Anggaran IKN 2026 Baru Rp6,2 Triliun: Otorita IKN Akui Masih Jauh dari Kebutuhan
![]() |
Ilustrasi AI |
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) terus bergulir sebagai proyek strategis nasional yang menjadi simbol transformasi tata kelola pemerintahan dan peradaban Indonesia di masa depan. Namun, di balik ambisi besar tersebut, tantangan anggaran masih menjadi sorotan utama. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI pada Kamis, 4 September 2025, Sekretaris Otorita IKN (OIKN), Bimo Adi Nursanthyasto, mengungkapkan bahwa pagu anggaran untuk tahun 2026 hanya sebesar Rp6,2 triliun. Jumlah ini dinilai jauh dari kebutuhan riil yang mencapai Rp21,18 triliun.
Bimo menjelaskan bahwa dari total kebutuhan anggaran
tersebut, terdapat selisih atau gap sebesar Rp14,92 triliun yang belum
teralokasi. Kekurangan ini berpotensi menghambat kelangsungan sejumlah program
pembangunan yang telah dirancang untuk memperkuat infrastruktur dan ekosistem
kota baru tersebut. “Kebutuhan anggaran untuk mendukung keberlanjutan program
pembangunan IKN tahun 2026 adalah sebesar Rp21,18 triliun, sehingga dari
anggaran yang dialokasikan sementara dalam SBPA tahun 2026 sebesar Rp6,2 triliun
masih terdapat gap sebesar Rp14,92 triliun,” ujar Bimo di hadapan anggota
dewan.
Dari pagu anggaran yang tersedia, sebagian besar
dialokasikan untuk program pembangunan kawasan strategis, yakni sebesar Rp5,6
triliun atau sekitar 90% dari total anggaran. Sisanya, sebesar Rp600 miliar,
digunakan untuk program dukungan manajemen atau yang dikenal dengan istilah
“Duman”. Alokasi ini mencerminkan prioritas OIKN dalam mempercepat pembangunan
fisik dan infrastruktur inti di kawasan IKN, meskipun aspek manajerial dan
kelembagaan juga tetap mendapat perhatian.
Lebih lanjut, Bimo memaparkan bahwa anggaran tersebut akan
didistribusikan ke dalam 12 kegiatan, yang terdiri dari 7 kegiatan dalam
program pengembangan kawasan strategis dan 5 kegiatan dalam program dukungan
manajemen. Dari seluruh alokasi tersebut, kegiatan terbesar adalah pembangunan
dan pengembangan sarana serta prasarana, dengan nilai mencapai Rp5,2 triliun.
Dana ini akan digunakan untuk membangun kompleks perkantoran, infrastruktur
jalan dan moda transportasi, rumah susun negara, jaringan perpipaan, dan
fasilitas pendukung lainnya.
Kondisi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan
publik dan pemangku kepentingan mengenai strategi pembiayaan jangka panjang
IKN. Dengan gap anggaran yang cukup besar, OIKN dihadapkan pada tantangan untuk
mencari sumber pendanaan alternatif, baik melalui skema kerja sama pemerintah
dan badan usaha (KPBU), investasi swasta, maupun dukungan dari lembaga keuangan
internasional. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran
menjadi krusial agar kepercayaan publik terhadap proyek ini tetap terjaga.
Di sisi lain, keterbatasan anggaran juga berimplikasi pada
prioritisasi program. OIKN harus mampu menentukan proyek-proyek mana yang
paling mendesak dan memiliki dampak strategis terhadap keberlanjutan
pembangunan IKN. Pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan
perumahan bagi aparatur sipil negara (ASN) yang akan pindah ke IKN menjadi
prioritas utama. Namun, aspek sosial, budaya, dan lingkungan juga tidak boleh
diabaikan dalam proses perencanaan dan eksekusi.
Dalam konteks politik anggaran, pernyataan Bimo di forum DPR
menjadi sinyal penting bagi pemerintah pusat dan legislatif untuk meninjau
kembali alokasi dana pembangunan IKN. Dengan kebutuhan yang terus meningkat,
pembahasan anggaran di tahun-tahun mendatang dipastikan akan semakin kompleks
dan membutuhkan pendekatan lintas sektor. Keterlibatan kementerian teknis,
lembaga keuangan, dan mitra pembangunan harus dioptimalkan agar pembangunan IKN
tidak terhambat oleh kendala fiskal.
Selain itu, tantangan komunikasi publik juga menjadi aspek
yang perlu diperhatikan. Di tengah sorotan terhadap efisiensi dan urgensi
pembangunan IKN, OIKN perlu menyampaikan informasi yang jelas dan terbuka
mengenai penggunaan anggaran, capaian pembangunan, serta strategi pembiayaan ke
depan. Narasi pembangunan yang inklusif dan berbasis data akan membantu
membangun dukungan publik dan memperkuat legitimasi proyek ini sebagai bagian
dari visi besar Indonesia Emas 2045.
Dengan segala kompleksitasnya, pembangunan IKN bukan hanya
soal membangun gedung dan jalan, tetapi juga tentang membangun kepercayaan,
kolaborasi, dan visi bersama. Gap anggaran yang diungkapkan oleh OIKN menjadi
pengingat bahwa ambisi besar membutuhkan perencanaan yang matang dan dukungan
yang luas. Jika tantangan ini dapat diatasi dengan strategi yang tepat, maka
IKN akan benar-benar menjadi simbol kemajuan dan kebangkitan Indonesia di abad
ke-21. Jika tidak, maka risiko stagnasi dan ketimpangan pembangunan akan
menjadi bayang-bayang yang terus menghantui proyek ini.
Ke depan, publik akan menantikan langkah konkret dari
pemerintah dan OIKN dalam menjawab tantangan anggaran ini. Apakah akan ada
revisi alokasi, penambahan sumber pendanaan, atau penyesuaian target
pembangunan? Semua pertanyaan ini akan menentukan arah dan keberhasilan IKN
sebagai ibu kota masa depan yang diimpikan. Yang jelas, transparansi,
efisiensi, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi utama dalam setiap
tahap pembangunan. Karena pada akhirnya, IKN bukan hanya milik pemerintah,
tetapi milik seluruh rakyat Indonesia.