Dinamika Politik dan Hukum: Sahbirin Noor, KPK, dan Panggung Kalimantan Selatan

Sahbirin Noor: Foto : Dok Golkar

Eks Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor—yang akrab dikenal sebagai Paman Birin—kembali mencuri perhatian publik. Kali ini bukan melalui kinerjanya sebagai kepala daerah, melainkan sikapnya yang mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 18 November 2024. Ketidakhadiran ini memicu beragam spekulasi, terutama karena tidak disertai alasan atau pemberitahuan resmi.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, menjelaskan bahwa panggilan tersebut dilakukan dalam kapasitas Sahbirin sebagai saksi atas kasus yang sedang dalam penyidikan. "Surat panggilan sudah dilayangkan, tetapi hingga saat ini beliau tidak hadir dan juga tidak memberikan alasan absennya," kata Tessa dalam keterangan persnya.

Kasus ini kian menjadi sorotan lantaran Sahbirin baru saja memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK, sebuah kemenangan hukum yang sekaligus mengguncang kredibilitas lembaga antirasuah tersebut.

 

Kemenangan di Praperadilan: Babak Baru Sahbirin Noor

Sahbirin sempat berada di pusaran badai hukum setelah namanya disebut dalam dugaan kasus suap dan gratifikasi. Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Oktober 2024, yang mengamankan enam orang terkait proyek infrastruktur di Kalimantan Selatan. Mereka yang ditangkap antara lain Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemprov Kalsel, Ahmad Solhan, dan Kabid Cipta Karya, Yulianti Erlynah.

Meskipun sejumlah pejabat ditahan, Sahbirin yang sempat ditetapkan sebagai tersangka berhasil menggugurkan status tersebut melalui gugatan praperadilan. Dalam putusannya, hakim tunggal Afrizal Hady menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Sahbirin tidak sah. Hakim menilai ada prosedur yang dilanggar oleh KPK, sehingga seluruh proses hukum terkait dirinya dianggap cacat hukum.

Kemenangan ini membuat Sahbirin lolos dari jerat hukum untuk sementara waktu, tetapi sekaligus menyoroti kelemahan dalam penyidikan KPK. Calon pimpinan KPK, Poengky Indarti, menyebut kekalahan tersebut sebagai "tamparan keras". Ia mengkritik ketidaksiapan KPK dalam menghadapi gugatan hukum seperti ini. "KPK harus memiliki strategi hukum yang lebih matang. Kekalahan seperti ini sangat memalukan dan harus menjadi pelajaran penting," ujarnya.

 

Langkah Politik: Pengunduran Diri yang Mengagetkan

Di tengah panasnya situasi hukum, Paman Birin justru mengambil langkah mengejutkan. Ia secara resmi mengajukan surat pengunduran diri dari jabatannya sebagai Gubernur Kalimantan Selatan. Surat tersebut diserahkan langsung ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan diteruskan kepada Presiden Prabowo Subianto serta DPRD Provinsi Kalsel.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, membenarkan kabar tersebut. "Surat pengunduran dirinya sudah diterima dan sedang diproses. Untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan, Kemendagri akan segera menunjuk penjabat sementara (Pjs) sebagai pengganti," jelasnya.

Namun, penunjukan penjabat sementara menghadapi tantangan tersendiri. Wakil Gubernur Kalsel, Muhidin, yang biasanya menjadi kandidat terkuat untuk posisi ini, tidak bisa ditunjuk karena ia tengah maju dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalsel 2024-2029. Muhidin, bersama pasangannya Hanuryadi Sulaiman, akan bersaing melawan pasangan Raudatul Jannah dan Akhmad Rozanie Himawan.

Yang menarik, Raudatul Jannah, atau yang akrab dipanggil Acil Odah, adalah istri dari Sahbirin Noor. Kehadirannya di panggung Pilgub semakin memperkuat anggapan bahwa keluarga Sahbirin tetap berupaya mempertahankan pengaruh politik mereka di Kalimantan Selatan.

 

Dugaan Suap dan Gratifikasi: Potret Buram Politik Lokal

Walaupun Sahbirin sementara lolos dari jeratan hukum, kasus dugaan suap yang menyeret sejumlah pejabat Pemprov Kalsel terus berjalan. Dalam OTT yang dilakukan KPK, berbagai bukti terkait aliran dana suap untuk proyek infrastruktur ditemukan.

Mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah Ahmad Solhan, Yulianti Erlynah, dan beberapa pihak lain, termasuk Sugeng Wahyudi dan Andi Susanto, yang diduga bertindak sebagai pemberi suap. Para tersangka dijerat dengan pasal-pasal berat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Di sisi lain, Sahbirin diduga memiliki keterlibatan melalui aliran dana yang dikumpulkan oleh sejumlah bawahannya. Meski demikian, gugatan praperadilan telah berhasil menggugurkan status tersangkanya, memunculkan pertanyaan besar tentang kekuatan bukti yang dimiliki KPK.

 
Kritik Terhadap KPK: Evaluasi yang Mendesak

Kekalahan KPK dalam kasus praperadilan Sahbirin Noor menjadi perhatian serius berbagai pihak. Banyak pihak menilai KPK perlu memperbaiki cara kerja dan strategi hukumnya, terutama dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Poengky Indarti menyoroti bahwa kekalahan ini menunjukkan adanya celah besar dalam penguasaan hukum oleh KPK. "Kekalahan ini mengindikasikan kelemahan dalam dasar hukum yang digunakan. Jika tidak segera dievaluasi, ini akan berdampak buruk pada kredibilitas lembaga," ujarnya.

Tidak hanya itu, Poengky juga mengingatkan agar KPK lebih berhati-hati dalam menangani kasus yang melibatkan tokoh politik. "KPK harus memahami bahwa setiap langkah yang diambil akan mendapat perhatian besar. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," tambahnya.

 

Dinamika Pilgub Kalsel: Keluarga Sahbirin di Panggung Politik

Di tengah perdebatan hukum yang melibatkan Sahbirin Noor, kontestasi Pilgub Kalsel menjadi isu lain yang tak kalah menarik. Kehadiran Raudatul Jannah sebagai calon gubernur memunculkan spekulasi bahwa keluarga Sahbirin berusaha mempertahankan cengkeraman mereka atas pemerintahan di provinsi ini.

Raudatul, yang dikenal sebagai sosok pendukung setia Sahbirin, akan berhadapan dengan mantan wakil gubernur Muhidin. Pilgub ini diprediksi akan berlangsung sengit, mengingat kedua pasangan calon memiliki basis dukungan yang kuat di daerah masing-masing.

Namun, di balik kontestasi politik ini, publik terus mempertanyakan integritas para calon. Apakah Pilgub Kalsel akan menjadi ajang kompetisi yang adil, atau justru diwarnai intrik politik yang memperburuk citra pemerintahan daerah?

Kasus Sahbirin Noor tidak hanya mencerminkan kompleksitas hukum yang dihadapi KPK, tetapi juga menunjukkan bagaimana dinamika politik lokal dapat memengaruhi proses penegakan hukum. Di satu sisi, keberhasilan Sahbirin memenangkan praperadilan menjadi tamparan bagi KPK, sementara di sisi lain, absennya dari panggilan penyidik menunjukkan bahwa kasus ini masih jauh dari kata selesai.

Dengan Pilgub Kalsel yang semakin dekat, ketegangan politik dan hukum di Kalimantan Selatan hanya akan semakin memanas. Apakah keadilan akan ditegakkan, atau justru kekuasaan politik yang menjadi pemenang? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan arah masa depan Kalimantan Selatan dan juga citra pemberantasan korupsi di Indonesia.

Next Post Previous Post