Mafia Tanah Menggila di Kalbar: Ketika Rakyat Terpinggirkan dan Negara Dirampas dari Dalam
Di balik hamparan hijau Kalimantan Barat yang kaya akan
sumber daya alam dan potensi agraria, tersembunyi wajah muram dari sebuah
kejahatan yang terus mencengkeram dan menekan kehidupan rakyat kecil: mafia
tanah. Fenomena ini bukan lagi cerita dari ruang pengadilan atau arsip laporan
media semata, melainkan kenyataan pahit yang merangsek masuk ke dalam sendi
kehidupan masyarakat di seluruh 14 kabupaten dan kota di Kalbar.
Dr. Herman Hofi Munawar, seorang praktisi hukum dan pengamat kebijakan publik, menyuarakan peringatan keras terkait situasi darurat ini. Dalam pernyataannya pada Kamis, 15 April 2025, ia menyebutkan bahwa praktik mafia tanah di Kalbar sudah memasuki tahap mengkhawatirkan dan bahkan mengancam stabilitas sosial serta rasa keadilan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara.
Bencana Agraria dalam Balutan Rapi Administrasi
Masalah mafia tanah bukanlah sesuatu yang baru. Namun,
yang terjadi di Kalbar justru menampilkan level baru dari pola kejahatan
terorganisir yang rapi dan sistematis. Dr. Herman menggambarkannya sebagai
sebuah jaringan yang telah menjalar ke semua lini pemerintahan, termasuk
perangkat desa, notaris, PPAT, hingga oknum pejabat Badan Pertanahan Nasional
(BPN).
“Mafia tanah di Kalbar terus mencengkeram. Ini bukan sekadar masalah hukum biasa, tapi menyangkut hak konstitusional masyarakat dan kedaulatan negara atas tanahnya,” ujarnya lantang.
Praktik-praktik yang dilakukan oleh jaringan ini sangat variatif, mulai dari penerbitan sertifikat ganda, pemalsuan dokumen, manipulasi data pertanahan, hingga rekayasa perkara di pengadilan untuk memenangkan pihak-pihak yang berkepentingan. Korbannya tak lain adalah masyarakat adat, petani kecil, dan warga biasa yang telah menempati dan mengelola lahan mereka selama puluhan tahun—bahkan ada yang sampai lebih dari setengah abad.
Tumpang Tindih Sertifikat, Hak Rakyat Digeser
Modus yang paling sering ditemukan adalah tumpang tindih
sertifikat. Bayangkan sebuah keluarga yang telah menanam keringat dan harapan
di atas tanah yang mereka rawat selama 50 tahun, tiba-tiba mendapat kabar bahwa
lahan tersebut telah bersertifikat atas nama orang lain. Tanpa peringatan,
mereka berubah dari pemilik sah menjadi 'pendatang liar' di tanah sendiri.
Lebih parah lagi, sertifikat baru itu dikeluarkan oleh pihak yang justru punya kedekatan dengan oknum berkuasa. Ada dugaan kuat bahwa dokumen-dokumen tersebut dikeluarkan dengan dukungan administrasi hasil rekayasa, dan lebih ironisnya lagi, lolos verifikasi sistem pertanahan nasional.
“Tanah rakyat bisa berpindah tangan hanya karena permainan kertas dan stempel. Ini adalah bentuk kejahatan struktural,” tegas Dr. Herman.
Ia menekankan bahwa kejahatan semacam ini tidak bisa dipandang sebagai kasus individu semata, melainkan sebagai jaringan sistemik yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Tim Khusus, Hanya Hiasan?
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat sejatinya tidak
tinggal diam. Kepolisian Daerah Kalbar dan Kejaksaan Tinggi Kalbar telah
membentuk tim khusus untuk menangani kasus-kasus mafia tanah. Namun, sayangnya,
gebrakan yang dinanti-nanti publik belum kunjung terlihat. Tidak ada kasus
besar yang terbongkar, tidak ada tersangka utama yang ditangkap, dan tak ada
jaringan yang dibongkar hingga ke akar-akarnya.
Dr. Herman menyayangkan bahwa keberadaan tim tersebut belum menunjukkan efektivitas nyata. Ia menyebutkan bahwa saat ini masyarakat masih harus berjuang sendiri menghadapi ketidakpastian hukum, bahkan hingga ke meja hijau, dengan modal seadanya dan berhadapan dengan kekuatan uang serta pengaruh.
“Kondisi pertanahan di Kalbar tidak sedang baik-baik saja. Masyarakat tergusur, negara dirugikan, namun belum terlihat langkah konkret dari pemda dan aparat penegak hukum,” ucapnya.
Dampak Sistemik: Dari Ketimpangan hingga Trauma Sosial
Dampak dari praktik mafia tanah ini tidak hanya bersifat
hukum, tetapi merambat ke aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Banyak warga
yang kehilangan lahan produktifnya—kebun, sawah, ladang—dan akhirnya dipaksa
beralih menjadi buruh di perusahaan sawit atau properti yang kini berdiri megah
di atas tanah mereka dulu.
“Ini bukan hanya menciptakan ketimpangan ekonomi yang tajam, tapi juga trauma sosial. Rakyat kehilangan rasa memiliki, kehilangan identitas, dan kehilangan harapan,” jelas Dr. Herman.
Ia menambahkan bahwa kondisi seperti ini menjadi penghambat serius dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Ketidakpastian hukum terkait kepemilikan tanah membuat investor lokal enggan menanamkan modal, dan masyarakat pun menjadi pasif serta apatis terhadap proses pembangunan.
“Kalau tanah saja bisa direbut dengan mudah, bagaimana masyarakat bisa percaya pada sistem? Bagaimana bisa ada pertumbuhan ekonomi kalau dasar hak milik rakyat sendiri tidak aman?” tanyanya retoris.
Negara Harus Hadir: Seruan Tegas untuk Pemda dan Penegak Hukum
Dr. Herman mendesak pemerintah daerah, aparat penegak
hukum, dan lembaga pertanahan untuk segera mengambil langkah-langkah konkret
dan berani. Ia menilai bahwa masalah mafia tanah tidak bisa ditangani setengah
hati atau hanya sekadar formalitas pembentukan tim.
“Ini bukan sekadar soal sengketa kepemilikan. Ini adalah kejahatan terorganisir yang mengancam hak masyarakat dan integritas negara,” ujarnya.
Ia mendorong adanya audit menyeluruh terhadap semua proses administrasi pertanahan di Kalbar, pembentukan pengadilan khusus pertanahan, serta pemberian bantuan hukum gratis kepada masyarakat korban mafia tanah. Selain itu, keterlibatan aktif organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media sangat diperlukan untuk membangun tekanan publik dan menjaga transparansi.
Dr. Herman juga mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo sendiri telah memberi perhatian serius pada masalah mafia tanah, bahkan secara nasional telah dikeluarkan pedoman dan strategi penanganan. Namun sayangnya, implementasi di daerah masih sangat lemah.
“Pemda harus mengambil sikap tegas. Ini bukan sekadar masalah hukum, tapi soal keadilan sosial. Kalau tidak segera ditangani, praktik mafia tanah ini akan menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat dan memperlambat pembangunan Kalbar,” tegasnya.
Membangun Perlawanan dari Bawah
Meski begitu, Dr. Herman percaya bahwa perubahan bisa
dimulai dari bawah. Ia mengajak masyarakat untuk lebih aktif memahami hak-hak
agraria mereka, menuntut kejelasan legalitas atas tanah yang mereka kuasai,
serta membangun jaringan advokasi hukum di tingkat lokal.
“Jangan takut melawan mafia tanah. Jika rakyat bersatu, jika informasi terbuka, jika hukum berpihak pada kebenaran—kita bisa hentikan ini,” pungkasnya.
Ia juga menyarankan agar masyarakat terdampak mendokumentasikan semua proses dan bukti yang mereka miliki, serta tidak ragu untuk melaporkan ke Ombudsman, Komnas HAM, atau bahkan langsung ke Kementerian ATR/BPN pusat.
Apa yang terjadi di Kalimantan Barat bukan hanya soal
tanah. Ini soal hak, soal rasa keadilan, soal masa depan bangsa. Ketika tanah
yang diwariskan dari nenek moyang direbut secara ilegal, maka sesungguhnya yang
dirampas bukan hanya properti, tetapi juga martabat dan sejarah.
Dr. Herman Hofi Munawar telah meletakkan cermin di hadapan kita semua: untuk melihat seberapa jauh kita telah membiarkan hukum dibungkam, dan seberapa siap kita melawan balik. Mafia tanah tidak akan lenyap dengan sendirinya. Diperlukan keberanian, ketegasan, dan solidaritas yang kokoh antara rakyat dan negara.
Kalbar, dengan segala potensi dan kekayaannya, layak mendapatkan masa depan yang lebih adil—dimulai dari mengembalikan hak atas tanah kepada mereka yang selama ini dijadikan korban oleh keserakahan.