Dari Sungai ke Piring: Warga Kaltim Kian Gemar Makan Ikan, Konsumsi Tembus 59,75 Kg per Kapita
Samarinda, Agustus 2025 — Di tepian Sungai Mahakam yang membelah kota Samarinda, aroma ikan bakar menyeruak dari warung-warung kecil yang berjejer di pinggir jalan. Di balik asap yang menari di udara, sebuah tren menarik tengah tumbuh: warga Kalimantan Timur (Kaltim) semakin gemar menyantap ikan. Data terbaru dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltim mencatat lonjakan konsumsi ikan yang kini mencapai 59,75 kilogram per kapita per tahun, naik dari 58 kilogram pada tahun sebelumnya.
Angka ini bukan sekadar statistik. Ia mencerminkan perubahan
gaya hidup, keberhasilan edukasi gizi, dan kebangkitan kembali budaya kuliner
lokal yang menjadikan ikan sebagai primadona di meja makan.
Dari Mahakam ke Meja Makan
Sungai Mahakam bukan hanya urat nadi ekonomi, tetapi juga
sumber kehidupan kuliner masyarakat Kaltim. Di sepanjang alirannya, nelayan
menggantungkan hidup pada hasil tangkapan ikan sungai seperti baung, lais, dan
patin. Di pagi hari, pasar-pasar tradisional dipenuhi suara tawar-menawar dan
aroma ikan segar yang baru diturunkan dari perahu.
“Dulu orang lebih suka ayam atau daging sapi. Sekarang, ikan
jadi pilihan utama,” ujar Pak Rudi, pedagang ikan di Pasar Segiri, Samarinda.
Menurutnya, permintaan ikan meningkat tajam dalam dua tahun terakhir, terutama
jenis tongkol dan gembung yang mudah diolah dan kaya gizi.
Kutai Kartanegara: Sang Juara Konsumsi
Jika Kaltim adalah kerajaan ikan, maka Kutai Kartanegara
(Kukar) adalah takhtanya. Kabupaten ini mencatat konsumsi tertinggi di
provinsi, yakni 67,14 kilogram per kapita per tahun. Di desa-desa sepanjang
Mahakam, ikan menjadi lauk harian yang tak tergantikan.
“Di Kukar, ikan bukan hanya makanan, tapi bagian dari
identitas,” ujar Irma Listiawati, Kepala Bidang Perikanan Budidaya dan
Penguatan Daya Saing Produk Perikanan DKP Kaltim. Menurutnya, tingginya
konsumsi di Kukar tak lepas dari kedekatan masyarakat dengan sumber daya
perairan serta keberhasilan program edukasi gizi yang digencarkan pemerintah.
Mahakam Ulu: Tantangan Akses dan Edukasi
Berbanding terbalik, Mahakam Ulu mencatat konsumsi terendah,
yakni 52,82 kilogram per kapita. Wilayah yang masih didominasi hutan dan sungai
ini menghadapi tantangan akses distribusi dan edukasi. Namun, DKP Kaltim tak
tinggal diam. Program “Gemar Makan Ikan” digulirkan secara intensif, menyasar
balita hingga anak sekolah dasar.
Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Posyandu, dan BKKBN,
program ini bertujuan mencegah stunting sejak dini. “Kami berikan makanan
tambahan berbahan dasar ikan, dan hasilnya cukup menggembirakan. Di Bontang dan
Kutai Timur, berat badan balita naik dan lingkar kepala menunjukkan
perkembangan yang baik,” terang Irma.
Ikan Gembung dan Tongkol: Bintang di Dapur Kaltim
Dari sekian banyak jenis ikan, dua nama mencuat sebagai
favorit warga Kaltim: ikan gembung dan tongkol. Kaya akan protein, omega-3, dan
zat besi, kedua jenis ikan ini menjadi pilihan utama untuk konsumsi harian.
“Ikan adalah sumber protein yang sangat penting untuk perkembangan gizi dan
pertumbuhan tulang,” tambah Irma.
Di dapur rumah tangga, ikan tongkol sering diolah menjadi
pepes, gulai, atau sambal balado. Sementara ikan gembung digoreng kering dan
disajikan dengan sambal terasi serta lalapan. “Anak-anak saya lebih suka ikan
daripada ayam sekarang. Lebih sehat dan tidak bikin enek,” kata Lilis, ibu
rumah tangga di Balikpapan.
Edukasi Gizi: Dari Poster ke Piring
Lonjakan konsumsi ikan di Kaltim bukan terjadi begitu saja.
Di baliknya ada kerja keras para penyuluh gizi, guru, dan kader Posyandu yang
tak kenal lelah menyampaikan pentingnya makan ikan. Poster-poster bergambar
anak sehat dengan lauk ikan terpampang di sekolah dan puskesmas. Di beberapa
daerah, lomba memasak ikan digelar untuk mengajak ibu rumah tangga berkreasi
dengan bahan lokal.
“Dulu anak saya susah makan ikan. Tapi setelah ikut demo
masak di sekolah, sekarang dia minta ikan tongkol tiap minggu,” cerita Lilis,
warga Paser yang aktif di kegiatan PKK.
Ikan dan Identitas Kuliner Kaltim
Lebih dari sekadar sumber gizi, ikan juga menjadi bagian
dari identitas kuliner Kaltim. Di Berau, misalnya, ada tradisi memasak ikan
asin dengan sambal rimbang yang diwariskan turun-temurun. Di Kutai Barat, ikan
sungai seperti baung dan lais diolah dengan bumbu khas Dayak yang pedas dan
aromatik.
“Kalau makan ikan, rasanya seperti pulang kampung,” kata
Yudi, mahasiswa asal Samarinda yang kini kuliah di Yogyakarta. “Di sini banyak
ayam dan daging, tapi saya tetap kangen pepes tongkol buatan ibu.”
Dari Nelayan ke Konsumen: Rantai Pasok yang Harus Diperkuat
Meski konsumsi meningkat, tantangan tetap ada. Distribusi
ikan segar ke daerah terpencil, fluktuasi harga, dan minimnya fasilitas
penyimpanan menjadi kendala yang harus diatasi. DKP Kaltim berencana memperluas
cold storage dan memperkuat rantai pasok agar ikan tetap segar hingga ke
pelosok.
“Nelayan sudah bekerja keras. Sekarang tugas kami memastikan
ikan sampai ke konsumen dengan kualitas terbaik,” ujar Irma.
Ikan dan Masa Depan Gizi Kaltim
Pemerintah Kaltim menargetkan konsumsi ikan bisa mencapai 60
kilogram per kapita tahun depan. Untuk itu, edukasi gizi akan terus
digencarkan, terutama di daerah dengan angka stunting tinggi. “Kami ingin
menjadikan ikan sebagai bagian dari gaya hidup sehat, bukan sekadar lauk
alternatif,” tegas Irma.
Program “Gemarikan” juga akan diperluas ke sekolah-sekolah
dan kampus, dengan pendekatan yang lebih kreatif seperti festival kuliner ikan,
lomba vlog masak, dan pelatihan nutrisi untuk guru.
Kisah konsumsi ikan di Kaltim adalah cerita tentang
perubahan, edukasi, dan cinta terhadap pangan lokal. Dari sungai Mahakam hingga
dapur-dapur sederhana, ikan telah menjadi simbol gizi, budaya, dan harapan.
Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, Kaltim melangkah menuju masa depan yang
lebih sehat—satu piring ikan pada satu waktu.