Bayang-Bayang di Jalan Sekabuk: Menelusuri Dugaan Keterlibatan Ria Norsan dalam Korupsi Rp40 Miliar
Di tengah ambisi pembangunan infrastruktur yang
digadang-gadang sebagai tonggak kemajuan Kalimantan Barat, terselip sebuah
kisah kelam yang kini menjadi sorotan publik. Proyek peningkatan Jalan
Sekabuk–Sei Sederam dan Jalan Sebukit Rama–Sei Sederam di Kabupaten Mempawah,
dengan nilai anggaran mencapai Rp40 miliar, berubah dari harapan menjadi sumber
kecurigaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan beberapa
tersangka dalam kasus ini, dan nama Gubernur Kalbar, Ria Norsan, mulai
disebut-sebut sebagai sosok yang berpotensi terlibat.
Proyek jalan tersebut awalnya dirancang untuk membuka akses
wilayah terpencil dan mempercepat konektivitas antar kecamatan. Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat mengalokasikan dana besar melalui Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang (PUPR), dengan harapan dapat meningkatkan mobilitas
warga dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, sejak awal pelaksanaan,
sejumlah kejanggalan mulai tercium. Laporan dari masyarakat dan hasil audit
internal menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara spesifikasi teknis dan hasil
pekerjaan di lapangan. Jalan yang seharusnya dibangun dengan kualitas beton
kelas satu justru tampak rapuh dan mudah rusak. Beberapa segmen bahkan tidak
selesai sesuai jadwal, meski anggaran telah dicairkan sepenuhnya.
KPK mulai turun tangan setelah menerima laporan dari LSM
lokal yang menyoroti dugaan mark-up anggaran dan pengaturan tender. Dalam
penyelidikan awal, KPK menemukan bukti bahwa proses pengadaan proyek dilakukan
secara tidak transparan. Perusahaan yang memenangkan tender diduga memiliki
hubungan dekat dengan pejabat di lingkungan Pemprov Kalbar. Pada pertengahan
2025, KPK menetapkan tiga tersangka utama: seorang pejabat Dinas PUPR, direktur
perusahaan kontraktor, dan seorang perantara yang diduga berperan dalam
mengatur aliran dana. Dalam konferensi pers, juru bicara KPK menyebutkan bahwa
nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp40 miliar, hampir seluruh nilai
proyek.
Namun yang paling menggemparkan adalah pernyataan bahwa KPK
tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan pejabat yang lebih tinggi. Nama
Ria Norsan, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Barat, disebut
dalam beberapa dokumen penyidikan sebagai pihak yang “mengetahui dan
menyetujui” proses pengadaan. Salah satu bukti yang menjadi perhatian penyidik
adalah rekaman komunikasi antara pejabat Dinas PUPR dan seseorang yang diduga
sebagai ajudan Ria Norsan. Dalam percakapan tersebut, terdapat instruksi untuk
“mengamankan proyek Sekabuk” dan memastikan bahwa perusahaan tertentu
mendapatkan kontrak. Selain itu, ditemukan pula aliran dana mencurigakan ke
rekening pribadi yang terafiliasi dengan tim sukses Ria Norsan. Meski belum ada
bukti langsung bahwa dana tersebut diterima oleh sang gubernur, pola transaksi
dan waktu pencairan dana menunjukkan adanya korelasi yang signifikan.
KPK juga memeriksa dokumen internal Pemprov yang menunjukkan
bahwa revisi anggaran proyek dilakukan atas persetujuan langsung dari gubernur.
Revisi tersebut menaikkan nilai proyek sebesar Rp10 miliar tanpa penjelasan
teknis yang memadai. Menanggapi isu tersebut, Ria Norsan membantah keras
tuduhan keterlibatan dalam korupsi. Dalam pernyataan resmi, ia menyebut bahwa
seluruh proses pengadaan telah dilakukan sesuai prosedur dan bahwa dirinya
tidak pernah menerima keuntungan pribadi dari proyek tersebut. “Saya menghormati
proses hukum dan siap memberikan keterangan jika diminta. Namun saya tegaskan,
tuduhan itu tidak berdasar dan mencemarkan nama baik saya sebagai kepala
daerah,” ujar Norsan dalam konferensi pers di Pontianak.
Pemerintah Provinsi Kalbar juga mengeluarkan pernyataan
bahwa proyek Jalan Sekabuk merupakan bagian dari rencana strategis daerah dan
telah melalui evaluasi teknis. Namun, mereka mengakui bahwa ada kekurangan
dalam pengawasan lapangan dan berjanji akan memperbaiki sistem pengendalian
internal. Kasus ini bukanlah yang pertama di Kalimantan Barat. Dalam satu
dekade terakhir, tercatat lebih dari sepuluh kasus korupsi infrastruktur yang
melibatkan pejabat daerah. Polanya hampir seragam: pengadaan proyek besar, pemenang
tender yang telah “diatur”, dan pencairan dana yang tidak sesuai progres
pekerjaan.
Yang membedakan kasus Jalan Sekabuk adalah skala dan posisi
pejabat yang diduga terlibat. Jika benar bahwa seorang gubernur ikut bermain
dalam pengaturan proyek, maka ini menunjukkan bahwa korupsi telah merasuk
hingga ke puncak kekuasaan daerah. Pengamat politik dari Universitas
Tanjungpura, Dr. Rinaldi Harahap, menyebut bahwa kasus ini bisa menjadi titik
balik bagi penegakan hukum di Kalbar. “Jika KPK berani menyentuh level
gubernur, maka akan ada efek jera yang nyata. Tapi jika kasus ini berhenti di level
bawah, maka publik akan kehilangan kepercayaan,” ujarnya.
Di lapangan, masyarakat Mempawah merasa kecewa dan marah.
Jalan yang seharusnya menjadi akses utama kini rusak dan membahayakan pengguna.
Beberapa warga bahkan menggelar aksi protes di depan kantor bupati, menuntut
transparansi dan perbaikan segera. Secara politik, kasus ini juga mengguncang
stabilitas pemerintahan daerah. Partai tempat Ria Norsan bernaung mulai
mendapat tekanan dari internal dan eksternal. Beberapa tokoh partai meminta
agar Norsan “cuti sementara” hingga proses hukum selesai.
Di media sosial, tagar #JalanSekabukRusak dan #UsutNorsan
menjadi trending, menunjukkan bahwa isu ini telah menjadi perhatian nasional.
Banyak netizen membandingkan kasus ini dengan skandal korupsi di daerah lain,
dan menuntut agar KPK bertindak tegas. Kasus Jalan Sekabuk bukan sekadar soal
infrastruktur yang gagal. Ia adalah cermin dari bagaimana kekuasaan bisa
disalahgunakan, dan bagaimana sistem pengawasan bisa dilemahkan oleh
kepentingan politik dan ekonomi.
Publik kini menanti langkah KPK berikutnya. Apakah lembaga
antirasuah itu akan berani menyentuh tokoh besar seperti Ria Norsan, ataukah
kasus ini akan berakhir seperti banyak kasus lain—dengan hukuman ringan bagi
pelaku lapangan, dan impunitas bagi aktor utama. Yang jelas, jalan menuju
keadilan jauh lebih penting daripada jalan beton yang dibangun dengan uang
rakyat. Dan dalam kasus ini, publik berhak tahu siapa yang benar-benar
bertanggung jawab.