Luka yang Tak Terlihat: Tragedi Penusukan Santri di HST dan Bayang-Bayang Bullying di Pesantren
Barabai, Kalimantan Selatan — 22 Agustus 2025. Di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Pandawan, Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, suasana dini hari yang biasanya tenang berubah menjadi mencekam. Seorang santri berinisial MF (21) ditemukan bersimbah darah, ditikam oleh rekan sesama santri, MN (15), saat tengah tertidur. Peristiwa ini bukan hanya mengguncang masyarakat, tapi juga membuka luka yang selama ini tersembunyi: praktik perundungan yang terbungkam di lingkungan pesantren.
Kejadian berlangsung sekitar pukul 03.00 WITA, Rabu (20/8/2025). Menurut kesaksian penjaga pondok, MF sempat berlari keluar kamar sambil berteriak takbir dan memegang Al-Qur’an sebelum akhirnya roboh di teras musala. “Dia masih sempat berteriak dan berlari, tapi luka tusuknya terlalu parah,” ujar Nashir, penjaga malam yang menyaksikan langsung kejadian tersebut.
Yang membuat peristiwa ini semakin mengejutkan adalah
kenyataan bahwa sehari sebelumnya, MF dan MN terlihat akrab. Mereka bahkan ikut
lomba 17 Agustus bersama, tertawa dan bersorak dalam suasana kemerdekaan. Tidak
ada tanda-tanda konflik atau perselisihan. Namun, di balik kebersamaan itu,
ternyata tersimpan rasa sakit yang tak pernah terucap.
Motif: Sakit Hati karena Bully
Kepolisian Hulu Sungai Tengah mengungkap bahwa motif
sementara dari penusukan ini adalah rasa sakit hati karena pelaku merasa sering
dirundung oleh korban. “Motif sementara yang kami himpun dari hasil
pemeriksaan, pelaku merasa sakit hati karena sering dibully,” ujar Kasi Humas
Polres HST, Ipda Rusman Taupik.
MN, yang masih berusia 15 tahun, langsung diamankan dan
dibawa ke Mapolres HST tak lama setelah kejadian. Meski tergolong anak di bawah
umur, proses hukum tetap berjalan sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA). “Proses hukum tetap berlanjut dengan mekanisme peradilan anak,”
tegas Taupik.
Di Balik Tembok Pesantren: Bullying yang Terbungkam
Tragedi ini membuka tabir kelam tentang praktik perundungan
di lingkungan pesantren. Banyak santri yang mengalami tekanan psikologis, namun
memilih diam karena takut dianggap lemah atau tidak taat. Dalam budaya
pesantren yang menjunjung tinggi hierarki dan kedisiplinan, suara korban sering
kali tenggelam.
“Bullying di pesantren itu nyata, tapi jarang dibicarakan.
Ada yang dibentak, dihina, bahkan dipukul oleh senior. Tapi semua dianggap
bagian dari ‘pendewasaan’,” ujar F, mantan santri yang kini menjadi aktivis
perlindungan anak.
MN, pelaku penusukan, diduga mengalami tekanan mental akibat
perlakuan yang ia anggap sebagai perundungan. Dalam pemeriksaan awal, ia
mengaku sering diejek dan dipermalukan oleh MF. Rasa sakit hati itu akhirnya
meledak dalam bentuk kekerasan yang fatal.
Reaksi Masyarakat: Antara Duka dan Introspeksi
Warga HST terkejut dan berduka atas peristiwa ini. Banyak
yang tidak menyangka bahwa lingkungan pesantren yang seharusnya menjadi tempat
pembinaan akhlak justru menjadi lokasi tragedi berdarah. “Kami sangat terpukul.
Ini harus jadi pelajaran bagi semua pihak,” kata Ustaz Rahman, tokoh agama
setempat.
Di media sosial, tagar #SantriHarusAman sempat menjadi
trending lokal. Warganet menyerukan agar sistem pengawasan di pesantren
diperketat dan praktik perundungan diberantas. “Pesantren bukan tempat
kekerasan. Santri harus dilindungi, bukan ditakuti,” tulis akun @pedulisantri.
Hukum dan Keadilan untuk Anak
Karena pelaku masih di bawah umur, proses hukum akan
dilakukan dengan pendekatan khusus. Polisi menegaskan bahwa meski usia pelaku
muda, tindakan yang dilakukan tetap harus dipertanggungjawabkan. “Kami akan
mendalami motif dan kondisi psikologis pelaku. Tapi hukum tetap berjalan,” ujar
Taupik.
Lembaga Perlindungan Anak Kalimantan Selatan menyatakan siap
mendampingi proses hukum dan rehabilitasi psikologis pelaku. “Anak yang
melakukan kekerasan sering kali juga korban dari sistem yang gagal melindungi
mereka,” kata Direktur LPA Kalsel, Nurhayati.
Trauma Kolektif dan Refleksi Sistemik
Tragedi ini bukan hanya soal satu nyawa yang hilang, tapi
juga tentang sistem yang perlu diperbaiki. Banyak pesantren di Indonesia belum
memiliki mekanisme pengaduan yang aman bagi santri. Tidak ada konselor, tidak
ada ruang aman, dan tidak ada edukasi tentang kekerasan verbal maupun fisik.
“Pesantren harus mulai membuka diri terhadap pendekatan
psikologis dan perlindungan anak. Tidak cukup hanya mengajarkan kitab, tapi
juga membentuk lingkungan yang sehat,” ujar psikolog pendidikan, Dr. Rina
Kartika.
Menurut data Komnas Perlindungan Anak, lebih dari 30% kasus
kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan berbasis agama tidak pernah
dilaporkan. Banyak korban memilih bungkam karena takut stigma atau balasan dari
senior. Dalam kasus MN, tekanan itu berubah menjadi ledakan yang merenggut
nyawa.
Di musala tempat MF menghembuskan napas terakhir,
santri-santri kini berkumpul untuk berdoa. Mereka mengenang MF sebagai pribadi
yang ceria dan aktif. Tapi di balik doa itu, ada harapan agar tragedi ini
menjadi titik balik.
Bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi juga
tempat tumbuh sebagai manusia. Bahwa luka batin harus didengar sebelum berubah
menjadi luka fisik. Dan bahwa setiap santri, tak peduli usia atau latar
belakangnya, berhak atas rasa aman dan perlindungan.