70 Jalur Tikus di Kalbar Jadi Gerbang Gelap PMI Ilegal: Menteri Karding Soroti Ancaman Perdagangan Orang dan Praktik Judi Online

  

Perbatasan Kalimantan Barat, yang semestinya menjadi simbol kedaulatan negara, kini menghadapi tantangan serius yang membayangi wajah perlindungan pekerja migran Indonesia. Tersembunyi di balik rimbunnya hutan dan sunyinya jalan-jalan tak resmi, terbentang setidaknya 70 jalur tikus yang diam-diam menjadi lorong keluar bagi ribuan warga negara Indonesia yang hendak mencari nafkah di negeri orang—tanpa prosedur, tanpa perlindungan, dan tanpa kepastian hukum.

Pernyataan ini datang dari Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, dalam sebuah acara formal yang tak hanya penuh nuansa akademik tetapi juga sarat pesan kemanusiaan. Di Aula Rektorat Universitas Tanjungpura, Pontianak, Sabtu, 21 Juni, ia hadir dalam pelantikan Pengurus DPD Ikatan Alumni Universitas Diponegoro (Ika Undip) Kalimantan Barat, namun yang disampaikannya jauh melampaui urusan organisasi. Ia mengungkap realita kelam yang selama ini tertutup dari sorotan publik—tentang betapa rumit dan berbahayanya persoalan pekerja migran ilegal di Indonesia.

“Masalah besar yang kami hadapi di kementerian adalah pekerja migran ilegal. Mereka keluar negeri tanpa prosedur yang sah, lalu mengalami kekerasan, mereka disiksa, dan mengalami ketidakadilan. Ini terjadi karena mereka adalah PMI non-prosedural,” ujar Karding dalam nada yang nyaris tak bisa menyembunyikan keprihatinan mendalam.

Kalimat-kalimat yang ia sampaikan tidak dilontarkan tanpa dasar. Data resmi dari Kementerian P2MI menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5 juta pekerja migran Indonesia yang saat ini berada di luar negeri tanpa melalui jalur yang legal. Mereka tidak tercatat secara administratif, tidak memiliki jaminan perlindungan dari negara, dan dalam banyak kasus, menjadi korban eksploitasi dalam berbagai bentuknya. Mayoritas dari mereka melintas melalui jalur tikus di wilayah perbatasan seperti Kalimantan Barat, atau menggunakan visa turis yang kemudian disalahgunakan untuk bekerja secara ilegal di negara tujuan.

Masalah ini, menurut Karding, menjadi sangat kompleks karena tidak semua pekerja migran ilegal terjerat dalam pusaran kejahatan transnasional seperti perdagangan orang atau scamming. Beberapa di antaranya hanyalah warga biasa yang mencoba mencari penghidupan lebih baik, namun sayangnya tertipu atau tergoda oleh kemudahan jalur pintas. “Di Kamboja, mereka bukan PMI secara formal karena tidak pakai visa kerja. Tapi kita tidak bisa lepas tangan. Kita harus tangani semua,” kata Karding tegas.

Kamboja dan Myanmar menjadi dua contoh negara yang kini kerap dikaitkan dengan gelombang PMI non-prosedural dari Indonesia. Di Kamboja, sebagian besar PMI bekerja dalam industri yang terhubung dengan praktik judi online. Mereka masuk menggunakan visa turis, dan saat berada di negara tujuan, mereka dipekerjakan secara ilegal tanpa jaminan hukum. Sebagian memang menjadi korban TPPO, khususnya dalam skema scamming yang marak di dunia maya, tetapi banyak pula yang hanya menjadi bagian dari sistem abu-abu perburuhan digital.

Sementara itu, situasi di Myanmar bahkan lebih mengkhawatirkan. Negara yang dilanda konflik berkepanjangan itu menjadi ladang subur bagi sindikat perdagangan orang yang menargetkan para pekerja migran tak berdokumen dari berbagai negara. PMI Indonesia yang tertangkap di sana umumnya tidak tahu bahwa mereka dibawa ke zona konflik, dan pada akhirnya menjadi tawanan sistem yang brutal.

Karding juga menyinggung masalah sosial lainnya yang kerap muncul akibat status ilegal para PMI ini, seperti persoalan anak-anak mereka yang lahir di luar negeri tanpa identitas resmi. Anak-anak ini hidup dalam limbo hukum: tidak memiliki akta lahir, tidak memiliki status kewarganegaraan, dan tak jarang mengalami kesulitan mengakses pendidikan maupun layanan kesehatan.

Untuk itu, kementeriannya kini tengah menjalankan program yang bertujuan membantu mengurus dokumen-dokumen resmi seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), dan status kewarganegaraan bagi para PMI dan anak-anak mereka. “Kalau ingin kembali bekerja ke luar negeri, kita arahkan agar berangkat secara legal dan kita latih skill-nya. Kalau tidak, kita latih jadi wirausaha,” kata Karding sembari menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi bagi mantan PMI agar tidak kembali terjerat dalam sistem kerja ilegal.

Pemberantasan PMI non-prosedural ini, menurutnya, bukan hanya tugas pemerintah pusat. Ia menyatakan perlunya sinergi antara kementerian dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk perguruan tinggi dan komunitas alumni seperti Ika Undip. Ia mengajak seluruh alumni perguruan tinggi, tidak hanya dari Undip, untuk mengambil peran aktif dalam menciptakan tata kelola migrasi yang aman dan berkeadilan. Kolaborasi itu bisa berupa pelatihan keterampilan bagi calon pekerja migran, penyuluhan tentang prosedur legal, maupun pendampingan hukum bagi PMI yang bermasalah.

“Saya tidak hanya berharap pada alumni Undip, tetapi semua alumni perguruan tinggi untuk bisa mengambil peran signifikan berkolaborasi dengan kementerian kami agar imigran aman dan pemberdayaan migran,” jelasnya, kali ini dengan semangat yang menggema di seluruh ruangan.

Di sisi lain, Ketua Ika Undip Kalbar, Garuda Wiko, turut menyampaikan komitmen organisasinya dalam membantu persoalan di wilayah perbatasan. Ia mengatakan bahwa Ika Undip Kalbar sebelumnya telah menjalankan program edukasi di kawasan perbatasan dan akan melanjutkan program tersebut demi membantu masyarakat yang selama ini hidup dalam ketidakpastian hukum dan ekonomi.

“Sebagaimana kita ketahui di perbatasan ini ada juga kegiatan migran yang bekerja di negara tetangga,” ucap Garuda, sembari menyiratkan betapa aktivitas lintas batas ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di wilayah-wilayah seperti Entikong, Badau, dan Aruk—nama-nama yang kini identik dengan jalur migrasi informal.

Selain program edukasi bagi calon PMI, Ika Undip Kalbar juga menjalankan program lain yang fokus pada pencegahan stunting melalui penyuluhan gizi bagi ibu hamil. Menurut Garuda, masalah kesehatan ibu dan anak juga tak kalah pentingnya dari persoalan migrasi ilegal karena keduanya menyangkut masa depan generasi muda, terutama yang lahir dalam kondisi ekonomi dan sosial yang rentan.

“Ketua umum sudah menyatakan akan mendukung dua program ini jadi mudah-mudahan itu bisa membawa manfaat bagi masyarakat,” tambahnya, penuh harap agar kontribusi kecil dari alumni-alumni ini bisa menjadi bagian dari solusi besar yang tengah dikejar oleh pemerintah.

Dari balik podium dan diskusi formal, realitas tak terbantahkan terus membayang. Bahwa di luar sana, di tengah hutan rimba Kalimantan Barat, 70 jalur tikus tetap terbuka lebar. Setiap malam, ada saja yang melintas, berharap pada nasib baik, tapi tak tahu bahwa langkah mereka mungkin saja menuju jebakan panjang yang bernama eksploitasi modern. Dan di saat yang sama, di ruang-ruang ber-AC dan aula kampus, sejumlah pemikir mencoba menyusun ulang narasi baru—tentang migrasi yang manusiawi, tentang kerja di luar negeri yang aman, dan tentang negara yang tak pernah lepas tangan dari warganya. 

Next Post Previous Post