"Kami Tak Akan Bangkrut Kalau Kalian Pergi": Wagub Kalbar Tegur 17 Perusahaan Pelit CSR di Sambas

  

Ilustrasi : AI

Di tengah deru aktivitas industri di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, suara keras dan tanpa basa-basi datang dari Wakil Gubernur Kalbar, Krisantus Kurniawan. Kali ini bukan sekadar seremoni atau sambutan biasa. Di hadapan para pemangku kepentingan daerah dan perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Subah, ia menyampaikan teguran yang jelas, tajam, dan menyentuh inti masalah yang selama ini banyak dipendam warga: tanggung jawab sosial perusahaan yang minim bahkan nyaris tidak ada.

"Kami (Kalbar) tidak akan bangkrut kalau kalian angkat kaki. Ingat itu," ucap Krisantus tegas, membuka pidatonya dengan kalimat yang langsung memukul jantung para pengusaha yang hadir.

Krisantus tak sedang menggertak kosong. Pernyataannya itu lahir dari keprihatinan nyata atas minimnya kontribusi 17 perusahaan yang beroperasi di wilayah Subah, salah satu kecamatan dengan potensi sumber daya alam yang tinggi namun ironisnya masih menghadapi keterbatasan dalam pembangunan sosial dan ekonomi desa.

Keluhan dari para kepala desa menjadi bahan bakar pernyataan tegas Wakil Gubernur ini. Dalam forum dialog yang diadakan bersama tokoh masyarakat dan kepala desa Subah, muncul fakta mencengangkan: ada perusahaan yang hanya menyumbang Rp200 ribu untuk satu desa, bahkan saat kegiatan penting digelar demi kepentingan masyarakat luas.

“Saya imbau kepada 17 perusahaan yang ada di Kecamatan Subah, tingkatkan kepedulianmu. Alam Subah bukan tempat dikeruk dan dibawa lari. Kekayaan yang didapat harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat setempat,” tegasnya lagi dengan nada tak main-main.

Bagi Krisantus, kehadiran perusahaan bukan hanya soal investasi dan aktivitas ekonomi. Lebih dari itu, ia menekankan bahwa Kalimantan Barat bukan hanya objek eksploitasi sumber daya alam, melainkan juga subjek dari pembangunan itu sendiri. Wilayah ini bukan ladang bisnis semata, melainkan rumah rakyat yang haknya harus dijaga dan diperjuangkan.

Ia juga menyampaikan bahwa dirinya akan turun langsung ke Kecamatan Subah untuk meninjau langsung bagaimana realisasi program Corporate Social Responsibility (CSR) dijalankan. Tidak hanya akan mengecek angka, tapi juga mendengar sendiri aspirasi masyarakat dan sejauh mana perusahaan-perusahaan tersebut bersikap adil terhadap desa-desa di sekitarnya.

“Tapi kalau tidak membantu, jangan heran kalau kami juga tak ambil pusing. Ini lahan masyarakat kami, wilayah masyarakat,” tandasnya—sebuah peringatan serius bagi korporasi yang selama ini hanya memikirkan neraca keuntungan tanpa peduli jejak sosial yang mereka tinggalkan.

Tak hanya berhenti pada sindiran dan ancaman sanksi moral, Krisantus juga mengingatkan bahwa pemerintah daerah akan berdiri di belakang perusahaan yang benar-benar membantu masyarakat. Artinya, perusahaan yang punya rekam jejak baik dalam membangun wilayah sekitar akan dilindungi, dijamin operasionalnya, dan didorong terus tumbuh.

"Jangan main-main dengan CSR. Jangan bohongi masyarakat. Kami tak segan-segan menutup operasi perusahaan yang hanya mengeruk keuntungan tanpa peduli pada warga sekitar," katanya dengan wajah serius.

Teguran ini menjadi sorotan karena mencerminkan dinamika pembangunan daerah yang sering kali berat sebelah. Banyak perusahaan besar menikmati potensi kekayaan alam Kalimantan, tetapi hanya sedikit yang secara konsisten menyalurkan kembali manfaat itu ke masyarakat. CSR, yang semestinya menjadi jembatan antara korporasi dan komunitas, justru sering kali jadi formalitas belaka. Laporan ada, program disebutkan, tetapi dampaknya nyaris tidak terasa di lapangan.

Krisantus tak sendiri. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Gubernur Kalbar Ria Norsan juga menyampaikan arahan penting terkait pembangunan sektor pertanian, khususnya komoditas jagung. Di tengah semangat untuk menyukseskan program ketahanan pangan nasional, ia mengimbau seluruh kepala daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan secara maksimal, demi mendongkrak produksi jagung di Kalbar.

“Oleh karena itu saya mengimbau seluruh bupati dan wali kota untuk memaksimalkan optimalisasi lahan dalam mendukung peningkatan produksi jagung di kuartal III,” tegas Norsan, dengan harapan agar kuartal mendatang bisa melampaui hasil panen kuartal sebelumnya.

Langkah ini bukan tanpa dasar. Koordinasi intensif juga dilakukan dengan Kementerian Kehutanan RI, yang telah memberikan lampu hijau bagi penggunaan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk penanaman komoditas strategis seperti jagung, padi, dan kedelai. Sebuah terobosan kebijakan yang memungkinkan perluasan areal tanam tanpa harus membuka hutan primer atau kawasan lindung baru.

“Kementerian Kehutanan RI memperbolehkan lahan HTI untuk dipergunakan sebagai ketahanan pangan. Artinya, lahan ini bisa ditanami jagung, padi, dan kedelai,” jelas Norsan.

Tak berhenti di situ, sinergi ini juga mendapatkan dukungan penuh dari Kapolda Kalbar, Irjen Pipit Rismanto, yang menilai bahwa keberhasilan program ketahanan pangan nasional sangat mungkin tercapai jika seluruh elemen daerah bekerja kompak.

“Saya meyakini dalam rakor tadi kita sudah berkomitmen bahwa di kuartal III ini para kepala daerah akan turut ambil bagian dan bertanggung jawab menyukseskan program ini,” pungkasnya.

Dua pesan yang berbeda—satu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, satu lagi tentang produksi pangan—namun saling melengkapi dalam semangat pembangunan berkeadilan. Yang satu mengingatkan bahwa ekonomi daerah tidak bisa hanya bergantung pada investor yang abai terhadap warga. Yang satu lagi menunjukkan bahwa daerah bisa tumbuh dari kekuatan sendiri, asalkan ada kemauan untuk membangun dari bawah.

Pernyataan Krisantus dan Norsan pada hakikatnya mengandung pesan yang sama: bahwa pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang berpihak. Berpihak pada rakyat, pada desa-desa kecil yang sering terpinggirkan, pada petani, pada buruh, dan pada generasi muda yang menanti masa depan yang lebih baik.

Ketika pejabat daerah mulai berbicara lantang atas nama masyarakat, ketika mereka siap menyebut angka, menyebut nama, dan berani bertindak, di situlah tanda bahwa politik bukan lagi sekadar administrasi kekuasaan, tapi perjuangan untuk keadilan yang lebih nyata.

Kini, tinggal bagaimana para perusahaan menanggapi. Apakah akan membuka mata dan memperbaiki diri? Ataukah terus berlindung di balik laporan tahunan yang penuh jargon dan angka-angka palsu?

Satu hal yang pasti: rakyat Kalbar sudah tidak ingin hanya jadi penonton. Dan pemerintah daerah—lewat suara seperti Krisantus—sedang memastikan bahwa yang tidak peduli, siap-siap untuk ditinggal.

Next Post Previous Post