal.
Embung-embung ini tidak hanya menjamin pasokan air untuk warga, tapi juga
membuka peluang usaha seperti pertanian dan agrowisata, memperkuat visi IKN
sebagai kota berkelanjutan.
Pertemuan ini menandai awal sinergi jangka panjang antara
Otorita IKN dan BRIN. Dengan pendekatan berbasis riset, IKN ingin memastikan
setiap langkah pembangunan didukung data ilmiah yang kuat. Toponimi akan
memberikan identitas unik, sementara SEWS menjaga stabilitas sosial di tengah
dinamika multikultural. Kolaborasi ini juga melibatkan warga lokal melalui
konsultasi publik, memastikan pembangunan inklusif dan selaras dengan budaya
Kalimantan.
Tantangan ke depan termasuk koordinasi data lintas instansi
dan potensi resistensi sosial akibat perubahan demografi cepat di IKN. Namun,
dengan dukungan teknologi BRIN dan komitmen Otorita, solusi seperti SEWS bisa
jadi model nasional. Data awal BRIN menunjukkan bahwa 30% potensi konflik
sosial di kawasan urban baru berasal dari miskomunikasi budaya, yang bisa
dicegah dengan sistem peringatan dini.
Secara ekonomi, pendekatan ini berpotensi menarik investor
yang menghargai stabilitas sosial dan tata kelola berbasis sains. Misalnya,
pengelolaan DAS Sanggai bisa menjadi daya tarik agribisnis, dengan proyeksi
pendapatan lokal Rp50 miliar per tahun dari kopi liberika. Sementara itu,
toponimi yang kaya nilai budaya dapat memperkuat branding IKN sebagai destinasi
global.
Kesimpulannya, kolaborasi Otorita IKN dan BRIN melalui
kajian toponimi dan SEWS menegaskan komitmen membangun ibu kota berbasis ilmu
pengetahuan. Penamaan rupa bumi memberi identitas kuat, sementara sistem
peringatan dini menjaga harmoni sosial. Dengan infrastruktur air yang solid dan
pendekatan inklusif, IKN berpeluang jadi kota cerdas yang tidak hanya modern,
tapi juga selaras dengan budaya dan lingkungan. Sinergi ini harus terus dijaga
agar Nusantara benar-benar menjadi peradaban baru Indonesia yang hijau dan
harmonis.