KPK Jemput Paksa Bos Tambang Kaltim Rudy Ong Chandra dalam Kasus Korupsi IUP
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali
menunjukkan ketegasannya dalam menangani kasus korupsi di sektor sumber daya
alam. Pada Kamis (21/8/2025), lembaga antirasuah itu melakukan tindakan jemput
paksa terhadap seorang pengusaha tambang berpengaruh di Kalimantan Timur, Rudy
Ong Chandra atau yang akrab disebut ROC. Rudy diduga kuat terlibat dalam kasus
korupsi terkait pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) yang berlangsung pada
periode 2013 hingga 2018.
Kabar mengenai langkah tegas KPK ini disampaikan langsung
oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo. “Hari ini penyidik melakukan jemput paksa
terhadap Saudara ROC terkait perkara tindak pidana korupsi pengurusan izin
pertambangan di wilayah Kalimantan Timur periode 2013-2018,” ujarnya kepada
para wartawan di Jakarta.
Langkah ini menambah daftar panjang kasus-kasus korupsi di
sektor pertambangan yang sering kali menyeret pejabat daerah maupun pelaku
usaha. Pasalnya, sektor ini memang kerap dianggap sebagai “lahan basah” yang
rawan praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan kewenangan.
Kasus yang Menjerat Nama Besar Mantan Gubernur Kaltim
Kasus dugaan korupsi perizinan tambang di Kalimantan Timur
ini sejatinya bukan perkara baru. Nama besar mantan Gubernur Kalimantan Timur,
Awang Faroek Ishak, sempat masuk dalam pusaran penyidikan. Namun, proses hukum
terhadap Awang akhirnya dihentikan lantaran ia telah meninggal dunia.
Meski demikian, KPK tetap melanjutkan penelusuran terhadap
pihak-pihak lain yang diduga ikut terlibat dalam praktik kotor tersebut. Salah
satunya adalah Rudy Ong Chandra, pengusaha tambang yang cukup dikenal di
Kalimantan Timur karena jejaring bisnisnya.
Awalnya, KPK telah lebih dulu mengeluarkan surat pencegahan
bepergian ke luar negeri terhadap beberapa orang, termasuk Rudy. Langkah ini
diambil agar pihak-pihak terkait tidak melarikan diri atau menghilangkan barang
bukti selama proses penyidikan berlangsung.
Pencegahan ke Luar Negeri Sejak 2024
Jauh sebelum penjemputan paksa dilakukan, KPK pada September
2024 sudah lebih dulu mengumumkan pencegahan ke luar negeri terhadap tiga orang
dalam kasus ini. Informasi itu diungkapkan oleh Juru Bicara KPK kala itu, Tessa
Mahardhika Sugiarto, dalam sebuah konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK,
Jakarta Selatan, pada 26 September 2024.
Menurut Tessa, ketiga orang yang dicegah bepergian keluar
negeri adalah mantan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, seorang individu
berinisial DDWT, dan pengusaha tambang Rudy Ong Chandra. Surat pencegahan itu
dikeluarkan sejak 24 September 2024, menandakan bahwa KPK telah lama mengincar
dan mengawasi ketiganya.
“Larangan bepergian ke luar negeri ini terkait penyidikan
dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dalam
pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) pada wilayah Kalimantan Timur,” kata
Tessa dalam pernyataannya kala itu.
Langkah pencegahan tersebut merupakan sinyal kuat bahwa KPK
tidak ingin kecolongan dalam mengusut kasus besar ini, apalagi menyangkut
sektor strategis seperti pertambangan yang menjadi salah satu tulang punggung
perekonomian daerah.
Tiga Tersangka dalam Perkara
Selain melakukan pencegahan, KPK juga sudah menetapkan tiga
orang sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi izin usaha pertambangan
ini. Namun, pihak KPK masih berhati-hati dalam membuka identitas lengkap para
tersangka tersebut ke publik.
Meski tidak menyebutkan detail, perkembangan terbaru
menunjukkan bahwa Rudy Ong Chandra termasuk dalam daftar orang yang diduga kuat
terlibat. Penetapan status tersangka biasanya didasarkan pada bukti permulaan
yang cukup, termasuk hasil pemeriksaan saksi, dokumen, serta aliran dana yang
mencurigakan.
KPK sendiri dikenal selalu berhati-hati dalam menyampaikan
identitas tersangka agar proses hukum berjalan sesuai prosedur, sekaligus
menghindari potensi gugatan praperadilan dari pihak-pihak terkait.
Praktik Korupsi di Balik Izin Tambang
Kasus korupsi terkait perizinan tambang bukanlah hal baru di
Indonesia. Sering kali, perusahaan tambang yang ingin mempercepat atau
mempermudah proses perizinan harus berurusan dengan praktik suap. Imbalan
berupa uang, saham, atau janji proyek kerap menjadi modus yang dimainkan.
Dalam kasus di Kaltim, dugaan utamanya adalah adanya praktik
penerimaan hadiah atau janji dalam proses penerbitan IUP. Hal ini berarti
terdapat indikasi bahwa pengusaha atau pihak tertentu memberikan sesuatu kepada
pejabat atau pihak berwenang demi meloloskan izin pertambangan mereka.
Model praktik semacam ini tentu merugikan banyak pihak.
Negara kehilangan potensi penerimaan yang seharusnya masuk ke kas daerah maupun
pusat, sementara kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan ilegal atau
semi-ilegal kerap kali ditanggung masyarakat sekitar.
Respons Publik dan Harapan Penegakan Hukum
Penjemputan paksa terhadap Rudy Ong Chandra sontak menjadi
sorotan publik, khususnya masyarakat Kalimantan Timur. Banyak pihak berharap
kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk membongkar mafia tambang yang
selama ini diduga bermain di balik meja birokrasi.
Kalangan pegiat antikorupsi juga menilai langkah KPK ini
sebagai ujian besar. Jika lembaga antirasuah mampu menuntaskan kasus ini hingga
ke akar-akarnya, maka akan muncul efek jera bagi para pelaku usaha maupun
pejabat yang mencoba bermain-main dengan kewenangan di sektor sumber daya alam.
Sebaliknya, jika kasus ini berhenti di tengah jalan atau
tidak membuahkan vonis yang jelas, publik berpotensi kehilangan kepercayaan
terhadap komitmen pemberantasan korupsi.
Masa Depan Sektor Pertambangan di Kaltim
Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah dengan cadangan
sumber daya alam yang melimpah, khususnya batu bara. Namun, kekayaan alam itu
selama ini sering kali menjadi ironi. Alih-alih membawa kemakmuran bagi
masyarakat setempat, justru banyak kasus korupsi dan kerusakan lingkungan yang
muncul akibat tata kelola pertambangan yang buruk.
Kasus yang menjerat Rudy Ong Chandra dan beberapa nama besar
lain di Kaltim menjadi bukti nyata bahwa sistem perizinan masih rawan
disalahgunakan. Padahal, pemerintah pusat tengah gencar mendorong tata kelola
pertambangan yang lebih transparan, akuntabel, dan ramah lingkungan.
Apabila KPK berhasil menuntaskan kasus ini, diharapkan dapat
menjadi momentum untuk memperbaiki sistem perizinan, menutup celah korupsi, dan
menegakkan prinsip good governance di sektor pertambangan.
Tindakan jemput paksa terhadap pengusaha tambang Kalimantan
Timur, Rudy Ong Chandra, menunjukkan bahwa KPK tidak main-main dalam menangani
kasus besar yang melibatkan sektor vital. Meski salah satu tokoh yang sempat
disebut, Awang Faroek Ishak, telah meninggal dunia sehingga penyidikannya
dihentikan, KPK tetap berkomitmen melanjutkan penelusuran terhadap pihak-pihak
lain yang diduga kuat terlibat.
Kini, perhatian publik tertuju pada bagaimana kelanjutan
proses hukum ini. Apakah KPK mampu membongkar seluruh jaringan mafia tambang di
Kaltim, atau justru kasus ini akan menemui jalan buntu? Yang jelas, penjemputan
paksa Rudy menjadi babak baru dalam upaya panjang pemberantasan korupsi di
sektor pertambangan Indonesia.