Menjelajah Alam, Merawat Jiwa: Healing ASN di IKN lewat Keindahan Gunung Parung
Ibu Kota Nusantara (IKN) bukan hanya tentang beton,
pembangunan, dan visi masa depan Indonesia. Ia juga tentang manusia di
dalamnya—para Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Non-ASN yang kini tengah mengukir
sejarah di lahan baru, membangun bukan hanya gedung, tapi juga kebersamaan dan
kepedulian. Salah satu momen yang merefleksikan hal itu terjadi pada Senin dini
hari, 12 Mei 2025. Di tengah gerimis dan udara dingin yang menggigit,
sekelompok kecil insan berdedikasi memilih untuk "healing" dengan cara
yang tak biasa: mendaki Gunung Parung.
Ketika sebagian masyarakat menghabiskan libur panjang dengan rebahan di rumah atau bersantai di tempat hiburan, para ASN dan Non-ASN di IKN punya cara sendiri untuk menyegarkan raga dan jiwa. Mereka menyebutnya “Jelajah Keindahan Nusantara”—sebuah kegiatan eksplorasi alam dan budaya yang tak hanya menyajikan panorama luar biasa, tapi juga menyentuh sisi spiritual, emosional, hingga sosial para pesertanya.
Gunung Parung: Permata Tersembunyi di Jantung IKN
Tepat pukul 02.53 WITA, sebanyak 18 peserta bersama 4
pemandu lokal dari Pokdarwis Hutan Adat Suku Balik Sepaku (HASBS) memulai
langkah mereka menyusuri hutan menuju Puncak Gunung Parung. Gerimis yang turun
sejak malam tak menyurutkan semangat. Di balik pepohonan yang basah dan jalan
setapak yang licin, mereka justru menemukan semangat yang membara.
Gunung Parung, bagi banyak orang, mungkin hanya satu dari sekian banyak bukit hijau di Kalimantan Timur. Tapi pagi itu, gunung ini menjelma menjadi panggung alam semesta yang menyuguhkan kabut tebal bak samudra putih, menggulung lembah-lembah di bawahnya. Inilah "lautan kabut IKN" yang menjadi hadiah pagi bagi setiap pendaki yang berhasil menjejakkan kaki di puncaknya.
Tak heran jika suasana tersebut menciptakan decak kagum para peserta. “Yuk kita bareng-bareng healing, pokoknya keren dan seru walaupun tadi naiknya merosot-merosot karena agak licin, tapi teman-teman kompak banget dan semua peserta berhasil naik,” ujar Iroh, salah satu peserta dengan mata yang masih menyala karena pengalaman luar biasa itu.
Alam Bernyanyi, Jiwa Berempati
Sepanjang jalur pendakian, bukan hanya langkah kaki yang
bergerak. Telinga pun dimanjakan oleh suara-suara alam yang menjadi orkestra
pembuka perjalanan. Di antara rimbunnya hutan hujan tropis, terdengar nyanyian
nyaring dari Owa Kalimantan (Hylobates muelleri)—primata endemik yang kini
masuk daftar terancam punah.
Bagi para pendaki, lengkingan itu bukan sekadar hiburan alam. Ia adalah pengingat akan tanggung jawab yang besar untuk menjaga ekosistem yang menjadi rumah bagi spesies langka tersebut. “Itu suara Owa Kalimantan. Langka sekali bisa mendengarnya langsung seperti ini,” ujar seorang pemandu dengan nada bangga, sekaligus prihatin.
Tak hanya mendengarkan dan menikmati, para peserta juga menunjukkan tindakan nyata. Mereka membawa turun sampah-sampah plastik dan sisa makanan yang tertinggal dari pendaki sebelumnya. Aktivitas sederhana ini menggambarkan kepedulian terhadap lingkungan yang mulai menjadi budaya baru di IKN.
“Kita di sini bukan hanya healing untuk diri sendiri, tapi juga untuk alam. Merawat jiwa manusia dan merawat bumi harus sejalan,” ujar Adinda Alya, pendiri komunitas #HealingdiIKN.
Kehilangan yang Diam-diam Terjadi: Madu Hutan dan Perubahan Lanskap
Namun, di balik keindahan yang memesona dan semangat positif
itu, ada juga cerita yang mengundang rasa prihatin. Arman, perwakilan Pokdarwis
HASBS, membuka kisah yang lebih dalam: menurunnya produksi madu hutan di
kawasan Gunung Parung. Menurutnya, perubahan lanskap akibat penanaman pohon
eucalyptus dalam jumlah besar telah mengubah pola ekosistem sekitar.
“Dulu lebah mudah sekali menemukan bunga hutan sebagai sumber nektar, tapi sekarang banyak pohon eucalyptus yang menggantikan pohon-pohon lokal. Ini mengganggu pola lebah mencari makan,” ungkap Arman. Ucapan itu membawa kesadaran baru bagi para peserta bahwa pembangunan dan pelestarian harus berjalan berdampingan.
Kehilangan sumber madu bukan hanya soal ekonomi lokal, tetapi juga tentang terganggunya harmoni antara manusia dan alam. “Kita tidak bisa bicara tentang masa depan IKN kalau lupa dengan kebutuhan alam yang menopang kehidupan,” tambah Arman.
Menyatukan Langkah ASN, Komunitas, dan UMKM Lokal
Adinda Alya sebagai penggagas kegiatan ini menekankan bahwa
inisiatif "Jelajah Keindahan Nusantara" bukan semata soal pendakian.
Ia merupakan simbol sinergi yang mulai terjalin erat antara ASN, komunitas
lokal, dan pelaku UMKM. Melalui kegiatan ini, para peserta mengenal langsung
budaya Suku Balik, menikmati kuliner lokal, serta belajar tentang tanaman dan
hewan endemik di kawasan hutan adat.
“Kegiatan ini jadi ruang untuk membangun koneksi manusiawi di tengah hiruk pikuk pembangunan. ASN di IKN bukan sekadar pegawai, mereka juga warga yang harus hidup seimbang dengan komunitas sekitar,” jelas Adinda.
Rencananya, program ini akan diperluas dengan berbagai aktivitas menarik di akhir pekan, baik outdoor maupun indoor. Workshop, pelatihan keterampilan, hingga kegiatan budaya akan menjadi bagian dari rutinitas baru para ASN. Bukan hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga mengurangi tekanan psikologis akibat beban kerja di tengah kota yang sedang dibangun dari nol.
Perspektif Baru dalam Membangun Kota
Healing bagi para ASN di IKN bukan tentang pelarian
sementara dari tanggung jawab. Ia adalah proses kontemplatif untuk memahami
bahwa membangun kota bukan hanya urusan infrastruktur, tetapi juga membentuk
kultur dan karakter masyarakat. Kota yang kuat bukan hanya dibangun dari beton
yang keras, tetapi juga dari jiwa-jiwa yang lembut dan penuh empati.
Kegiatan seperti pendakian Gunung Parung menjadi bukti nyata bahwa pembangunan dan pelestarian, kerja dan relaksasi, modernitas dan kearifan lokal bisa berjalan beriringan. “Kegiatan ini membuka perspektif baru. Saya merasa lebih dekat dengan alam, dengan teman-teman, dan dengan masyarakat lokal,” ungkap Kartika, salah satu peserta, dengan senyum lebar di wajahnya.
Menuju IKN yang Berkarakter
Dengan munculnya komunitas seperti #HealingdiIKN, harapan
akan hadirnya sebuah Ibu Kota yang berkarakter makin terasa nyata. Kota ini
tidak hanya dibentuk oleh masterplan para arsitek dan ekonom, tapi juga oleh
inisiatif kecil dari para pegawai yang ingin membangun jiwa kolektif,
mengangkat budaya lokal, serta menghargai keseimbangan ekologis.
Gunung Parung, yang selama ini mungkin hanya dikenal oleh warga sekitar, kini menjadi saksi bisu transformasi sosial yang pelan-pelan terjadi. Dari aktivitas sederhana seperti mendaki, memungut sampah, mendengar suara owa, hingga menyimak keluhan soal produksi madu—semua menjadi mozaik kecil yang menyusun kisah besar IKN sebagai kota harapan.
Minggu itu, para ASN dan Non-ASN pulang dari Gunung Parung
bukan hanya dengan badan yang letih dan pakaian yang basah, tetapi dengan hati
yang lebih ringan dan pikiran yang lebih terang. Mereka membawa pulang bukan
oleh-oleh, tapi pelajaran hidup: tentang kebersamaan, kesederhanaan, dan
kecintaan pada tanah yang kini mereka sebut rumah kedua.
Ketika mega proyek IKN terus berjalan, mungkin akan ada banyak lagi kegiatan seperti ini. Mungkin akan ada lebih banyak puncak yang didaki, lebih banyak hutan yang dikenali, dan lebih banyak cerita yang dibagi. Tapi satu hal pasti: healing di IKN bukan tentang melarikan diri dari kenyataan, melainkan cara baru untuk memaknainya.
“Jelajah Keindahan Nusantara” bukan sekadar liburan. Ia adalah bentuk cinta. Cinta pada alam, pada budaya, dan pada masa depan Indonesia yang dibangun dengan hati.”