Tembakan di Barabai: Ketika Seorang Polisi Tersandung Narkoba dan Tersungkur di Tangan BNN
Barabai, Kalimantan Selatan — Hari Selasa, 29 April 2025,
menjadi hari yang mengejutkan bagi masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Tengah
(HST), Kalimantan Selatan. Sebuah rumah makan sederhana di Barabai, yang
biasanya dipenuhi aroma masakan lokal dan obrolan santai warga, mendadak
menjadi lokasi aksi penyergapan mendebarkan. Petugas Badan Narkotika Nasional
(BNN) Kalsel melancarkan operasi senyap yang akhirnya berujung tembakan.
Sasaran mereka bukanlah warga sipil biasa, melainkan seorang anggota polisi aktif,
berinisial MD, yang bertugas di jajaran Polres Hulu Sungai Tengah.
MD, yang diketahui menjabat sebagai Bhabinkamtibmas di wilayah Polsek Limpasu, HST, diduga kuat terlibat dalam jaringan peredaran narkoba yang sedang dipantau BNN sejak beberapa waktu terakhir. Tak sekadar menjadi pemantau keamanan masyarakat, MD ternyata diam-diam bermain api dengan barang haram yang selama ini diperangi oleh institusinya sendiri. Ketika operasi penyergapan itu dilakukan, MD berusaha melarikan diri, sebuah tindakan yang membuat petugas BNN harus mengambil tindakan tegas: melepaskan tembakan ke arah target.
Detik-detik Penyergapan: Aksi Mendebarkan di Tengah Kota Kecil
Keterangan awal yang diperoleh dari sumber internal menyebutkan bahwa operasi ini telah dirancang cukup lama. Tim BNN Kalimantan Selatan melakukan pengintaian intensif terhadap pergerakan MD, yang diyakini memiliki peran penting dalam jalur distribusi narkotika di kawasan HST. Barabai, kota kecil yang menjadi pusat administrasi kabupaten, dipilih MD untuk bertemu seseorang di rumah makan yang tidak disebutkan namanya. Diduga, tempat itu menjadi titik temu antara jaringan pengedar.
Saat penyergapan dilakukan, MD menunjukkan respons agresif. Alih-alih menyerah, ia justru mencoba kabur dari tempat kejadian. Dalam situasi yang berisiko membahayakan petugas dan masyarakat sekitar, anggota BNN melepaskan tembakan terukur yang mengenai tangan dan kaki MD. Sontak, suasana berubah mencekam. Para pengunjung rumah makan berhamburan keluar, sementara MD tergeletak kesakitan di lantai, bersimbah darah namun masih sadar.
Petugas langsung melakukan tindakan pertama sebelum membawa MD ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Damanhuri Barabai. Namun karena kondisi lukanya cukup parah, khususnya di bagian kaki yang diduga mengalami pendarahan hebat, MD akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara di Kota Banjarmasin, sekitar 180 kilometer dari lokasi kejadian.
Pimpinan Polda Turun Tangan: Tegas Tanpa Pandang Bulu
Menanggapi insiden yang menyedot perhatian publik ini, Wakil
Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, Brigjen Pol Golkar Pangarso
Rahardjo Winarsadi, langsung turun tangan. Ia mendatangi RS Bhayangkara untuk
melihat langsung kondisi bawahannya yang kini menjadi tersangka dalam kasus
memalukan tersebut.
Dalam pernyataan singkat kepada wartawan usai kunjungan, Brigjen Golkar mengonfirmasi kondisi MD. "Lukanya berada di bagian tangan dan kaki. Saat ini masih dalam penanganan medis dan akan terus diawasi," ungkapnya. Namun, ketika ditanya soal kronologi lengkap penyergapan dan keterlibatan MD, Golkar memilih untuk belum berkomentar lebih lanjut. “Kami masih mengumpulkan semua keterangan. Detailnya akan kami sampaikan segera,” katanya.
Meski demikian, Golkar memberikan penegasan penting yang menjadi pesan moral dari institusi kepolisian: “Kami tidak akan pandang bulu. Siapa pun yang terlibat dalam kejahatan narkoba, apalagi anggota kepolisian sendiri, akan ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku,” ucapnya.
MD: Dari Pengayom Jadi Tersangka
MD, yang dikenal sebagai petugas Bhabinkamtibmas di wilayah pedalaman HST, selama ini dikenal cukup aktif berinteraksi dengan masyarakat. Sebagai ujung tombak pelayanan kepolisian di tingkat desa dan kelurahan, peran Bhabinkamtibmas sangat vital dalam menjaga hubungan baik antara polisi dan masyarakat. Ironisnya, justru posisi ini yang diduga digunakan MD untuk menutupi aktivitas gelapnya.
Belum diketahui secara pasti sudah berapa lama MD terlibat dalam jaringan peredaran narkoba, atau seberapa besar peran yang ia mainkan. Namun fakta bahwa seorang anggota aktif kepolisian bisa tergelincir dalam bisnis haram ini telah menjadi alarm keras bagi internal Polri dan masyarakat umum.
Dari sumber yang enggan disebutkan namanya, diketahui bahwa MD beberapa kali menunjukkan gaya hidup yang tidak sesuai dengan profil seorang polisi desa biasa. Ia disebut sering bepergian ke luar kota dengan kendaraan mewah, dan kadang kala terlihat menghabiskan waktu di tempat hiburan malam. Namun, semua itu sebelumnya hanya dianggap sebagai gosip tak berdasar — sampai akhirnya penyergapan BNN membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah.
Reaksi Masyarakat dan LSM Antinarkoba
Masyarakat Barabai dan sekitarnya merespons kejadian ini dengan rasa kecewa sekaligus khawatir. Tidak sedikit warga yang merasa dikhianati oleh sosok yang selama ini dianggap sebagai pelindung mereka. "Kalau polisi saja yang seharusnya melindungi kita dari narkoba, malah ikut menjualnya, kami harus percaya siapa lagi?" ujar Haji Ruslan, tokoh masyarakat setempat.
Sementara itu, sejumlah LSM yang bergerak di bidang pencegahan narkoba menyuarakan keprihatinan mendalam. Menurut Koordinator Gerakan Anti-Narkoba Kalsel (GRAN-KS), Fitria Wahyuni, peristiwa ini menunjukkan bahwa sindikat narkoba tidak mengenal batas institusi.
“Ini bukan pertama kalinya aparat terlibat dalam kasus narkoba. Tapi setiap kali itu terjadi, kepercayaan publik terhadap aparat hukum kembali tercabik. Kami berharap Polri benar-benar menindaklanjuti kasus ini secara transparan dan tidak berhenti hanya pada MD saja. Harus ditelusuri siapa yang menjadi pemasoknya, jaringannya, dan siapa yang melindunginya selama ini,” ujar Fitria.
Konsekuensi Hukum dan Etik: Pemecatan Mengintai
Sesuai aturan internal Polri, setiap anggota yang terbukti terlibat dalam tindak pidana, apalagi narkoba, akan dikenai sanksi tegas berupa pemecatan tidak dengan hormat (PTDH). Proses ini tentunya akan mengikuti hasil penyidikan dan keputusan pengadilan.
Jika terbukti bersalah, MD bukan hanya menghadapi pemecatan, tetapi juga ancaman pidana berat sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hukuman maksimal bisa mencapai penjara seumur hidup, tergantung pada peran dan jumlah barang bukti yang ditemukan.
Di sisi lain, kasus ini membuka kembali diskusi tentang pentingnya reformasi dalam tubuh institusi kepolisian, terutama dalam hal pengawasan internal dan pembinaan mental anggotanya. Banyak pihak menilai bahwa tekanan ekonomi, lemahnya pengawasan, dan celah dalam sistem rekrutmen masih menjadi titik lemah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum untuk terlibat dalam aktivitas ilegal.
Apakah MD Hanya Kambing Hitam?
Pertanyaan yang juga muncul di tengah masyarakat adalah: apakah MD bertindak sendiri atau menjadi bagian dari jaringan yang lebih besar? Beberapa analis hukum menilai, sangat jarang seorang anggota polisi bermain sendiri dalam kasus peredaran narkoba, apalagi di wilayah yang sudah lama menjadi jalur lintas distribusi barang haram dari pulau lain.
Kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk dari institusi, menjadi poin penting yang patut diselidiki. Beberapa pihak mendesak agar BNN dan Divisi Propam Polri mengusut kasus ini secara menyeluruh, bukan hanya berhenti pada pelaku lapangan.
“Jika memang MD hanya ujung dari mata rantai panjang, maka mencopot satu orang tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ditelusuri siapa pemasoknya, siapa penadahnya, dan siapa yang selama ini menutup-nutupi aktivitas ilegal itu,” ujar pengamat kepolisian nasional, Bambang Rachman, dalam sebuah wawancara daring.