Tiga Hari Pemadaman Bergilir Lumpuhkan Malinau: Hotel, UMKM, dan Warga Terjepit Krisis Listrik
![]() |
Ilustrasi AI |
Malinau, Kalimantan Utara — Selama tiga hari berturut-turut,
Kabupaten Malinau dilanda pemadaman listrik bergilir yang memukul berbagai
sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari hotel, penginapan, hingga usaha mikro
kecil, semuanya terdampak oleh krisis pasokan listrik yang belum menunjukkan
tanda-tanda perbaikan. Pemadaman yang berlangsung sejak awal pekan ini telah
menimbulkan keresahan luas, terutama di kalangan pelaku usaha dan warga yang
bergantung pada listrik untuk aktivitas harian.
Pantauan TribunKaltara menunjukkan bahwa pemadaman dilakukan
dalam empat sesi setiap harinya: pukul 12.00–15.00 WITA, 15.00–18.00 WITA,
18.00–21.00 WITA, dan 21.00–24.00 WITA. Wilayah terdampak meliputi sebagian
Kecamatan Malinau Utara, Malinau Kota, hingga Malinau Barat. Pola bergilir ini,
meski terstruktur, tetap menimbulkan gangguan serius karena durasi dan cakupan
wilayahnya yang luas.
Sektor akomodasi menjadi salah satu yang paling terpukul.
Hotel-hotel yang baru beroperasi, seperti Hotel Aco Borneo, menghadapi
tantangan berat dalam menjaga kenyamanan tamu. Yulius Lalong, pengelola hotel
tersebut, menyampaikan bahwa pemadaman listrik telah memengaruhi citra usaha
yang baru dirintis. “Listrik dan air bersih adalah dua hal paling mendasar.
Kami berusaha meninggalkan kesan baik kepada pelanggan, tapi pemadaman ini
sangat berdampak,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).
Menurut Yulius, hotel skala menengah hingga besar memang
memiliki genset sebagai sumber listrik cadangan. Namun, biaya operasional dari
penggunaan genset sangat tinggi, terutama jika digunakan berjam-jam setiap
hari. “Penginapan yang tidak punya genset berada dalam posisi paling sulit.
Komplain dari tamu tidak bisa dihindari karena fasilitas kamar tidak berfungsi
maksimal,” tambahnya.
Kekhawatiran juga muncul menjelang pelaksanaan Festival
Irau, sebuah agenda budaya tahunan yang diperkirakan akan menarik ribuan
pengunjung ke Malinau. Yulius berharap agar PLN segera menyelesaikan masalah
ini sebelum festival berlangsung. “Kalau listrik masih padam saat Irau, kesan
pengunjung terhadap daerah kita bisa sangat buruk,” tegasnya.
Di luar sektor perhotelan, pelaku usaha kecil juga merasakan
dampak yang signifikan. Pedagang es dan makanan beku mengaku mengalami kerugian
karena produk mereka tidak bertahan lama tanpa pendingin. Beberapa pelaku usaha
laundry bahkan terpaksa menghentikan operasional karena mesin cuci dan setrika
tidak bisa digunakan. “Pekerjaan menumpuk, pelanggan komplain, tapi kami tidak
bisa berbuat banyak,” keluh seorang pemilik laundry di Malinau Kota.
Kondisi ini menunjukkan betapa krusialnya pasokan listrik
bagi roda ekonomi lokal. Usaha kecil yang tidak memiliki cadangan energi berada
dalam posisi paling rentan. Mereka tidak hanya kehilangan pendapatan, tetapi
juga kepercayaan pelanggan yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Di sisi lain, masyarakat umum juga terdampak. Aktivitas
rumah tangga terganggu, terutama pada malam hari ketika pemadaman berlangsung
hingga tengah malam. Anak-anak kesulitan belajar, dan warga tidak bisa
menggunakan alat elektronik untuk kebutuhan dasar. “Kami hanya bisa menyalakan
lilin atau lampu minyak. Tapi itu tidak cukup untuk anak-anak belajar,” ujar
Siti Rahma, warga Malinau Barat.
PLN belum memberikan penjelasan rinci mengenai penyebab
pemadaman bergilir ini. Namun, sumber internal menyebutkan bahwa gangguan
pasokan dari pembangkit utama menjadi pemicu utama. Beberapa gardu induk
dilaporkan mengalami gangguan teknis, sementara beban puncak yang meningkat
membuat sistem distribusi tidak mampu menanggung permintaan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai ketahanan
infrastruktur energi di daerah perbatasan seperti Malinau. Sebagai kabupaten
yang sedang berkembang, kebutuhan listrik terus meningkat seiring pertumbuhan
ekonomi dan populasi. Namun, kapasitas pembangkit dan distribusi tampaknya
belum mampu mengimbangi lonjakan permintaan.
Pakar energi dari Universitas Borneo Tarakan, Dr. Hendrik
Sitorus, menilai bahwa pemadaman bergilir di Malinau adalah cerminan dari
lemahnya perencanaan energi daerah. “Krisis listrik seperti ini seharusnya bisa
diantisipasi dengan sistem cadangan dan diversifikasi sumber energi.
Ketergantungan pada satu pembangkit utama sangat berisiko,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya investasi dalam energi
terbarukan dan sistem penyimpanan daya. Menurutnya, daerah seperti Malinau
memiliki potensi besar untuk mengembangkan pembangkit mikrohidro dan tenaga
surya, yang bisa menjadi solusi jangka panjang. “Tapi itu butuh komitmen
politik dan anggaran yang memadai,” tambahnya.
Sementara itu, pemerintah daerah belum memberikan pernyataan
resmi terkait langkah penanganan krisis listrik ini. Beberapa pejabat
menyebutkan bahwa koordinasi dengan PLN sedang dilakukan, namun belum ada
kepastian kapan pasokan listrik akan kembali normal. Warga dan pelaku usaha
berharap agar solusi segera ditemukan, mengingat dampak ekonomi dan sosial yang
semakin meluas.
Dalam jangka pendek, masyarakat Malinau terpaksa beradaptasi
dengan kondisi yang serba terbatas. Namun, dalam jangka panjang, krisis ini
harus menjadi momentum untuk membenahi sistem energi daerah. Ketahanan listrik
bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal keadilan dan keberlanjutan
pembangunan.
Pemadaman listrik bergilir selama tiga hari di Malinau telah
membuka mata banyak pihak bahwa infrastruktur dasar seperti listrik tidak bisa
dianggap remeh. Ketika pasokan terganggu, seluruh sendi kehidupan ikut
terguncang. Dari hotel berbintang hingga pedagang kaki lima, semuanya merasakan
dampaknya. Kini, publik menanti langkah konkret dari PLN dan pemerintah daerah
untuk mengakhiri krisis ini dan mencegahnya terulang di masa depan.