Konflik Internal DPPPA Kalbar Memanas: Puluhan Pegawai Desak Pencopotan Kepala Dinas

  

Suasana tegang menyelimuti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Kalimantan Barat. Bukan karena tumpukan kerja atau tekanan target program, melainkan karena polemik internal yang sudah lama mengendap dan kini meledak ke permukaan. Sebanyak 25 orang pegawai yang tergabung dalam Forum Pegawai DPPPA dan UPT Perlindungan Perempuan Provinsi Kalbar menyatakan sikap tegas: mereka mendesak agar Herkulana Mekarryani dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Dinas. Desakan ini bukan sekadar bisik-bisik kantor atau percakapan di balik meja. Ini adalah tuntutan resmi, tertulis, dan ditandatangani oleh mereka yang setiap hari bekerja langsung di lingkungan dinas tersebut.

Surat desakan tersebut, yang diterima media, menandai babak baru dalam konflik internal yang telah berlangsung sejak awal kepemimpinan Herkulana pada tahun 2024. Ini bukan kali pertama suara ketidakpuasan disampaikan. Sebelumnya, sejumlah pegawai telah memberanikan diri menghadap langsung ke Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, untuk menyampaikan keresahan mereka. Namun karena belum ada solusi konkret yang diturunkan dari pertemuan tersebut, Forum Pegawai pun melanjutkan perjuangannya melalui jalur resmi yang lebih keras.

Koordinator Forum, Deri Octaris Cowari, tampil sebagai juru bicara keresahan kolektif tersebut. Dalam keterangannya pada Kamis, 3 Juli 2025, Deri membeberkan berbagai perlakuan yang mereka anggap sebagai bentuk arogansi, ketidakadilan, hingga tindakan verbal yang menjatuhkan harga diri pegawai. "Selama yang bersangkutan memimpin sejak awal tahun 2024, kami merasakan resah, tertekan, dihina, merendahkan, tidak adil, dan pilih kasih. Hingga suasana dan semangat kerja kami menjadi menurun dan merasa terpaksa kerja," ujarnya dengan suara lantang yang mencerminkan kepedihan yang selama ini dipendam.

Menurut Deri, kekerasan verbal adalah salah satu hal yang paling sering terjadi. Kata-kata kasar dan tindakan merendahkan, katanya, telah menjadi bagian dari keseharian yang mengikis semangat dan integritas para pegawai. Ia menyebut Herkulana kerap menunjukkan sikap pilih kasih dalam distribusi tugas, terutama dalam urusan perjalanan dinas. “Hanya ada tiga nama yang sering dapat SPPD. Seakan tidak menghargai SDM yang ada dan kami para pegawai tidak pantas dapat SPPD,” ujarnya, menyiratkan ketimpangan dalam perlakuan.

Selain masalah perlakuan, Deri juga menyoroti pola kehadiran Herkulana di kantor yang dinilai sangat jarang. Ketidakhadiran ini menurutnya bukan selalu karena tugas resmi, melainkan juga alasan pribadi, dan ironisnya, ketiadaan itu tidak diikuti dengan penunjukan pejabat pengganti sementara. “Tapi, dia tidak menunjuk pejabat pengganti sementara,” tegas Deri. Hal ini tentu saja berdampak langsung pada efektivitas dan jalannya pelayanan publik di instansi tersebut.

Forum Pegawai kini berharap banyak kepada Gubernur Kalimantan Barat. Mereka menilai hanya gubernur yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan besar seperti pencopotan jabatan kepala dinas. Pada aksi sebelumnya, mereka menghadap langsung, namun tak kunjung mendapat kepastian. Kali ini, jika tuntutan kembali diabaikan, mereka mengancam akan melakukan mogok kerja. “Kalau kami mogok kerja, pelayanan sudah pasti terganggu dan mungkin ditiadakan,” kata Deri dengan nada ultimatum.

Sebagai bentuk keseriusan, surat tuntutan yang mereka kirimkan juga dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung. Surat tersebut telah disampaikan ke Gubernur Kalbar, DPRD Kalbar, serta Polresta Pontianak. Isi surat tidak hanya berisi keluhan, tetapi juga dokumentasi dan kronologi kejadian yang menjadi dasar permintaan pencopotan Herkulana. Langkah ini menunjukkan bahwa para pegawai tidak lagi ingin bersembunyi dalam diam. Mereka memilih bicara, bersatu, dan menuntut perubahan secara struktural.

Di sisi lain, Herkulana Mekarryani sendiri hingga kini belum memberikan tanggapan atas tudingan yang disampaikan para bawahannya. Ketika dikonfirmasi, ia belum memberikan jawaban, baik klarifikasi maupun pembelaan. Ketidakhadiran suara dari pihak yang dituduh menambah ketegangan dalam situasi ini, dan publik kini menunggu bagaimana Herkulana akan merespons krisis internal yang kini menjadi konsumsi publik.

Sementara itu, pemerintah provinsi tidak tinggal diam. Sekretaris Daerah Kalbar, dr. Harisson Azroi, telah menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti persoalan ini secara serius. Dalam keterangannya kepada wartawan, Harisson mengatakan akan segera memanggil Herkulana untuk dimintai klarifikasi, termasuk juga memanggil para pegawai yang tergabung dalam Forum. “Kami akan memanggil Kadis DPPPA Herkulana, termasuk memanggil staf DPPPA untuk dilakukan konfirmasi dan klarifikasi terhadap masalah yang disampaikan,” jelasnya.

Namun, Harisson juga mengingatkan agar pelayanan publik tidak sampai terganggu akibat konflik internal tersebut. Ia menekankan bahwa ASN tetap memiliki kewajiban melayani masyarakat, apapun yang terjadi di dalam struktur organisasi. “Apapun yang terjadi di perangkat daerah itu, pelayanan kepada masyarakat oleh ASN harus tetap jalan,” ujarnya tegas.

Konflik seperti ini tentu tidak bisa dianggap remeh. DPPPA adalah lembaga yang memiliki tanggung jawab besar terhadap isu-isu krusial seperti pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak—dua isu yang sangat sensitif dan memerlukan suasana kerja yang harmonis dan empatik. Bila internalnya saja bergolak, bagaimana lembaga ini bisa efektif melindungi mereka yang rentan di luar sana?

Kasus ini juga menjadi pengingat penting bagi semua pemimpin organisasi publik bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang target dan program, tapi juga tentang bagaimana memperlakukan orang-orang di bawahnya. Suasana kerja yang sehat, adil, dan manusiawi adalah fondasi dari pelayanan publik yang efektif. Ketika para pegawai sudah merasa tidak dihargai dan suara mereka diabaikan, maka yang akan terdampak bukan hanya internal lembaga, tetapi juga masyarakat luas yang menjadi penerima manfaat dari layanan publik tersebut.

Kini, bola ada di tangan Gubernur Kalbar. Langkah apa yang akan diambil? Apakah akan ada evaluasi mendalam, mediasi, atau tindakan tegas seperti yang diminta para pegawai? Waktu akan menjawab. Satu hal yang pasti, konflik ini tak boleh dibiarkan membusuk. Ia harus segera ditangani, demi martabat institusi, kesejahteraan pegawai, dan yang paling penting: demi keberlangsungan perlindungan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Barat.

Next Post Previous Post