Sannipata Waisak 2025: Simfoni Kebhinekaan dan Toleransi dari Tanah Borneo Utara
Hotel Tarakan Plaza, yang berdiri megah di jantung Kota
Tarakan, berubah menjadi saksi harmoni spiritual yang mendalam saat umat Buddha
dari berbagai penjuru Kalimantan Utara berkumpul dalam peringatan Sannipata
Waisak Bersama 2569 BE / 2025. Bukan sekadar ritual keagamaan, namun peristiwa
ini menjelma menjadi panggung kerukunan yang mengalir damai di tengah
keberagaman suku, agama, dan budaya yang hidup berdampingan di provinsi termuda
Indonesia itu.
Tahun ini, momentum Waisak terasa lebih dari biasanya. Ada denyut kehangatan yang mengalir dalam tiap doa dan lantunan paritta. Ada isyarat kuat bahwa di tengah riuh tantangan global dan gejolak sosial yang tak menentu, Kaltara menawarkan narasi berbeda: narasi kebersamaan dalam keberagaman.
Acara yang berlangsung khidmat itu dihadiri oleh ratusan umat Buddha dari lima kabupaten/kota yang membentuk Kalimantan Utara—Tarakan, Nunukan, Tana Tidung, Malinau, dan Bulungan. Kehadiran mereka bukan hanya membawa semangat spiritual, tetapi juga merepresentasikan kemauan kuat untuk menjaga jalinan sosial yang telah terbangun rapi sejak provinsi ini lahir dari rahim pemekaran.
Sosok yang mewakili Gubernur Kaltara dalam acara ini adalah H. Datu Iqro Ramadhan, Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Kaltara. Dalam sambutannya yang mengalir penuh empati, ia menyampaikan pesan yang menggugah. Peringatan Tri Suci Waisak, katanya, bukan hanya momen untuk mengenang kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Siddhartha Gautama, tetapi juga sebagai pengingat pentingnya nilai-nilai kasih sayang dan toleransi yang kini amat dibutuhkan dalam kehidupan sosial modern.
“Atas nama pribadi dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, saya mengucapkan selamat memperingati Hari Tri Suci Waisak 2569 BE / 2025. Semoga melalui peringatan ini, kita semua bisa menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai luhur seperti kasih sayang, toleransi, dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Datu Iqro di hadapan para tokoh agama dan masyarakat yang hadir.
Pesan tersebut tidak mengawang. Ia meresap dalam setiap momen perayaan, dari lantunan doa-doa hingga sesi dharma talk yang dipimpin oleh Yang Mulia Banthe Gunaseno Thera. Dalam wejangan yang sarat makna, Banthe menekankan pentingnya menjaga kejernihan pikiran, kebeningan hati, dan ketulusan dalam perbuatan—nilai-nilai yang tidak hanya dikhususkan bagi umat Buddha, tapi bersifat universal, lintas iman, dan lintas batas.
Banthe Gunaseno Thera, dalam gaya penyampaiannya yang lembut namun tegas, menyoroti bagaimana kesadaran kolektif bisa menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang lebih damai. Menurutnya, inti ajaran Buddha adalah tentang memahami penderitaan dan berusaha menguranginya, dan itu hanya bisa dilakukan jika seseorang tidak terjebak dalam kebencian maupun kebodohan.
Dalam peringatan ini pula, hadir para tokoh penting lainnya seperti Ketua Komisi III DPRD Provinsi Kaltara Jufri Budiman, Wakil Bupati Nunukan Hermanus, dan sejumlah anggota Forkopimda. Mereka hadir bukan hanya sebagai pejabat, tetapi sebagai simbol nyata dari sinergi antar-lembaga dan antar-elemen masyarakat. Tampak pula para tokoh lintas agama dan adat, mulai dari pemuka Islam, Kristen, Katolik, Hindu, hingga kepercayaan lokal, saling duduk berdampingan, menyimak dan merayakan hari suci umat Buddha dengan penuh penghargaan.
Momen ini menjadi ruang untuk memperlihatkan bahwa Kaltara bukan sekadar provinsi muda dari sisi administratif, tapi matang dalam memelihara nilai-nilai harmoni sosial. Tidak ada sekat, tidak ada dikotomi, yang ada hanyalah semangat kebersamaan yang ditanamkan sejak dini di antara anak-anak bangsa yang hidup di provinsi ini.
Selain aspek keagamaan, acara Sannipata Waisak Bersama ini juga sarat nilai kebudayaan. Para peserta disuguhi pertunjukan seni bernuansa Buddhistik dan budaya lokal. Iringan musik meditasi berpadu dengan seni tari daerah, menciptakan suasana yang bukan hanya sakral, tetapi juga menyejukkan. Segalanya berlangsung dalam satu tarikan napas yang sama: napas toleransi.
Yang menarik, dalam sela-sela acara juga digelar sesi dialog antaragama yang lebih bersifat informal, namun justru menjadi ruang paling jujur bagi para tokoh masyarakat untuk berbicara tentang pengalaman keberagaman mereka. Seorang tokoh adat Dayak bahkan menyampaikan bagaimana umat Buddha di desa mereka ikut berpartisipasi dalam upacara adat dan sebaliknya, bagaimana umat Dayak pun dengan terbuka menghadiri perayaan Waisak setiap tahunnya.
Kehadiran pemerintah dalam acara ini bukan simbolik semata. Menurut Datu Iqro, kehadiran itu mencerminkan komitmen kuat pemerintah untuk terus memperkuat fondasi kerukunan umat beragama di Kaltara. Baginya, stabilitas sosial tidak hanya ditentukan oleh pembangunan fisik, tetapi juga oleh sejauh mana masyarakat dapat hidup rukun dalam perbedaan.
Pesan-pesan toleransi yang digaungkan dalam peringatan Waisak tahun ini seakan menjawab keresahan masyarakat terhadap meningkatnya polarisasi sosial di beberapa wilayah lain di Indonesia. Kalimantan Utara, meski berusia muda sebagai provinsi, memperlihatkan bahwa nilai-nilai kebhinekaan yang dipraktikkan secara nyata jauh lebih ampuh dari sekadar slogan.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, acara seperti Sannipata Waisak Bersama menjadi penanda penting bahwa akar-akar lokal dan nilai-nilai spiritual masih tumbuh subur di tanah Borneo ini. Di Tarakan, malam itu, ratusan lilin dinyalakan. Nyala kecil itu menyatu menjadi cahaya besar yang menerangi harapan: harapan akan masa depan yang damai, adil, dan saling menghormati.
Cahaya lilin yang berpendar dari altar Buddha menjadi simbol bahwa walau kita berasal dari berbagai latar belakang kepercayaan, tapi tujuan kita tetap sama: hidup damai, hidup penuh cinta kasih, dan saling menjaga. Sebuah pengingat bahwa toleransi bukan sekadar konsep akademik, tetapi napas kehidupan yang harus dijaga bersama.
Sannipata Waisak 2025 di Kaltara bukan hanya cerita tentang umat Buddha yang merayakan hari suci mereka. Ini adalah cerita tentang seluruh masyarakat Kaltara yang berdiri bersama dalam satu panggung: panggung kemanusiaan. Di tengah dunia yang makin terpecah oleh perbedaan, Kaltara justru menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekuatan—dan Waisak adalah momentum menguatkan itu.