Jamur Keluntan dan Musibah di Sekadau: Tragedi di Tengah Hutan Kalimantan
Di tengah belantara Kalimantan Barat yang hijau dan lebat,
sebuah tragedi mengguncang Desa Sunsong, Kecamatan Sekadau Hulu. Pada awal
September 2025, sebuah keluarga mengalami musibah setelah menyantap jamur hutan
yang diduga beracun. Peristiwa ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan
cerminan dari kompleksitas hubungan antara manusia dan alam, serta tantangan
yang dihadapi masyarakat pedalaman dalam mengakses informasi dan layanan
kesehatan.
FL, seorang ibu berusia 44 tahun, dan anaknya FA yang baru
berusia dua tahun, meninggal dunia setelah mengonsumsi jamur yang mereka
temukan di hutan sekitar desa. Bersama mereka, tiga anggota keluarga lainnya—M
(33), YT (1), dan SN (25)—juga ikut menyantap jamur tersebut. Ketiganya kini
dirawat intensif di rumah sakit setelah mengalami gejala muntah dan pusing
hebat.
Kejadian bermula pada Kamis, 4 September. Sejumlah warga
Desa Sunsong melakukan kegiatan rutin mencari jamur hutan, sebuah tradisi yang
telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal. Jenis jamur yang
dikumpulkan dikenal dengan nama kesi atau keluntan, yang dalam beberapa kasus
memang dapat dikonsumsi, namun memiliki kemiripan dengan jenis beracun. Jamur
tersebut kemudian dimasak dan disantap bersama minuman tuak, sebuah kombinasi
yang lazim dalam tradisi kuliner lokal.
Namun, tak lama setelah makan malam itu, FA mulai
menunjukkan gejala serius. Dalam perjalanan menuju klinik terdekat, nyawanya
tak tertolong. FL, sang ibu, sempat memilih untuk berobat secara mandiri di
rumah, namun kondisinya memburuk dengan cepat. Ia menghembuskan napas terakhir
keesokan malamnya. Kedua jenazah dimakamkan berdampingan di pemakaman Katolik
desa, meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan masyarakat sekitar.
Kapolsek Sekadau Hulu, IPTU Agustam, dalam pernyataan
resminya menyebutkan bahwa tiga korban lainnya masih menjalani perawatan medis.
Ia juga mengungkapkan bahwa keluarga korban menolak dilakukan otopsi dan
menerima kejadian ini sebagai musibah. Sisa jamur yang dimasak telah dibuang,
sehingga polisi tidak berhasil mengamankan barang bukti. Meski demikian, pihak
kepolisian berencana mengambil sampel jamur dari hutan sekitar untuk dianalisis
lebih lanjut.
Tragedi ini menyentuh banyak lapisan masyarakat. Di satu
sisi, ia memperlihatkan betapa rentannya masyarakat terhadap risiko konsumsi
bahan pangan liar yang belum teridentifikasi secara ilmiah. Di sisi lain, ia
juga menunjukkan keterbatasan akses terhadap informasi dan layanan kesehatan di
wilayah pedalaman. Ketika pilihan antara pengobatan mandiri dan fasilitas medis
menjadi dilema, nyawa bisa menjadi taruhannya.
Jamur hutan memang telah lama menjadi bagian dari tradisi
kuliner di banyak daerah di Indonesia. Di Kalimantan, jamur keluntan dikenal
sebagai bahan pangan musiman yang tumbuh liar di sela-sela pepohonan. Namun,
tidak semua jenis jamur aman dikonsumsi. Beberapa di antaranya mengandung racun
yang dapat menyerang sistem saraf, menyebabkan gangguan pencernaan, bahkan
kematian. Sayangnya, pengetahuan lokal tentang identifikasi jamur sering kali
bersifat turun-temurun dan tidak terdokumentasi secara ilmiah.
Dalam kasus di Sekadau, konsumsi jamur yang belum
teridentifikasi dengan jelas, ditambah dengan minuman fermentasi seperti tuak,
bisa memperparah efek toksik yang ditimbulkan. Kombinasi ini menjadi faktor
risiko yang tidak disadari oleh masyarakat. IPTU Agustam menekankan pentingnya
edukasi kepada warga agar tidak sembarangan mengonsumsi jamur yang belum
dipastikan aman. “Ini menjadi pelajaran agar masyarakat lebih berhati-hati,”
ujarnya tegas.
Tragedi ini juga mengundang perhatian dari berbagai pihak,
termasuk lembaga kesehatan dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di
bidang edukasi pangan. Mereka menyoroti perlunya intervensi pemerintah dalam
bentuk pelatihan identifikasi jamur, penyediaan informasi visual yang mudah
diakses, serta peningkatan layanan kesehatan di daerah terpencil. Edukasi
berbasis komunitas dinilai sebagai pendekatan yang paling efektif, mengingat
keterikatan masyarakat dengan tradisi dan alam sekitar.
Di tengah duka, masyarakat Desa Sunsong menunjukkan
solidaritas yang kuat. Proses pemakaman dilakukan dengan penuh penghormatan,
dan warga bergotong royong membantu keluarga korban. Namun, trauma yang
ditinggalkan tidak mudah dihapus. Anak-anak yang selamat kini harus menjalani
pemulihan fisik dan psikologis, sementara keluarga yang ditinggalkan menghadapi
kenyataan pahit kehilangan dua anggota tercinta.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa alam, meski menyimpan
sumber daya yang melimpah, juga memiliki sisi gelap yang perlu diwaspadai.
Pengetahuan lokal harus diperkaya dengan pendekatan ilmiah agar tradisi tidak
menjadi jebakan. Pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bersinergi
untuk menciptakan sistem perlindungan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Lebih jauh, tragedi ini membuka ruang diskusi tentang
bagaimana negara memandang dan merespons kebutuhan masyarakat adat dan
pedalaman. Apakah edukasi pangan dan kesehatan telah menjangkau mereka secara
adil? Apakah sistem peringatan dini terhadap bahan beracun di alam telah
tersedia dan mudah diakses? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk
dijawab, agar kejadian serupa tidak terulang.
Di balik tragedi ini, tersimpan pelajaran penting tentang
kehati-hatian, edukasi, dan solidaritas. Desa Sunsong kini menjadi simbol dari
pentingnya keseimbangan antara tradisi dan ilmu pengetahuan. Semoga kejadian
ini menjadi titik balik bagi upaya peningkatan literasi pangan dan kesehatan di
seluruh pelosok negeri.
Dengan mengenang FL dan FA, kita tidak hanya berduka, tetapi
juga berkomitmen untuk membangun sistem yang lebih aman dan berdaya bagi
masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Karena di balik setiap jamur
yang tumbuh di hutan, tersimpan potensi kehidupan—atau kematian—yang harus
dikenali dengan bijak.