Bobol Dana Nasabah Rp16 Miliar, Mantan Pimpinan Capem Bank Kalbar Divonis 15 Tahun Penjara: Potret Suram Dunia Perbankan Daerah

  

Landak, Kalimantan Barat – Dunia perbankan kembali tercoreng. Kali ini, sosok yang berada di balik meja pimpinan sebuah bank daerah justru menjadi otak kejahatan perbankan yang merugikan negara hingga miliaran rupiah. Hendra Lazuardy alias Muhe, mantan Pimpinan Cabang Pembantu (Capem) Bank Kalbar Karangan, Kabupaten Landak, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara serta denda fantastis sebesar Rp100 miliar dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Ngabang pada 18 Maret 2025.

Kasus ini mencuat setelah terungkapnya skandal pembobolan dana nasabah di Bank Kalbar yang menelan kerugian hingga Rp16,027 miliar. Ironisnya, aksi curang ini dilakukan oleh Hendra sendiri, seseorang yang semestinya menjadi benteng terakhir dalam menjaga integritas institusi keuangan tersebut.

 

Karier Cemerlang yang Berakhir Kelam

Hendra Lazuardy bukanlah nama asing di internal Bank Kalbar. Ia adalah figur yang meniti karier dari bawah dan sempat menduduki beberapa posisi penting di lingkungan bank milik daerah itu. Kariernya bermula pada tahun 2011. Kemudian, pada 2014, ia dipindahkan ke Kantor Cabang Bank Kalbar Kubu Raya. Tiga tahun berselang, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Kas Bank Kalbar Pasar Plamboyan.

Kesuksesannya tak berhenti di situ. Pada 2019, Hendra dipromosikan menjadi Kepala Kantor Kas Bandara Supadio, hingga akhirnya menduduki posisi bergengsi sebagai Pimpinan Capem Bank Kalbar Karangan pada 2021. Namun, siapa sangka, semua prestasi itu akhirnya runtuh karena godaan besar yang datang dari dalam.

Dengan gaji besar dan fasilitas lengkap, publik bertanya-tanya: apa yang membuat seorang pejabat perbankan seperti Hendra nekat mengkhianati kepercayaan institusi dan nasabah?

 

Modus Licik dan Sistem yang Bobrok

Dalam sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ngabang, terungkap bahwa Hendra tidak hanya sekali atau dua kali melakukan pelanggaran. Ia secara sistematis memanfaatkan fasilitas kredit CCC (Cash Collateral Credit) untuk memuluskan aksinya. Fasilitas ini seharusnya digunakan untuk memberikan pinjaman kepada nasabah dengan jaminan deposito atau tabungan.

Namun dalam pelaksanaannya, Hendra menyusun sendiri data nasabah fiktif, meniru tanda tangan, dan mengisi formulir pengajuan kredit palsu tanpa sepengetahuan pemilik rekening. Proses manipulatif ini dilakukan berulang kali, hingga akhirnya terakumulasi dalam jumlah yang sangat besar.

Jaksa Penuntut Umum Kejari Ngabang, Bayu Kusuma Nugraha, SH, menyebutkan bahwa Hendra tidak hanya melakukan pelanggaran administratif, tetapi juga melakukan pencatatan palsu secara sistematis dalam dokumen perbankan, serta menempatkan harta hasil kejahatan dengan maksud menyembunyikan asal-usul kekayaan. Dengan demikian, ia dijerat dengan Pasal 49 ayat (1) huruf a UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), serta Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang perbuatan berulang.

Akibat perbuatannya, negara melalui Bank Kalbar mengalami kerugian materiil sebesar Rp16,027 miliar. Tak hanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp100 miliar, uang senilai Rp1,4 miliar milik Hendra juga dirampas negara sebagai bagian dari pemulihan kerugian.

 

Rentetan Skandal di Bank Kalbar

Kasus Hendra hanyalah puncak dari gunung es. Berdasarkan catatan yang diterima publik, Bank Kalbar ternyata tengah bergelut dengan rentetan skandal keuangan serupa. Sedikitnya empat cabang pembantu Bank Kalbar diketahui mengalami pembobolan dana yang merugikan bank hingga total Rp27,3 miliar. Selain Capem Karangan, kasus serupa juga terjadi di:

  • Kantor Cabang Singkawang, Kota Singkawang (kerugian Rp6 miliar)
  • Kantor Cabang Pemangkat, Kabupaten Sambas (kerugian Rp4,2 miliar)
  • Kantor Cabang Bengkayang (kerugian Rp100 juta)

Rangkaian kasus ini memunculkan sorotan tajam dari masyarakat terhadap sistem keamanan dan pengawasan internal Bank Kalbar. Laporan menyebutkan lemahnya kontrol, minimnya audit berkelanjutan, dan pengawasan manajemen risiko yang buruk menjadi faktor utama terjadinya kebocoran dana.

 

Tanggung Jawab Moral dan Kelembagaan

Tragedi hukum ini tidak hanya mengguncang internal Bank Kalbar, tetapi juga mencoreng citra Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai lembaga keuangan yang dipercaya oleh pemerintah daerah dan masyarakat untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal.

Skandal ini menunjukkan adanya krisis akuntabilitas dan integritas dalam tubuh Bank Kalbar. Banyak pihak kini mendesak agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, serta aparat penegak hukum turun tangan melakukan audit investigatif menyeluruh terhadap struktur manajemen dan prosedur pengawasan di bank tersebut.

Lembaga perbankan yang seyogianya menjaga kepercayaan nasabah kini justru menjadi sumber kecurigaan. Jika tidak segera dilakukan reformasi menyeluruh, maka kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan milik daerah akan terus tergerus.

 

Koreksi dan Reformasi Menyeluruh

Kasus Hendra Lazuardy menjadi peringatan keras bagi seluruh pimpinan bank, baik di daerah maupun pusat. Perbankan bukan hanya tentang laporan keuangan dan target pertumbuhan kredit, tetapi juga tentang menjaga amanah dan integritas dalam mengelola dana masyarakat.

Otoritas perbankan perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pemberian kredit, sistem manajemen risiko, dan mekanisme pelaporan internal. Dibutuhkan sistem digitalisasi yang kuat, audit independen berkala, serta budaya kerja yang menjunjung tinggi transparansi dan etika.

Di sisi lain, sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan perbankan seperti Hendra harus menjadi preseden bahwa kejahatan keuangan bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Hukuman berat kepada Hendra Lazuardy hanyalah satu langkah kecil dalam proses panjang memperbaiki ekosistem perbankan daerah. Lebih dari sekadar angka kerugian, kasus ini menyingkap realita rapuhnya sistem pengawasan di lembaga keuangan daerah yang mestinya menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi lokal.

Jika tidak segera dibenahi, skandal semacam ini hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi di tempat lain. Semoga kejadian ini menjadi momentum introspeksi, baik bagi institusi perbankan, pemerintah daerah, maupun seluruh lapisan masyarakat bahwa kepercayaan publik adalah modal yang tak ternilai – dan sekali rusak, tak mudah dipulihkan.

Next Post Previous Post