Pengerusakan Alat Peraga Adat Pamabakng Dayak: Masyarakat Adat Tegaskan Kebenaran, Desak Tangkap Pelaku Utama
Serva Lie, sebagai ahli waris lahan, memberikan pernyataan pers di Mapolres Kubu Raya, Polda Kalimantan Barat, pada Selasa, 19 November 2024. (Dokumentasi: Santo/Redaksi Satu). |
Dalam sebuah peristiwa yang mengguncang komunitas adat Dayak
Pamabakng, alat peraga ritual adat yang sakral dirusak secara brutal. Kejadian
ini, yang dikonfirmasi bukan hoaks, terjadi di tengah prosesi adat yang
berlangsung di atas lahan milik ahli waris Serva Lie di Desa Kuala Ambawang,
Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Peristiwa ini melibatkan serangan
mendadak oleh sekelompok preman dan provokator, yang diduga diorganisir oleh
Kepala Desa Durian beserta Kepala Dusun.
Rusliyadi, kuasa hukum dari pemilik tanah, menegaskan dalam audiensi di Mapolres Kubu Raya pada Selasa, 19 November 2024, bahwa laporan ini bukan sekadar kabar burung. Dalam audiensi tersebut, ia menyampaikan perkembangan terkini terkait laporan yang diajukan pada 17 November 2024. Rusliyadi mendesak aparat penegak hukum untuk segera menindak para pelaku, khususnya aktor intelektual di balik serangan tersebut, yaitu Kepala Desa Durian dan beberapa oknum lainnya.
Kronologi Kejadian: Ritual Adat Berujung Kerusuhan
Pada hari Minggu, 17 November 2024, ritual adat Pamabakng
Dayak tengah berlangsung di lahan tersebut. Ritual ini memiliki makna mendalam
bagi masyarakat Dayak, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan
pelestarian budaya. Namun, prosesi sakral ini berubah menjadi momen mencekam
ketika sekelompok orang menyerang secara membabi buta. Mereka merusak alat
peraga adat tanpa memperdulikan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat Dayak.
Rusliyadi menegaskan bahwa tindakan ini bukan hanya sekadar vandalisme, melainkan sebuah penghinaan serius terhadap adat istiadat yang telah diwariskan turun-temurun. Ia juga menolak keras narasi yang mencoba mengadu domba antar kelompok masyarakat. “Peristiwa ini nyata terjadi dan bukan hoaks. Namun, narasi yang bertujuan memecah belah masyarakat harus diwaspadai,” ujarnya dengan tegas.
Tuntutan Terhadap Aparat Penegak Hukum
Dalam audiensi tersebut, Rusliyadi meminta agar kasus ini
menjadi prioritas Kapolres Kubu Raya. Ia menekankan bahwa proses hukum harus
segera dilakukan untuk mencegah eskalasi konflik. Menurutnya, jika aparat tidak
bertindak cepat, masyarakat adat dan organisasi terkait mungkin akan mengambil
tindakan sendiri. Hal ini, tentu saja, dapat memperburuk situasi keamanan dan
ketertiban masyarakat (Kamtibmas). “Kami tidak ingin situasi ini menjadi tidak
terkendali. Oleh karena itu, kami berharap ada kerja sama yang baik antara
masyarakat dan aparat kepolisian,” tambahnya.
Rusliyadi juga menghimbau kepada seluruh Panglima Organisasi dan Ormas Dayak untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi. Ia menekankan pentingnya mengawal kasus ini secara hukum dan tidak main hakim sendiri. “Provokator dan pelaku harus ditindak tegas. Namun, kita harus mempercayakan penanganannya kepada aparat hukum,” ujarnya.
Komitmen Masyarakat Adat
Iyen, perwakilan pemilik lahan, menyatakan komitmennya untuk
tidak mencabut laporan tersebut. Ia menegaskan bahwa pengerusakan alat peraga
adat di tengah prosesi ritual merupakan tindakan yang tidak bisa ditoleransi.
Menurutnya, tindakan ini adalah penghinaan terhadap nilai-nilai luhur
masyarakat Dayak.
Iyen juga membantah klaim bahwa laporan tersebut telah gugur akibat kesepakatan sepihak antara Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Sungai Ambawang dengan Ketua Adat Madura. “Saya adalah warga negara Indonesia yang berhak melapor jika dirugikan. Kesepakatan mereka tidak sah, karena kami tidak dilibatkan dalam pertemuan tersebut,” tegasnya.
Sengketa Lahan dan Mafia Tanah
Serva Lie, ahli waris pemilik lahan, menegaskan bahwa
serangan tersebut terjadi di lahan miliknya yang sah secara hukum. Ia
menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, termasuk sertifikat tanah sejak tahun 1970
yang mencakup area seluas 71 hektare. Bahkan, sebagian lahan tersebut telah
diukur oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Menurut Serva, sekelompok orang yang menyerang ritual tersebut tidak mampu menunjukkan bukti kepemilikan lahan. “Kami memiliki dokumen lengkap, termasuk sertifikat resmi. Lahan ini dulunya adalah lokasi pabrik karet,” ujarnya. Serva juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, kasus mafia tanah serupa pernah terjadi di wilayah tersebut. Saat itu, sertifikat tanah seluas 23 hektare yang sempat diserobot akhirnya dikembalikan kepada keluarganya setelah ditangani oleh Polda Kalbar.
Harapan untuk Penyelesaian Hukum
Masyarakat adat Dayak Pamabakng kini menantikan keadilan
dari aparat penegak hukum. Mereka berharap kasus ini tidak dibiarkan
berlarut-larut dan segera ditindaklanjuti. “Jika dibiarkan, kami khawatir
situasi akan semakin memanas dan sulit dikendalikan,” ujar Rusliyadi.
Serva Lie menegaskan bahwa ia mempercayakan sepenuhnya proses hukum ini kepada Polres Kubu Raya dan kuasa hukumnya. Ia berharap agar pelaku perusakan segera ditangkap dan diadili sesuai hukum yang berlaku. “Kami hanya ingin keadilan. Ini bukan hanya soal lahan, tetapi juga soal penghormatan terhadap budaya kami,” tutupnya.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya menjaga harmoni
antara penegakan hukum dan pelestarian budaya. Pengerusakan alat peraga adat
bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga serangan terhadap identitas dan
martabat suatu komunitas. Masyarakat adat Dayak Pamabakng berharap agar
keadilan ditegakkan, tidak hanya demi mereka, tetapi demi seluruh komunitas
adat di Indonesia.
Dengan proses hukum yang transparan dan adil, diharapkan konflik ini dapat diselesaikan secara damai, tanpa perlu tindakan main hakim sendiri. Semua pihak diimbau untuk tetap tenang dan mempercayakan penyelesaian kasus ini kepada aparat yang berwenang. Sebab, menjaga adat dan budaya juga berarti menjaga keutuhan bangsa.