IKN dan Transisi Energi: Dari Batu Bara ke Surya, Menuju Kota Masa Depan yang Hijau
Matahari baru saja menyelinap ke balik hutan akasia ketika
saya tiba di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Nusantara. Perjalanan lima
kilometer dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara (IKN)
ternyata jauh lebih menantang dari dugaan. Jalan tanah merah licin bekas hujan,
diselingi kubangan lumpur dan kerikil tajam, membuat tubuh saya penuh lumpur,
motor kotor, dan baju kuyup oleh peluh.
Namun segala kepayahan itu terbayar lunas saat mata memandang hamparan 21.600 panel surya yang menyerap sinar matahari terakhir hari itu. Di tengah heningnya senja Kalimantan, panel-panel itu tampak seperti pasukan berjajar rapi, bersiap menyambut masa depan energi bersih Indonesia.
Selamat datang di garis depan transformasi energi Indonesia—tempat di mana Ibu Kota Nusantara mencoba menjawab tantangan terbesar umat manusia saat ini: transisi menuju energi hijau.
Antara Impian Hijau dan Realita Batu Bara
IKN digagas sebagai kota masa depan yang bukan hanya
canggih, tapi juga ramah lingkungan. Komitmennya pada energi terbarukan bukan
basa-basi. PLTS, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik
Tenaga Bayu (PLTB), panas bumi, hingga hidrogen hijau diproyeksikan menjadi
tulang punggung kelistrikan kota ini.
Namun, seperti semua mimpi besar, langkah awal IKN tidak bisa sepenuhnya lepas dari realitas. Dari total kebutuhan listrik sebesar 200 Megawatt (MW) saat ini, hanya 50 MW yang dipasok dari PLTS. Sisanya—sekitar 150 MW—masih bergantung pada jaringan listrik regional Sistem Mahakam, yang ditopang oleh puluhan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara.
“Kita sedang dalam masa transisi,” ujar Agus Gunawan, Direktur Transformasi Hijau Otorita IKN. Kalimat itu ia ucapkan dengan nada serius. Transisi, kata Agus, berarti perubahan secara bertahap, bukan revolusi instan. Dan dalam perubahan itu, batu bara masih menjadi bagian dari cerita.
PLTS Nusantara: Cahaya Baru dari Timur
PLTS Nusantara adalah proyek energi terbarukan paling
ambisius di Kalimantan Timur saat ini. Berdiri di atas lahan yang menerima
radiasi matahari tertinggi di kawasan IKN, pembangkit ini telah memproduksi
listrik sebesar 50 MW sejak Mei 2024. Proyek ini dimulai dari kapasitas awal 10
MW pada Maret 2024, hanya beberapa bulan setelah peletakan batu pertamanya oleh
Presiden Joko Widodo pada November 2023.
Panel surya yang tertanam di sini mengalirkan listrik melalui sistem kabel bawah tanah, menyuplai KIPP dan kawasan hunian tanpa satu pun tiang listrik yang mencemari lanskap kota masa depan.
“Tidak ada kabel listrik yang malang melintang di langit Nusantara,” tegas Agus. Sebuah detail kecil, namun mencerminkan visi besar tentang estetika dan efisiensi energi kota ini.
Tak hanya ramah lingkungan, PLTS Nusantara juga menyerap 337 tenaga kerja lokal. Proyek tahap pertama dikerjakan oleh PLN Nusantara Renewables dan PLN Nusantara Power. Tahap berikutnya akan dikelola oleh PT Nusantara Sembcorp Solar Energi (NSSE), hasil kerja sama dengan perusahaan energi Singapura, SembCorp Utilities.
Agus menyebutkan bahwa keberadaan PLTS ini berhasil mengurangi emisi karbon hingga 104.864 ton per tahun—angka yang setara dengan menanam ribuan pohon setiap tahunnya.
Langkah Panjang Menuju Energi Terbarukan
Transisi energi di IKN dibagi dalam tiga tahap utama:
- Tahap I (2025–2030): Fokus pada PLTS skala besar dan instalasi panel surya di atap gedung-gedung pemerintahan.
- Tahap II (2030–2040): Pembangunan PLTA dan PLTB akan dipercepat. Di fase ini, pengembangan teknologi Hidrogen Hijau juga dimulai, serta penguatan kapasitas baterai penyimpanan energi.
- Tahap III (2040–2045): Nusantara ditargetkan menjadi kota pertama di Indonesia yang sepenuhnya menggunakan energi terbarukan, tanpa ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Namun perjalanan menuju target ambisius itu tidak bisa
dilepaskan dari kebutuhan listrik harian yang nyata.
Menambal Kekurangan dengan Sistem Mahakam
Dengan PLTS baru menyumbang 50 MW, masih ada kekurangan 150
MW dalam sistem kelistrikan IKN. Kekurangan ini dipenuhi oleh PLN melalui
sambungan ke Sistem Mahakam, jaringan distribusi yang melayani kota-kota besar
seperti Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Bontang, hingga Sangatta.
Sistem Mahakam saat ini memiliki daya mampu sebesar 911 MW dengan beban puncak 501 MW. Artinya, tersedia surplus sebesar 410 MW—cukup untuk memasok kebutuhan tambahan IKN.
Namun pasokan ini datang dengan catatan besar: sumber energinya adalah batu bara. Ada 26 pembangkit di sistem ini yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Dan sebagaimana kita tahu, batu bara adalah salah satu kontributor terbesar terhadap emisi karbon dan polusi udara.
Teknologi GIS: Solusi Kelistrikan Modern
Untuk memastikan keandalan dan keamanan distribusi listrik
ke IKN, PLN membangun Gardu Induk GIS 4 Sepaku/KIPP, yang menggunakan teknologi
Gas Insulated Switchgear (GIS). GIS ini memanfaatkan gas sulfur hexafluoride
(SF6) sebagai isolasi, membuatnya tahan terhadap cuaca ekstrem, polusi, hingga
gempa bumi.
“GIS adalah bagian dari sistem kelistrikan yang mendukung konsep smart city IKN,” ujar Raja Muda Siregar, General Manager PLN Unit Induk Pembangkitan Kalimantan Bagian Timur.
Selain GIS 4, proyek besar lainnya mencakup GI 150 kV Kariangau, jalur transmisi 150 kV, dan koneksi sistem kabel tanah (SKTT) menuju GIS 4 KIPP. Semua infrastruktur ini merupakan bagian dari Stream 1, tanggung jawab PLN UIP KLT untuk mendukung sistem listrik IKN yang tangguh dan modern.
Batu Bara: Realita Hari Ini, Masa Lalu di Masa Depan?
Kenyataannya, IKN hari ini masih hidup dalam bayang-bayang
batu bara. Sistem Mahakam menyuplai energi dari sumber yang tidak ramah
lingkungan, sementara PLTS dan proyek energi hijau lainnya masih dalam tahap
pembangunan bertahap.
Namun arah yang diambil cukup jelas. Pembangunan PLTA Kayan Cascade dengan kapasitas hingga 9.000 MW di Kalimantan Utara dan pengembangan mini-hidro di Sungai Mahakam menjadi pertanda bahwa energi bersih akan mengambil alih dalam waktu tidak lama lagi.
“Ini masa transisi. Kita harus realistis,” ulang Agus Gunawan. Dengan kebutuhan listrik yang tidak boleh berkedip—apalagi padam—IKN tidak bisa langsung meloncat penuh ke energi hijau tanpa mengorbankan stabilitas.
Menuju Kota Hijau yang Sesungguhnya
IKN bukan sekadar kota administratif baru. Ia adalah
laboratorium hidup, tempat Indonesia mencoba menyusun ulang cara kita membangun
kota—lebih hijau, lebih cerdas, lebih berkelanjutan. Di tengah keterbatasan dan
kompromi, semangat untuk meninggalkan energi kotor tetap menyala.
Transisi energi di IKN bukan proses tanpa tantangan. Tapi dari PLTS Nusantara hingga sistem GIS, dari panel surya atap gedung hingga wacana hidrogen hijau, semua adalah bagian dari narasi besar: menjadikan Nusantara sebagai contoh bagaimana masa depan dapat dibangun dengan kesadaran ekologi yang kuat.
Jalan menuju kota hijau itu panjang dan berlumpur—seperti jalan ke PLTS Nusantara setelah hujan. Tapi, jika kita mau terus berjalan, cahaya matahari akan selalu menanti di ujung perjalanan.