Perut Malaysia, Jiwa Indonesia: Jeritan Batin Warga Perbatasan Kaltara dan Upaya Pemerintah Menjawab Ketimpangan

  

Di tengah sorotan akan pesatnya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan semangat pemerintah pusat mempercepat kemajuan wilayah Indonesia timur, Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara), Zainal Arifin Paliwang, menyuarakan keluh kesah yang memilukan dari wilayah yang kerap terlupakan: perbatasan Indonesia-Malaysia. Dalam rapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Zainal menyampaikan kondisi pelik yang dialami warganya—rakyat Indonesia yang secara administratif berada di NKRI, namun perutnya bergantung pada negeri jiran, Malaysia.

 

"Perut Malaysia", Sebuah Sindiran Pedas dari Realitas

"Ada dua wilayah kami dan beberapa wilayah kami yang akses darat belum tembus, pimpinan. Semua masih menggunakan moda transportasi udara atau lewat sungai dengan arung jeram," ujar Zainal lantang. Pernyataan itu bukan sekadar pengakuan atas kondisi infrastruktur yang minim, tapi juga sinyal genting bahwa warga perbatasan merasa lebih dekat secara ekonomi dan logistik ke Malaysia dibanding ke pemerintah pusat.

Menurut Zainal, warga di sejumlah kecamatan perbatasan seperti Krayan di Kabupaten Nunukan, serta Apau Kayan di Kabupaten Malinau, menggantungkan kebutuhan sehari-hari—termasuk pangan dan bahan bangunan—dari kota-kota di Sabah dan Sarawak. Hal ini disebabkan karena jalur darat dari pusat kota atau ibukota kabupaten tak bisa dilalui kendaraan. Akses sungai pun penuh tantangan dan rawan, apalagi di musim hujan.

"Untung mereka masih NKRI. Tapi perutnya Malaysia, pimpinan. Kita ini negara besar, negara Republik Indonesia, kita malu ketergantungan semuanya dari Malaysia. Malu sebenarnya," tegas Zainal, menyampaikan dengan nada getir.

 

Logistik Mahal, Harga Melambung, Kesejahteraan Menurun

Minimnya infrastruktur jalan bukan hanya persoalan teknis, tapi telah berdampak pada aspek paling dasar kehidupan masyarakat. Harga bahan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, hingga semen dan bahan bangunan di kawasan perbatasan melambung tinggi. Untuk menyalurkan satu karung semen, misalnya, harus menggunakan helikopter atau perahu motor menyusuri sungai, dengan ongkos jauh lebih mahal dibanding harga semennya sendiri.

Warga di wilayah Krayan misalnya, lebih mudah membeli beras dan kebutuhan rumah tangga dari pasar di Ba’kelalan atau Lawas, Sarawak, ketimbang menunggu distribusi dari Tarakan atau Tanjung Selor. Situasi ini membuat rupiah kalah bersaing dengan ringgit Malaysia di tanah sendiri.

"Ada yang bilang, ringgit lebih berguna di sana ketimbang rupiah. Ini ironis, di negeri sendiri, uang negara sendiri tidak punya daya," ungkap salah satu tokoh masyarakat perbatasan yang tak ingin disebut namanya.

 

Subsidi Pemerintah Daerah: Bantalan yang Makin Tipis

Guna meringankan beban rakyat perbatasan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp15 miliar setiap tahun untuk subsidi logistik dan transportasi, termasuk angkutan barang dan penumpang. Namun, jumlah ini belum memadai untuk menjangkau seluruh titik rawan dan terpencil di wilayah provinsi termuda Indonesia tersebut.

Lebih miris lagi, Gubernur Zainal mengkhawatirkan bahwa alokasi subsidi ini bisa menyusut akibat kebijakan efisiensi anggaran yang direncanakan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto.

"Subsidi angkutan orang dan barang kepada masyarakat kami yang ada di perbatasan setiap tahun kami anggarkan Rp15 miliar. Tetapi, mungkin tahun ini akan menyusut dengan adanya efisiensi," ujarnya.

Zainal berharap pemerintah pusat tidak hanya melihat angka, tapi juga realitas kehidupan warga perbatasan yang selama ini menjadi garda terdepan menjaga kedaulatan Indonesia secara senyap.

 

Kolaborasi Antarprovinsi: Sinar Harapan dari Balik Pegunungan

Di tengah keterbatasan, secercah harapan mulai tumbuh dari kerja sama dua provinsi bersaudara: Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud yang baru menjabat, menunjukkan solidaritas dengan menandatangani kesepakatan pembangunan infrastruktur jalan yang menghubungkan dua wilayah.

Jalan perbatasan yang direncanakan ini akan melintasi dari Kecamatan Long Bagun, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, sepanjang 120 kilometer, menuju Kecamatan Apau Kayan, Malinau, Kalimantan Utara, sepanjang 22 kilometer.

“Alhamdulillah, kita telah bersepakat dengan Gubernur Kaltara untuk bersama-sama membangun dan menghubungkan jalan di perbatasan, yang nantinya akan menghubungkan Kaltim dan Kaltara melalui Kabupaten Mahulu dan Kabupaten Malinau,” kata Rudy dalam pertemuan resmi di Kediaman Gubernur Kaltim di Gunung Bahagia, Balikpapan.

Menurut Rudy, pembangunan jalan ini bukan hanya soal konektivitas, tapi juga strategi jangka panjang membangun ketahanan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Ia menyebut Kaltara sebagai "saudara kandung Kaltim yang terpisah oleh batas administratif".

 

Jalan Terjal Menuju Keadilan Pembangunan

Pembangunan jalan lintas perbatasan menjadi prioritas penting bukan hanya untuk memudahkan akses logistik dan ekonomi, tapi juga untuk memperkuat rasa ke-Indonesiaan di wilayah yang secara kultural dan geografis lebih dekat ke Malaysia.

Namun, tantangan bukan hanya teknis. Topografi perbukitan dan hutan lebat menjadi hambatan utama, selain tentu saja pembebasan lahan dan keterbatasan dana. Jalan sepanjang 142 kilometer tersebut diperkirakan membutuhkan dana ratusan miliar rupiah dan bisa memakan waktu bertahun-tahun jika tak didukung penuh pemerintah pusat.

Belum lagi soal keamanan, mengingat sejumlah wilayah perbatasan juga masih tergolong rawan, baik karena potensi penyelundupan barang ilegal maupun minimnya kehadiran aparat keamanan dan fasilitas negara lainnya.

 

Mengawal Perbatasan, Menjaga Harga Diri Bangsa

Apa yang disampaikan Gubernur Zainal bukan sekadar curahan hati seorang kepala daerah, melainkan alarm nasional yang perlu didengar dengan seksama oleh seluruh pemangku kebijakan. Warga perbatasan adalah simbol nyata dari makna kedaulatan dan keutuhan negara. Jika mereka merasa lebih dilayani oleh negara tetangga, maka pertanyaan besar perlu diajukan: sejauh mana negara hadir bagi rakyatnya?

Indonesia telah merdeka selama lebih dari tujuh dekade. Namun, kemerdekaan hakiki baru akan tercapai ketika seluruh rakyatnya, dari Sabang hingga Krayan, dari Merauke hingga Miangas, merasakan kehadiran negara secara adil dan setara.

Pembangunan jalan perbatasan Kalimantan Timur–Kalimantan Utara adalah awal yang menjanjikan. Namun, harus ada upaya lanjutan berupa kebijakan lintas sektor: pendidikan, kesehatan, internet, pasar, dan layanan publik lainnya.

 

Menggenggam Masa Depan di Ujung Negeri

Apa yang dikatakan Zainal: “Mereka masih NKRI, tapi perutnya Malaysia,” harus menjadi cambuk moral bagi semua pihak. Ketika rakyat di garis terdepan merasa lebih mudah membeli garam dari Malaysia ketimbang dari Indonesia sendiri, maka pembangunan bukan hanya gagal menjangkau, tapi juga gagal memanusiakan.

Pembangunan jalan lintas Mahulu–Apau Kayan bukan sekadar proyek fisik. Ia adalah jembatan batin antara negara dan rakyatnya. Sebuah langkah untuk memastikan bahwa tak ada lagi warga negara Indonesia yang merasa ditinggalkan. Bahwa di manapun mereka berada, negara hadir. Bahwa mereka adalah bagian dari masa depan Indonesia, bukan catatan kaki dari sejarah.

Sudah saatnya membalik narasi: dari "perut Malaysia" menjadi "sejahtera Indonesia". Dan itu hanya bisa dicapai jika suara dari perbatasan dijadikan kompas arah pembangunan nasional.

Previous Post