Kalimantan Timur dalam Gelap: Ketika Kemiskinan dan Pengangguran Merayap dari Perbatasan

 

Samarinda, Kalimantan Timur – Di tanah yang kelak akan menjadi jantung pemerintahan Indonesia—di mana Ibu Kota Nusantara (IKN) dibangun dengan gemilang—masih ada desa-desa yang hidup dalam kegelapan. Tidak secara metaforis, tetapi harfiah: tanpa listrik, tanpa jalan, tanpa jaminan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.

Di tengah gegap gempita pembangunan nasional, Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, menyampaikan realita yang berbeda. Dalam forum Sosialisasi Pilar Sosial yang digelar bersama Menteri Sosial RI di Gedung Olah Bebaya, Kompleks Rumah Jabatan Gubernur Kaltim pada Sabtu (10 Mei 2025), Rudy membuka luka lama yang hingga kini belum sembuh: kemiskinan dan pengangguran yang membelenggu banyak wilayah pedalaman Kalimantan Timur.

“Angka kemiskinan kita memang lebih rendah dari nasional. Tapi lihatlah Mahakam Ulu, lihatlah kawasan perbatasan. Ada warga kami yang bahkan tidak tahu rasanya hidup dengan listrik,” ungkap Rudy dengan nada getir.

 

Statistik yang Tak Bicara Semuanya

Secara statistik, Kalimantan Timur bisa membanggakan diri. Tingkat kemiskinan 5,78 persen memang di bawah rata-rata nasional yang masih menyentuh 8,57 persen. Tapi di balik angka itu, kesenjangan geografis dan infrastruktur membuat banyak daerah tertinggal jauh dari denyut kemajuan.

“Tantangan geografis kami ini luar biasa kompleks. Tidak semua daerah bisa dijangkau dengan mudah. Bahkan untuk masuk ke satu kampung di Mahakam Ulu saja, perlu berhari-hari perjalanan sungai,” ujar Gubernur yang akrab disapa Harum.

Pengangguran terbuka juga masih tinggi: 5,75 persen. Masalah ini tidak berdiri sendiri, tapi berkelindan dengan keterbatasan akses pendidikan, buruknya fasilitas kesehatan, dan infrastruktur jalan yang minim.

“Jalan, listrik, dan pendidikan adalah fondasi utama. Kalau tidak ada itu, kita tidak bisa berharap kemiskinan turun,” jelas Rudy.

 

Harga Semen Rp 800 Ribu dan BBM Rp 30 Ribu: Realitas di Perbatasan

Angka-angka menjadi lebih tragis ketika diterjemahkan ke dalam harga kebutuhan pokok. Di banyak wilayah pedalaman dan perbatasan, harga semen bisa mencapai Rp 800 ribu per zak. Itu hampir lima kali lipat dari harga normal di kota. BBM bahkan bisa menyentuh Rp 30 ribu per liter, sebuah angka yang bagi masyarakat kota mungkin hanya terjadi saat krisis global.

Gubernur Harum menyebutkan bahwa kondisi ini menjadi beban ganda bagi masyarakat: bukan hanya miskin secara pendapatan, tetapi juga harus menghadapi biaya hidup yang sangat tinggi.

“Ini ironi besar. Di negeri yang kaya sumber daya alam, rakyat di perbatasan hidup seolah di negeri terasing. Harga barang selangit, infrastruktur tak kunjung sampai,” katanya.

 

1.038 Desa dan Kelurahan, Tapi Tak Semua Terang

Kalimantan Timur memiliki 1.038 desa dan kelurahan. Tapi tidak semuanya merasakan terang. Masih banyak wilayah yang belum tersambung aliran listrik. Di beberapa daerah, masyarakat menggunakan lampu minyak atau genset dengan biaya tinggi sebagai satu-satunya sumber penerangan.

“Sebagian masih hidup dalam kegelapan. Kondisi inilah yang membuat warga kami miskin,” ucap Rudy.

Ketiadaan listrik bukan hanya soal terang atau gelap, tetapi tentang akses pengetahuan, koneksi internet, dan peluang ekonomi. Anak-anak tak bisa belajar dengan baik, orang tua tak bisa menyimpan hasil panen dengan benar, dan pelaku usaha mikro tak bisa bersaing.

 

Kemiskinan yang Berakar dalam Struktur

Kondisi ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Kaltim bukan soal malas bekerja atau rendahnya semangat juang. Ini kemiskinan yang bersifat struktural, berakar pada ketimpangan distribusi pembangunan.

“Kalau anak muda di kampung tidak bisa sekolah karena tidak ada guru, atau ibu hamil tidak bisa ke puskesmas karena jalan rusak, lalu bagaimana kami bisa keluar dari garis kemiskinan?” tanya Rudy retoris.

Gambaran ini berseberangan dengan citra Kaltim sebagai provinsi kaya akan sumber daya alam: batubara, minyak, dan gas. Namun, kekayaan alam tidak otomatis menciptakan kesejahteraan jika distribusinya timpang dan infrastrukturnya terputus.

 

Harapan dari Program Gratis Pol dan Jospol

Menyadari situasi tersebut, Gubernur Rudy Mas’ud menggulirkan dua program unggulan:

  • Gratis Pol (Pendidikan dan Kesehatan Gratis)
  • Jospol (Jaminan Sosial dan Pembangunan Infrastruktur)

Kedua program ini diarahkan untuk menyerang akar masalah: pendidikan yang tidak merata, layanan kesehatan yang tertinggal, dan akses jalan yang buruk. “Kami ingin membuat perubahan yang benar-benar terasa. Bukan hanya mencetak data bagus di laporan, tapi menyentuh hidup rakyat,” ujar Rudy penuh keyakinan.

Gratis Pol dirancang agar setiap anak Kalimantan Timur punya akses sekolah tanpa harus dibebani biaya. Sementara Jospol akan menggenjot pembangunan jalan desa, listrik pedalaman, dan jaminan sosial untuk keluarga miskin dan rentan.

 

Menuju Kaltim yang Setara dengan Malaysia dan Brunei

Dalam forum yang dihadiri langsung oleh Menteri Sosial RI dan para pemangku kebijakan pilar sosial dari berbagai daerah, Rudy juga menyoroti posisi geografis Kaltim yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan dekat dengan Brunei Darussalam.

“Kami ini tetangga negara yang maju. Kami tidak ingin terus tertinggal. Rakyat kami juga ingin maju, tapi mereka butuh alatnya,” tegasnya.

Harapan Rudy sederhana, tapi kuat: Kaltim ingin sejajar, bukan sekadar penonton dari balik perbatasan.


Sosial dan Infrastruktur: Dua Sayap Kesejahteraan

Dalam strategi pembangunan yang efektif, dimensi sosial dan infrastruktur harus berjalan seiring. Infrastruktur tanpa intervensi sosial hanya akan menciptakan ketimpangan baru. Sebaliknya, bantuan sosial tanpa perbaikan infrastruktur hanya akan bertahan jangka pendek.

“Kami tidak ingin sekadar memberi ikan. Kami ingin beri kailnya juga, dan pastikan sungainya tidak kering,” kata Rudy.

Ia percaya bahwa lewat kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan masyarakat sipil dan dunia usaha, mimpi membangun Kaltim yang inklusif dan sejahtera bisa terwujud.

Apa yang dihadapi Kalimantan Timur hari ini bukan sekadar tantangan pembangunan, tetapi pertarungan antara dua wajah Indonesia: yang terbangun dan yang masih tertinggal. IKN mungkin akan jadi etalase masa depan, tapi Mahakam Ulu, Krayan, dan perbatasan lainnya tetap membutuhkan uluran tangan masa kini.

Gubernur Rudy Mas’ud telah menyalakan api harapan di tengah gelap. Tapi api itu hanya akan menjadi cahaya jika dinyalakan bersama—oleh semua pihak yang percaya bahwa keadilan sosial bukanlah slogan, tapi kerja keras, tekad, dan kebijakan yang berpihak.

Next Post Previous Post